Aku melepas genggaman tangan Nathan dan Tania lalu berlari menghampiri tubuh Adrian tersungkur di lantai. Air mataku mengalir tanpa hentinya melihat kondisi tubuh Adrian yang sangat sekarat. Apalagi ia mengorbankan nyawanya demi menyelamatkanku, aku semakin bersalah padanya.
"Penny ...." lirihnya lemas.
"ADRIAN! ADRIAN! JANGAN TINGGALKAN AKU BEGITU SAJA! Ini semua salahku," teriakku menjerit menangis sambil menahan darahnya mengalir deras dari perutnya hingga tanganku kini berlumuran darah.
Adrian meraih tanganku masih menampakkan senyuman. "Jangan menangis, Penny. Jangan salahkan ... dirimu."
"Kamu pasti selamat, Adrian. Maka dari itu, kamu harus tetap bertahan."
"Penny ...." Secara perlahan kedua matanya terpejam dan tangannya terjatuh lemas.
Aku menepuk pipinya panik. "ADRIAN! SADARLAH ADRIAN!"
Ray terlihat sangat panik berusaha melarikan diri. Namun sudah terlambat karena polisi sudah datang mengepung tempat ini sehingga ia tidak bisa kabur ke mana pun lagi.
Aku menghampiri Ray sambil menerima borgol pemberian dari Tania untuk memborgol Ray. "Kamu ditangkap atas pelaku pembunuhan. Kamu berhak menyewa pengacara untuk membelamu atau hak untuk berdiam diri saja. Oh iya satu hal lagi, kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Adrian, aku akan memastikan hukumanmu jauh lebih berat."
Ray tidak menanggapi perkataanku. Aku memerintahkan petugas kepolisian membawa Ray menuju kantor polisi. Usai itu, aku kembali menghampiri tubuh Adrian sekarat menahan aliran darahnya lagi hingga tim paramedis menjemputnya.
Tak lama kemudian, tim paramedis menghampiri kami dan membawa kami berdua ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, aku langsung diberi pengobatan oleh dokter dan aku harus dirawat di rumah sakit dalam dua hari lagi. Sebenarnya bagiku luka yang kualami tidak terlalu parah. Malahan aku lebih mencemaskan kondisi Adrian saat ini.
Setelah lukaku diobati, aku langsung berlari menuju ruang operasi tempat Adrian dioperasi. Tubuhku terjatuh lemas tepat di depan pintu ruangan sambil menggigit bibir bawahku dengan ketakutan. Operasi ini sudah berjalan satu jam tapi masih belum ada kabar. Aku tetap menunggu selesainya operasi walaupun sampai berjam-jam dan semua pengunjung rumah sakit mengamatiku terus menangis seperti ini di depan ruang operasi.
Tiga jam kemudian, aku masih menunggu tepat di luar ruang operasi. Melihat kondisiku yang tidak berdaya begini, Tania kebetulan lewat sini langsung berlari menghampiriku sambil membawakan sekantong plastik.
"Penny! Kenapa kamu duduk di lantai?" tegurnya menuntunku menduduki sebuah bangku kosong.
Mataku semakin berkaca-kaca. "Aku ... sangat mencemaskannya."
"Sudahlah sebaiknya kamu mengurus dirimu sendiri dulu. Aku bawakan makanan untukmu. Kamu harus makan agar tetap kuat," tutur Tania sambil mengeluarkan bungkusan makanannya.
Aku menggeleng lesu menahan tangannya ingin menyuapiku. "Nanti saja deh aku makan. Aku harus menunggu operasi ini selesai baru bisa makan dengan tenang."
"Adrian pasti baik-baik saja, aku yakin dia pasti kuat untuk menghadapinya." Tania berusaha menghiburku sambil menggenggam tanganku.
Bagi Tania, Adrian pasti akan baik-baik saja. Bagiku, aku sangat takut. Aku takut Adrian mungkin akan terbaring koma dalam waktu lama karena menolong orang tidak penting sepertiku.
Tangisanku semakin pecah hingga air mataku terus membasahi pipiku. "Ini semua salahku sehingga dia bisa kritis begini, Tania. Gara-gara aku, dia sekarang tidak sadarkan diri. Kalau operasinya gagal gimana? Aku tidak ingin kehilangan salah satu sahabat setiaku."
Tania memelukku hangat sambil mengelus punggungku. "Jangan salahkan dirimu. Operasinya pasti berjalan lancar. Aku yakin sekali."
Beberapa saat kemudian, salah satu dokter yang menangani operasi Adrian keluar dari ruang operasi menghampiriku.
"Operasinya berjalan dengan lancar, hanya saja sampai sekarang pasien belum sadarkan diri. Untungnya pelurunya tidak menembus tubuhnya terlalu dalam sehingga tidak merusak organ tubuhnya. Saat ini pasien sudah bisa dipindahkan ke ruang inap," kata dokter memberikan kabar baik hingga membuatku bernapas sedikit lega sekarang.
"Terima kasih banyak, Dok. Terima kasih telah menyelawatkan nyawanya. Pindahkan dia ke bangsal VIP. Kira-kira kapan dia bisa sadarkan diri ya?" tanyaku sudah tidak bisa bersabar menunggu.
"Dia kehabisan banyak darah. Mungkin paling cepat besok malam. Kita tunggu dan lihat saja perkembangannya."
Para perawat keluar dari ruang operasi sambil mengantarkan Adrian yang terbaring tidak sadarkan diri di ranjang menuju bangsal VIP. Sekarang hatiku sangat lega karena kondisi Adrian sekarang sudah tidak terlalu kritis. Dengan sigap aku mengajak Tania menemaniku makan di ruanganku.
"Sekarang kamu sudah berselera makan?" tanya Tania mengukir senyuman tipis padaku.
"Tapi aku masih mengkhawatirkannya. Kalau dia sampai tidak sadarkan diri gimana. Dokter mengatakan bahwa dia kehilangan banyak darah. Aku takut."
"Sudahlah kamu tidak usah berpikiran aneh lagi. Lebih baik kamu cepat habiskan makanannya sebelum makanannya dingin menjadi tidak enak," celoteh Tania mulai mengeluarkan jurus cerewetnya.
"Iya ibuku yang sangat cerewet! Sekarang kamu bisa lihat aku sedang makan," keluhku sambil mencubit pipi Tania lembut.
Setelah aku berbincang lama dengan Tania, aku pergi mengunjungi Adrian. Sampai sekarang ia masih belum sadarkan diri walaupun tanda vitalnya tetap stabil. Aku terus menunggunya sadarkan diri dari pagi hingga malam hari tidak peduli tubuhku terasa pegal.
Aku sudah menunggunya selama seharian penuh, Adrian masih belum sadarkan diri juga. Sekarang aku merasa takut, takut sekali hingga aku tidak berani melihatnya. Aku sudah berdoa selama berjam-jam tapi ia masih membuka matanya. Aku menggenggam tangannya menangis terisak-isak sambil menggenggam tangannya hingga membasahi punggung tangannya.
"Jangan menangis, Penny." Aku merasakan sentuhan jempolnya sedang mengusap kelopak mataku hingga membuat mataku terbelalak melihatnya telah sadar di hadapanku.
Dengan sigap aku langsung berlari keluar memanggil dokter bersangkutan. Lalu dokter tersebut mengikutiku memasuki kamar memeriksa kondisi Adrian.
"Sekarang pasien sudah baik-baik saja, hanya pasien tidak boleh banyak bergerak dulu. Pasien harus istirahat yang cukup sampai kondisinya pulih sepenuhnya," pesan dokter tersebut padaku.
"Baiklah, terima kasih banyak, Dok," balasku tersenyum lebar.
Setelah dokter tersebut meninggalkan kami berdua, Adrian menatapku mengukir senyuman hangatnya padaku.
"Penny ...."
"Bagaimana kondisi tubuhmu? Terutama perutmu apakah masih terasa sakit?" tanyaku sangat mencemaskannya sambil menduduki kursi di sebelah ranjang.
Adrian tidak meresponsku. Pandangannya berbinar-binar seolah-olah seperti tidak terjadi sesuatu buruk menimpanya.
Helaan napas kasarku dihembuskan dari mulutku lalu tanpa kusadari, aku memeluknya erat sekarang. "Kamu membuatku takut saja!"
Kedua lengannya mengelus punggungku. "Maafkan aku membuatmu takut sampai memelukku erat begini."
"Habisnya kamu tidak respons sama sekali saat aku mengunjungimu. Kalau sampai terjadi hal yang aneh gimana."
"Tenang saja. Aku kan kuat jadi bisa menghadapi masalah ini."
Aku melepas pelukan lalu memukuli lengannya pelan. "Kamu benar-benar bodoh. Kenapa kamu melindungiku dari tembakan itu sih? Gara-gara kamu menyelamatkanku, sekarang kamu jadi dirawat dan tidak bisa pergi ke mana pun."
"Aku paling tidak suka melihat sahabatku terluka parah di hadapanku. Jadi aku berlari dan menolongmu," ungkap Adrian dengan tatapan penuh makna.
Nada bicaranya seolah-olah menganggapku seperti kekasihnya. Sahabat tapi bagiku ia melindungiku sangat berlebihan. Mendengar ia masih berlagak angkuh, membuatku semakin kesal saja meski ia bermaksud baik mengorbankan nyawanya demi aku.
"Tapi bagaimana kamu bisa menemukanku? Padahal sistem navigasi ponselku dimatikan," tanyaku mulai penasaran menautkan kedua alisku.
"Dari bros yang kuberikan padamu," jawab Adrian.
Mataku terbelalak ketika mengetahui bros pemberiannya bukanlah sebuah bros biasa. Bisa dikatakan selama ini aku memakai sebuah bros yang telah dipasang sebuah alat pelacak.
"Bros bunga Magnolia itu? Tapi bagaimana bisa?" tanyaku bingung sambil berkacak pinggang.
Adrian menggarukkan kepala menunduk malu. "Sebenarnya aku memasang alat pelacak di bros itu sebelumnya. Gara-gara kamu belakangan ini diincar oleh pembunuh terus, jadi buat jaga-jaga kupasang alat itu takut terjadi sesuatu buruk padamu. Tenang saja, aku melacakmu jika terjadi hal darurat saja. Setelah aku mengetahui kamu diculik, aku langsung hubungi rekan timmu untuk membantuku mencarimu. Maaf aku telah memasang alat pelacak tanpa izin terlebih dahulu."
Aku tidak membutuhkan permintaan maafnya. Ia mengorbankan nyawanya demi aku sudah cukup membuatku semakin bahagia memiliki sahabat yang sangat perhatian. Bisa dikatakan, hanya Adrian satu-satunya orang yang memperlakukan sahabatnya sejauh ini.
"Tidak apa-apa. Aku justru berterima kasih kepadamu karena telah menyelamatkanku sampai rela mengorbankan nyawamu. Aku akan membalas budi padamu suatu hari nanti," balasku tersenyum manis padanya.
"Omong-omong, kapan kamu boleh keluar dari rumah sakit?" tanya Adrian.
"Besok pagi aku sudah boleh keluar dari rumah sakit kok. Sebelum aku pergi, aku akan mengunjungimu dulu."
Adrian menggeleng. "Tidak usah repot mengunjungiku. Aku bisa mengurus diriku sendiri."
"Aku harus memastikan kondisi tubuhmu sebelum aku meninggalkan rumah sakit."
Adrian memutar bola mata dan menghembuskan napas pasrah. "Baiklah kalau itu keinginanmu, aku tidak akan melawanmu."
"Aku kembali ke ruanganku dulu ya. Aku harus membereskan barangku dulu."
"Baiklah, kamu istirahat dulu saja. Sampai jumpa besok."
Setelah berpamitan dengan Adrian, aku langsung pergi ke ruanganku dan membereskan barang-barangku. Keesokan harinya sebelum aku mendatangi Adrian, aku mampir beli makanan dulu. Setelah itu, aku mampir sebentar mengunjungi Adrian untuk memberikan makanan.
"Ini untukmu. Tadi aku sebelum ke sini mampir sebentar membelikanmu makanan," ucapku sambil membukakan bungkusan makanan.
"Terima kasih, Penny. Kamu harus berangkat ke kantor sekarang. Tenang saja, aku baik-baik saja. Saudaraku juga bisa merawatku di sini."
"Tapi apakah kamu sudah membuang angin? Kata dokter kamu harus buang angin dulu lalu boleh makan."
"Tenang tadi sudah kok."
Setibanya di kantor polisi, aku melihat Ray sedang duduk termenung sendirian di ruang tahanan sementara. Hari ini aku akan menginterogasinya dan mendapatkan jawaban langsung darinya.
"Mari kita masuk ke ruang interogasi!" ajakkuajakku dengan nada tegas.
Petugas kepolisian mengawalnya memasuki ruang interogasi. Caranya berjalan seperti tidak merasa bersalah dan mengangkat kepalanya penuh percaya diri di saat situasi seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Dhina ♑
#231
2021-03-23
1
Author Rayana Lovely
huaaaa😭😭 ini pasti karena benih2 cinta mulai tumbuh🤧🤧
2021-02-15
1
Pujas_erha🤓
like💙
2021-02-01
1