Sementara di sisi lain, Adrian sedang sibuk bekerja di ruang kerjanya, pikirannya terusik akibat adegan menyakitkan di Kafe. Ia masih sangat bingung dengan permasalahannya bahkan ia terus merenungkan kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Selama seharian, Adrian terkadang menatap ponselnya yang tergeletak di meja menunggu dihubungi sang sahabat sangat disayanginya. Namun, hari ini rasanya sangat sepi kalau tidak berbincang dengan sahabat setianya, bahkan napasnya terasa berat sepanjang hari.
"Penny, sebenarnya apa yang terjadi padamu sampai kamu membenciku? Seharusnya kamu menceritakan semuanya padaku supaya aku bisa membantumu. Tapi sepertinya kamu ingin menyelesaikan masalahmu sendiri. Aku tidak akan memaksamu kembali berhubungan baik denganku. Semua keputusan ada di tanganmu sendiri," gumamnya dalam hati.
Usai aku menerima telepon dari seorang sipir mengenai Ray, aku mengajak Tania dan Nathan pergi mengunjungi TKP. Setibanya di TKP, aku melihat kondisi Ray yang tidak bernyawa dan di sekitarnya dilumuri banyak bercak darah.
Dengan rasa penasaran, aku menanyakan salah satu sipir yang bertugas mengenai kejadian ini. "Apa yang terjadi? Kenapa tahanan bisa tewas begitu saja?"
"Saya tidak tahu pasti. Saat saya sedang patroli di sepanjang koridor, saya mendengar suara orang batuk dengan keras. Lalu saya memasuki kamar tahanan itu dan saya melihatnya muntah darah kemudian tewas," kata sipir itu menjelaskan kejadiannya panjang lebar.
Nathan memeriksa kondisi tubuh Ray mulai kaku, namun tidak ada bekas luka penyiksaan. "Sepertinya dia diracuni."
"Bolehkah saya melihat rekaman CCTV di sini?" tanyaku kepada sipir itu.
"Mari ikut saya ke ruang pengendalian!" Sipir itu menuntunku menuju ruang pengendalian.
Di ruang pengendalian, aku memerintahkan petugas keamanan memutar rekaman CCTV saat Ray dibunuh. Namun, tiba-tiba rekamannya terputus begitu saja ketika kami sedang berfokus mengamati rekaman CCTV.
"CCTV pasti sengaja dirusak pelaku untuk menghilangkan jejak pembunuhannya," keluh Tania memutar bola mata.
"Ray ditemukan tewas sekitar pukul 7 malam. Sedangkan rekaman CCTV terakhir terlihat pukul 6 sore," tambahku sambil menunjuk keterangan waktu rekaman di layar monitor.
"Biasanya petugas di sini memberi makanan kepada para tahanan pukul berapa, ya?" tanyaku kepada sipir itu lagi.
"Kami biasanya memberi makan kepada para tahanan setiap pagi, siang, dan malam secara rutin yaitu pukul 7 pagi, pukul 12 siang, dan pukul 6 sore."
"Apa mungkin belakangan ini ada sipir baru yang bekerja di sini?"
"Sekitar seminggu lalu, kami merekrut satu sipir baru. Tapi dia jarang sekali bertugas di sini karena dia masih baru."
"Tolong serahkan daftar sipir yang bertugas beserta jadwal bertugas kepada saya agar saya bisa memeriksanya langsung!" pintaku kepada sipir itu.
Aku dan rekan timku kembali ke kantor. Dengan sigap aku menghampiri meja kerjaku menatap layar monitorku kemudian membuka email yang berisi daftar sipir bertugas. Ada satu sipir baru yang bernama Gerry, ia bertugas patroli di sepanjang koridor setiap pukul 5 sore, sedangkan tahanan biasanya diberi makan pukul 6 sore. Berarti tidak salah lagi, pasti Gerry merupakan penyusupnya.
Setelah memeriksa email, aku menghampiri Tania yang sedang mengamati rekaman CCTV di sepanjang koridor ruang tahanan.
"Penny, coba lihat deh! Rekaman CCTV sekitar pukul 5 merekam seorang sipir yang sedang berjalan tapi tingkahnya sangat aneh," lapor Tania sambil memperlihatkan rekamannya.
Tatapan mataku terfokus pada rekaman CCTV. Memang sipir itu terlihat sangat mencurigakan pergerakannya. Apalagi ia terus memandangi letak kamera CCTV seperti ingin melakukan perbuatan kejamnya secara diam-diam lalu merusak rekamannya sebelum melakukan aksi jahat.
Jari telunjukku menunjuk layar monitor. "Tidak salah lagi. Dia pasti Gerry yang sedang bertugas berpatroli di sana. Dia pasti sedang mencari cara untuk merusak CCTV sepanjang koridor."
Dahi Tania mengernyit. "Gerry? Sipir yang baru bekerja?"
"Tadi aku melihat jadwalnya bertugas berpatroli setiap pukul 5 sore. Tidak salah lagi pasti itu dia," sahutku bertopang dagu.
Nathan menggarukkan kepala kebingungan. "Tapi anehnya, rekamannya, kan terakhir terlihat sekitar pukul 6 sore. Sedangkan tadi aku bertanya kepada salah satu sipir yang bekerja bahwa pukul 6 sore itu bukanlah Pak Gerry yang bertugas."
Aku mengetuk meja berirama berusaha mencerna pikiranku cepat. "Pasti dia sengaja menawarkan bantuan kepada sipir yang bertugas supaya dia bisa memasuki kamar Ray sekitar pukul 6 sore."
Tiba-tiba ada ide cemerlang terlintas dalam pikiranku. Aku mengajak Tania dan Nathan mengunjungi rumah Gerry untuk menyelidiki lebih dalam lagi daripada kami bermain tebak-tebakan terus.
Setibanya di rumah Gerry, aku mengetuk pintu rumahnya berkali-kali dan juga menekan bel rumah namun tidak ada respons sama sekali.
"Ini percuma, pasti dia sudah melarikan diri," kata Tania mendesah pasrah.
"Aku coba tanyakan salah satu tetangganya," tawar Nathan sukarela menekan bel salah satu rumah tetangga.
Ding...dong...
Tidak sampai dua menit menunggu, tetangga tersebut langsung keluar dari rumah.
"Kalian siapa?" tanya tetangga itu menatap kami bingung.
Aku memperlihatkan name tag dengan ekspresi wajah berkarisma. "Kami adalah detektif. Boleh minta waktunya sebentar? Mohon atas kerja samanya."
"Baiklah, memangnya ada apa, ya?"
"Gerry merupakan tetangga yang tinggal di sebelah Anda, apakah dia masih tinggal di sana hingga sekarang?" tanyaku mulai fokus pada penyelidikannya.
"Sepertinya mulai hari ini dia sudah tidak tinggal di sini lagi. Tadi pagi saat saya sedang keluar rumah, saya melihat dia membawa banyak barang seperti ingin pindah rumah," jawab tetangga itu menautkan kedua alisnya.
"Pukul berapa Anda melihatnya?"
"Sekitar pukul 1 siang."
Tidak salah lagi. Gerry sudah melarikan diri dan merencanakannya sejak awal. Aku tidak perlu menginterogasi lebih lama lagi.
"Baiklah, terima kasih atas kerja samanya. Maaf mengganggu Anda larut malam begini," pamitku sopan meninggalkan rumah itu sambil mengisyaratkan Nathan dan Tania mengikutiku kembali menuju kantor.
Setibanya di kantor, kami bertiga melangkah lemas memasuki kantor. Aku menduduki kursi kerjaku sambil mendesah pasrah hingga membuat kedua temanku mulai mencemaskan keadaanku sekarang.
"Sekarang kita harus bagaimana?" keluh Nathan.
"Ray diracuni karena pelaku sesungguhnya tahu kalau aku mengunjungi Ray belakangan ini untuk menggali informasi mengenai kematian ayahku," sahutku.
"Tapi pelakunya bagaimana bisa tahu bahwa kamu mengunjungi Ray terus?" tanya Tania bingung sambil berkacak pinggang.
"Mungkin dia memperkerjakan beberapa mata-mata lagi," ucap Nathan berspekulasi asal.
Tania memutar bola mata melipat kedua tangan di dada. "Penny, apakah kamu yakin tidak membutuhkan Adrian di saat seperti ini?"
Lagi-lagi mendengar nama sahabatku membuat sikapku kembali dingin dan hatiku terasa sesak. Pikiranku saat ini sebenarnya sangat merindukannya, namun keadaan yang membuatku harus bersikap dingin seperti ini.
"Aku tidak membutuhkan bantuannya lagi. Hubungan pertemanan kami sudah berakhir,"
Tania menepuk jidat. "Kamu mengakhiri hubungan pertemanan dengannya itu tidak akan menyelesaikan masalah, Penny. Situasi tidak akan berubah sama sekali."
"Benar kata Tania. Mungkin kamu akan menyakiti perasaannya, apalagi dia sekarang ditinggal sendirian. Pasti dia sangat kesepian sekarang, tidak memiliki siapa pun yang bisa menemaninya," lanjut Nathan berusaha membantu Tania membujukku juga.
Apakah benar tindakanku salah? Entah kenapa mulutku rasanya sangat enggan mengucapkan kata benci berkaitan dengan Adrian. Ada benarnya perkataan Nathan. Adrian tidak memiliki siapa pun bisa menemaninya. Selama ini, hanya aku yang bisa menemaninya di situasi apa pun. Namun, rasa takut dalam diriku lebih mendominasi. Aku masih takut Adrian terluka kedua kali karena aku.
"Tapi kalau seandainya sampai dia terluka lagi gimana? Terakhir kali saat setahun yang lalu, hatiku sudah sakit melihatnya menderita seperti itu. Aku tidak mau kehilangan orang terdekatku seperti Ray. Sebenarnya saat aku mendengar kabar ini, aku ingin menangis walaupun dia sekarang musuhku."
Tania tersenyum tipis memeluk tubuhku hangat. "Aku tahu itu. Sebenarnya aku saat mendengar kabar itu juga sangat sedih karena dia dulu adalah teman terdekat kita. Tapi bukan berarti kamu menghindari masalah ini, Penny. Kalau kamu menghindar berarti kamu itu orang yang lemah. Kamu harus tetap tangguh untuk menghadapi situasi ini. Kasus hilangnya ayahmu itu tidak ada hubungannya dengan penderitaan yang dialami Adrian. Kamu harus bertemu dengannya dan minta maaf secepatnya."
Nathan membulatkan mata sambil bertepuk tangan heboh. "Wah, Tania ini ternyata bijak sekali, ya! Biasanya kerjaanmu hanya makan yang banyak sampai gemuk!"
Tania memanyunkan bibir lalu memukul lengan Nathan seketika mendengar ada sebuah kata menyinggungnya. "Ish lebih baik kamu diam saja! Aku lagi berusaha untuk menenangkan Penny. Lagi pula aku tidak gemuk! Jangan asal bicara saja!"
Mendengar nasihat dari Tania dan Nathan barusan, aku menyadari tindakanku salah. Mungkin sekarang aku menyakiti perasaan Adrian karena kemarin aku terlalu bersikap dingin padanya. Aku duduk termenung, cemas Adrian mungkin akan menyimpan dendam padaku. Memang ini semua salahku yang gegabah cepat ambil kesimpulan tanpa berpikir panjang.
Aku menundukkan kepala. "Tapi kalau aku ingin bertemu dengannya sekarang, apakah dia ingin bertemu denganku? Aku sudah bersikap dingin dengannya terakhir kali kami bertemu. Sekarang dia pasti menaruh dendam padaku dan tidak ingin bertemu denganku lagi selamanya."
Tania memasang senyuman percaya diri menepuk pundakku. "Adrian bukan tipe orang pendendam. Dia adalah pria yang berhati lembut dan pengertian padamu. Aku yakin pasti dia ingin bertemu denganmu. Kamu coba hubungi dia sekarang sebelum semuanya terlambat."
Usulan Tania membangkitkan semangatku kembali bertemu Adrian.
"Baiklah. Akan kucoba hubungi dia sekarang. Terima kasih Tania, kamu memang teman terbaikku."
Dengan sigap aku mengambil ponselku untuk menghubungi Adrian.
"Bisakah kita bertemu sebentar di Kafe tempat terakhir kali kita bertemu?" Sebenarnya aku gugup mengajaknya tiba-tiba setelah bertengkar dahsyat kemarin.
"Boleh saja. Aku tidak sibuk."
"Baiklah, kalau begitu sampai jumpa di sana," ucapku langsung menutup panggilan teleponnya.
Dengan penuh semangat, aku langsung berlari keluar dari kantor dan mengendarai mobilku menuju tempat pertemuan kami. Aku berharap Adrian akan memaafkan aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Ridho Talita
aq dateng lagi sist...
2021-07-26
1
Dhina ♑
#220
2021-03-23
1
YonhiarCY (Hiatus)
iya tuh bener kata Tania, ditambah kamu ini kan Penny, pasti Adrian maafin kamu Penny😇
2021-02-02
1