Kali ini aku menunggu kedatangan Adrian di Kafe. Aku berharap Adrian sungguh menemuiku dan memaafkanku walaupun aku telah menyakiti perasaannya sebelumnya. Aku terus menunggunya dengan sabar sambil terus memandangi jam tangan pemberian darinya.
Sepuluh menit kemudian, aku melihat Adrian sedang berlari memasuki Kafe melalui kaca jendela di sampingku.
Adrian menduduki kursi di hadapanku sambil mengambil napasnya panjang. "Maaf, kamu pasti menungguku lama. Tadi aku mengurus kerjaan dulu lalu ke sini."
"Tidak apa-apa. Aku juga tiba sekitar lima menit yang lalu. Kamu minum dulu," balasku sambil menunjuk secangkir kopi di hadapannya.
Adrian minum kopi sambil menikmatinya perlahan. Suasana kini kembali terasa canggung apalagi mengingat kejadian kemarin. "Omong-omong, ada apa kamu ingin bertemu denganku?"
Aku tidak bisa menahan air mataku lagi. Mataku pasti sudah terlihat sembab dan pada akhirnya aku meluapkan tangisanku, menunduk kepalaku.
Adrian menatapku nangis tiba-tiba langsung menyentuh pipiku sejenak. "Penny, kamu kenapa?"
"Maaf, kemarin aku menyakiti hatimu. Waktu itu pikiranku sedang kacau dan aku asal bicara saja tanpa berpikir panjang."
Bukan marah, justru Adrian menampakkan senyuman tipis. "Kamu ingin bertemu denganku karena hal itu saja?"
Sejenak aku mengusap air mataku dengan jari jemariku. Aku mengambil napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Bersiap meluapkan isi hatiku lagi penuh penyesalan terhadapnya. "Karena aku membuat kesalahan besar dan menyakiti hatimu, maka dari itu aku harus meminta maaf padamu. Kalau kamu tidak ingin memaafkan aku, itu sangat wajar. Aku tahu bahwa aku bodoh dan cepat mengambil kesimpulan tanpa berpikir panjang."
Adrian beranjak dari kursi mendekatiku, lalu mendekapku hangat. Mataku terbelalak sempurna. Aku tidak menyangka akan diperlakukan manis seperti ini setelah aku menyakiti perasaannya. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan darinya dan sebenarnya aku merindukan dipeluk olehnya. Apalagi sekarang aku merasa sangat nyaman ketika berada di dekatnya dan ingin bersamanya lebih lama lagi.
"Kamu tidak perlu meminta maaf padaku sampai repot begini. Tenang saja, aku pasti akan memaafkanmu karena aku tahu bahwa kamu tidak akan selamanya bersikap dingin padaku. Aku sudah memercayaimu sejak pertama kali kita bertemu. Kamu adalah detektif yang paling ramah di antara semuanya," ucapnya tersenyum manis padaku.
Sejenak Adrian mengusap air mataku dengan jempolnya. Tatapannya penuh iba karena mengamatiku terus menangis di hadapannya membuat hatinya remuk. "Aku tidak suka melihatmu nangis sampai matamu bengkak begini."
Hanya perkataan sederhana itu membuat jantungku berdebar kencang dan pipiku mulai memanas.
"Aku merindukanmu, Penny."
Ditambah pernyataannya kali ini terdengar sangat manis, aku tidak berani menatap pandangan matanya terkesan gagah di mataku. Padahal hanya sehari, tapi ia sudah merindukan aku. Hanya Adrian yang berani mengungkapkan kerinduannya padaku, padahal aku bukan kekasihnya.
Tentu saja, aku juga ingin mengungkapkan isi hatiku secara jujur daripada terus pendam dalam hati. "Aku juga merindukanmu, Adrian."
"Pokoknya kali ini aku ingin kamu dan aku saling berkomunikasi lagi. Hari ini aku kesepian tanpa berkomunikasi denganmu. Aku memercayaimu sepenuhnya, jadinya kamu harus mengabariku saat kamu senggang."
Setelah seharian penuh berwajah cemberut, akhirnya aku bisa tertawa bahagia. Memang pertengkaran tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menciptakan masalah baru. Sejujurnya, aku lebih suka hubungan kami seperti ini. "Terima kasih sudah memercayaiku selama ini. Ternyata kamu memiliki hati yang lembut seperti malaikat. Aku tidak akan bersikap dingin denganmu lagi sampai seterusnya. Aku pasti akan selalu menjaga hubungan persahabatan kita."
"Mari kita selalu menjadi sahabat setia selamanya!" ajak Adrian sambil mengangkat cangkir kopinya.
Aku menabrakkan cangkirku dengan cangkirnya menyesap kopi saling melempar pandangan berbinar.
"Omong-omong, aku dengar berita bahwa Ray diracuni di ruang tahanan." Seperti biasa Adrian selalu mengungkit kasus setiap bertemu denganku.
Bibirku mengerucut menaruh cangkir sedikit kasar di meja. "Iya. Saat ini aku masih mencari pelaku yang meracuninya. Aku sudah mencari ke mana pun tapi tetap tidak bisa menemukannya."
"Aku masih penasaran. Sebenarnya siapa dalang di balik semua kejadian ini." Adrian berpikir keras hingga dahinya berkerut.
Aku agak kesal dengan dirinya selalu mengungkit kasus. Apalagi di saat kami kembali bersahabat, aku tidak ingin momen berharga kami hanya digunakan untuk membahas kasus. "Adrian, bolehkah kamu mengabulkan keinginanku sekarang?"
"Apa itu?"
"Aku tidak ingin membicarakan pekerjaan dulu. Hubungan kita baru saja membaik, aku ingin kita berbincang santai saja."
Adrian tersenyum ceria memelukku. Sedangkan aku membalasnya melingkarkan kedua tanganku pada punggungnya, menikmati perlakuan manisnya semakin membuatku ingin bermanja dengannya.
"Maaf, tapi aku juga tidak ingin membahas kasus lagi. Aku ingin menikmati momen berhargaku bersamamu," ungkap Adrian sambil mengelus kepalaku lambat laun.
Di tengah perlakuan hangat kami, tiba-tiba Pak Colin menampakkan dirinya menghampiri kami.
"Wah, ada sepasang burung merpati yang sedang bermesraan di sini!" seru Pak Colin heboh.
Kami berdua langsung melepas pelukannya lalu Adrian kembali menduduki kursinya sambil berdeham.
"Ah, bukan kok. Kami hanya sebatas sahabat saja," bantahku tersipu malu.
"Saya mengira ada hubungan istimewa dengan kalian berdua."
"Bapak nongkrong di sini sendirian?" tanya Adrian mengalihkan pembicaraan yang menimbulkan suasana canggung saat ini.
"Oh, saya ada janji bertemu dengan teman saya di sini. Kalian lanjutkan saja perbincangannya. Saya tidak akan mengganggu kalian," sahut Pak Colin lalu meninggalkan kami berdua.
Setelah Pak Colin meninggalkan kami, aku melanjutkan pembicaraanku lagi dengan Adrian. Terpaksa aku juga mengalihkan perbincangan daripada ada orang lain salah paham melihat tingkah kami seperti sepasang kekasih bermesraan.
"Omong-omong, besok aku harus mengunjungi pemakaman Ray untuk mengucapkan belasungkawa kepada pihak keluarganya. Kamu mau ikut denganku?" ajakku padanya.
"Boleh juga, besok kita pergi ke sana bersama."
"Kalau begitu, aku pulang dulu ya. Ini sudah larut malam," pamitku terburu-buru menghabiskan kopiku lalu beranjak dari kursi.
"Tunggu, Penny!" Adrian menggenggam tangan kananku erat.
Aku berbalik badan. "Ada apa, Adrian?"
Rona merah menyala pada pipi Adrian. "Aku merasa nyaman ketika hubungan kita kembali membaik seperti semula."
Pipiku juga tersipu malu mendengar ucapannya membuat jantungku berdebar. "Aku juga sama sepertimu, Adrian. Maka dari itu, aku malas bertengkar denganmu seperti kemarin."
Keesokan pagi, aku dan Adrian mengunjungi tempat pemakaman Ray. Setibanya di sana, aku melihat Ryder menyendiri dan menangis tanpa henti-hentinya. Secara spontan aku menunjukkan rasa empatiku menghampiri dan memeluknya.
"Kamu jangan menangis terus, kalau kamu menangis nanti kakakmu di sana ikutan sedih juga."
"Kakakku walaupun sekarang punya catatan kriminal, tapi aku masih menganggapnya sebagai kakak terbaikku. Kenapa dia meninggal begitu saja? Padahal minggu ini, aku ingin mengunjunginya," kata Ryder menangis dengan keras.
"Aku juga sebenarnya sangat sedih atas kepergian kakakmu. Tapi aku harus mencari tahu kejadian dibalik semua ini. Aku harus menangkap pelaku yang membunuh kakakmu. Kamu percayakan saja padaku," tuturku dengan tatapan penuh percaya diri.
"Terima kasih, Penny. Aku percaya bahwa kamu pasti menangkap pelakunya."
Sontak salah satu anggota keluarga Ray menghampiriku tersenyum ramah.
"Terima kasih telah mengunjungi kami. Saya adalah tantenya Ray," ucap tantenya Ray dengan ramah.
"Tentu saja saya harus berkunjung ke sini karena Ray itu juga salah satu teman saya," sahutku dengan ramah juga.
"Tolong tangkap pelaku yang membunuh keponakan saya. Saya minta meminta bantuan Anda," bujuk tantenya Ray.
"Saya pasti akan menangkap pelakunya dengan segala cara. Percayakan saja semuanya pada saya," ungkapku dengan percaya diri.
Aku berjalan menghampiri Adrian yang sedang berdiri sendirian. "Ayo kita pergi ke pemakaman ibumu! Aku ingin sesekali mengunjunginya."
"Baiklah, aku akan menemanimu," sahutnya sambil menemaniku berjalan menuju tempat parkir.
Setibanya di tempat pemakaman tante Desy, aku membawa sebuah buket bunga krisan putih lalu menaruhnya.
"Aku datang lagi, Tante. Maaf belakangan ini aku jarang mengunjungi tante karena banyak pekerjaan yang harus kulakukan di kantor. Aku akan menangkap pelaku di balik kejadian semua kekacauan ini, tunggu saja dan percayakan semuanya padaku. Tante tidak perlu khawatir dengan Adrian. Aku pasti akan melindunginya terus, beristirahatlah dengan tenang di sana," batinku mendoakan tante Desy.
Adrian menyipitkan mata mendongakkan kepala di hadapanku. "Omong-omong, kamu sedang mendoakan apa? Raut wajahmu sampai serius begitu."
"Ada deh. Pokoknya ini rahasia," jawabku tertawa terkekeh.
"Ayolah Penny! Tadi kamu mendoakan ibuku apa? Aku sebagai putranya harus mengetahuinya," rayunya sambil menggerakkan lengan kananku.
drrt...drrt...
Ponselku berbunyi tiba-tiba. Aku langsung mengambil ponselku menghembuskan napasku kasar ketika mengamati nama Pak John tertera pada layar ponselku. Aku memutar bola mataku bermalasan sambil mengangkat panggilan telepon darinya.
"Pagi Pak John. Ada apa menghubungi saya?" sapaku lewat telepon.
"Kamu, Tania, dan Nathan harus ke kantor sekarang juga. Kita akan melakukan rapat darurat. Jangan sampai telat!" pinta Pak John sangat tegas lalu menutup teleponnya sebelum aku membalas perkataannya.
Aku mendesah lesu memanyunkan bibirku hingga membuat Adrian bingung melihatku seperti ini.
"Apa yang terjadi, Penny?"
"Aku harus mengunjungi kantor dulu. Kepala detektif barusan meneleponku dan ingin mengadakan rapat darurat."
"Baiklah, kamu pergi duluan saja."
Aku langsung berjalan menuju tempat parkir dan mengendarai mobilku dengan kecepatan rata-rata.
Setibanya di kantor, Pak John sudah menungguku di depan pintu kantor menatapku dengan tajam seperti ingin menerkamku.
"Maaf, Pak John. Tadi saya ada urusan," sesalku menunduk bersalah dengan napas tersengal-sengal.
"Ayo ikut denganku ke ruang rapat sekarang!" ajak Pak John dengan tatapan dingin padaku.
Di ruang rapat, aku melihat raut wajah Tania dan Nathan yang sangat cemberut. Pasti di pikiran mereka itu sedang mengumpat dalam batin mereka karena kami masuk kerja di hari libur.
"Sial, di saat hari libur begini kita diganggu," umpat Nathan dalam batinnya.
"Mari kita memulai rapatnya!" kata Pak John.
"Pada tanggal 15 Agustus 2021, korban yang bernama Ray yang merupakan tersangka kasus pembunuhan setahun yang lalu ditemukan tewas di ruang tahanannya pukul 7 malam. Saat korban ditemukan, ada bekas muntahan darah yang berceceran di lantai. Jadinya korban tewas karena diracuni," ucapku mulai fokus bekerja.
"Aku sudah melihat rekaman CCTV, terakhir kali pelaku terlihat di rekaman sekitar pukul 6," lanjut Tania menjelaskannya pada Pak John.
"Apakah kalian sudah mengunjungi rumah pelaku?" tanya Pak John.
"Kami sudah mengunjunginya, tapi kata tetangganya, pelaku sudah tidak tinggal di sana pada hari itu juga," jawab Nathan.
"Kalau begitu, kalian harus segera menangkap pelaku itu sebelum timbulnya banyak korban lagi. Rapat sampai di sini saja, kalian boleh meninggalkan ruang rapat," kata Pak John sambil meninggalkan ruang rapat terburu-buru.
"Ish rapatnya gitu saja! Kalau tahu tidak usah buru-buru ke sini!" sungut Tania mendengkus kesal.
"Ayo kita makan siang di Peaceful Restaurant! Aku ajak Adrian juga makan bersama kita," ajakku tersenyum lebar.
"Akhirnya hubungan kalian membaik seperti semula!" sorak Tania mengacungkan jempolnya.
Setibanya di restoran, kami berempat memesan makanan seafood. Kami memesan dengan porsi secukupnya kecuali Tania seperti biasa rakus yang memesan makanan dalam porsi banyak.
Aku terus menggelengkan kepalaku. "Hei, Tania! Porsi makan kamu selalu banyak. Apakah kamu tidak sakit perut?"
"Aku lagi lapar hari ini jadi harus makan yang banyak," jawab Tania santai.
"Biasanya kamu juga makan bisa dua kali lipat dari kami. Memang kamu pantas dijuluki si rakus," ledek Nathan tertawa usil.
"Bahkan aku saja terkejut setiap kali melihat Tania makan banyak," tambah Adrian tercengang.
PRAKK
Pak Colin terjatuh dari tangga saat sedang memajang sebuah bingkai foto. Spontan aku dan Adrian langsung menghampiri dan menolongnya.
"Bapak baik-baik saja? Apakah kaki Bapak terluka?" tanyaku dengan cemas.
"Saya baik-baik saja. Kalian berdua tidak usah mencemaskan saya," jawab Pak Colin tersenyum tipis.
"Mari Bapak duduk dulu sebentar!" ajak Adrian sambil menuntun Pak Colin menuju salah satu bangku kosong.
Aku mengambil bingkai foto yang terjatuh. Aku merasa foto itu terlihat tidak asing bagiku. Aku mengamatinya sekali lagi foto itu dan ternyata ada ayahku yang sedang berdiri di sebelah Pak Colin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
nanni02😜😺
papanya penny masih hudup ternyatA
2021-04-05
1
t@Rie
misteri nya tambah lg
2021-04-02
1
Dhina ♑
#215
2021-03-23
1