Matahari bersinar dengan terang menyinari seisi kamarku. Aku membuka mataku perlahan dan melihat Adrian masih tertidur lelap di sofa tanpa memakai selimut. Ia pasti sangat lelah dan tidak beristirahat cukup karena mengurus kasus ini ditambah musibah yang menimpanya.
Spontan aku mengambil selimutku sambil beranjak dari ranjang dan melangkahkan kakiku pelan menghampirinya bermaksud menyelimuti tubuhnya. Saat aku berjongkok menyelimuti tubuhnya hingga menutupi leher, tiba-tiba ia membuka matanya secara perlahan menatapku dengan senyuman manis.
Aku jadi merasa sungkan langsung memalingkan mataku. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membangunkanmu."
"Tidak apa-apa, Penny. Sudah jam segini juga, aku harus segera berangkat ke kantor," sahut Adrian meregangkan kedua tangannya ke atas.
Aku mengatupkan bibirku sejenak sambil menyingkirkan helaian anak rambut ke belakang telinga. "Adrian, terima kasih telah setia menemaniku tidur di sini sepanjang malam. Pasti tidur di sofa rasanya sempit dan tidak nyaman."
"Penny, justru aku yang harus berterima kasih padamu."
Dahiku mengernyit Aku bingung dengan maksudnya apa. Padahal aku yang memintanya untuk menemaniku sepanjang malam sampai kelelahan begini. "Kenapa begitu? Padahal kamu yang menemaniku di sini sepanjang malam."
Adrian menunduk malu sambil memainkan kuku jari. "Berkat kamu, sekarang hatiku merasa lega walaupun kita sudah melalui masa kelam beberapa saat lalu. Aku lebih memilih tidur di sofa menemanimu di sini dibandingkan tidur di ranjang kamarku yang luas karena aku tidak merasa kesepian setiap berada di dekatmu. Luka yang kemarin membekas di hatiku cukup besar, kini sudah tersembuhkan berkat kamu, Penny."
Isi hatinya sama sepertiku. Tidak kusangka aku mampu menyembuhkan luka hati Adrian. Meski hubungan kita bukan sepasang kekasih, entah kenapa tatapannya saat mengungkapkan isi hatinya itu sedikit berbeda dari biasanya. Namun, aku tetap saja tidak ingin terbawa suasana sebelum menyesal di akhir. Aku hanya bisa berkata jujur padanya mengenai lukaku juga tersembuhkan berkat dirinya.
"Aku juga merasakan hal yang sama. Rasa sesak yang dialamiku sepanjang hari kemarin, kini sudah tidak terasa sesak lagi. Karena kamu telah menghibur hatiku sampai melupakan kejadian mengerikan itu."
Adrian mengelus kepalaku dengan tatapan penuh perhatian membuat hatiku semakin bermekaran di pagi hari. "Memiliki sahabat setia sepertimu rasanya sangat langka di dunia ini."
Di tengah perbincangan kami di pagi hari membuat suasana hati kami kembali membaik, sorot mataku tertuju pada sebuah jam dinding mengingat waktu terus berjalan. Sedangkan kami belum bersiap-siap. Adrian baru menyadarinya langsung matanya terbelalak.
"Astaga kita berbincang sampai lupa waktu! Sebaiknya aku harus bersiap-siap sekarang. Mustahil kalau aku membiarkan sepupuku mengurus rumah duka seharian." Dengan sigap Adrian beranjak dari sofa.
"Kalau begitu, aku juga bersiap-siap dulu deh. Kakiku sudah mendingan jadi aku bisa keluar dari rumah sakit hari ini." Aku juga terburu-buru beranjak dari ranjang sambil mengambil jaketku tergeletak di kursi.
Adrian menyentuh tangan kananku. "Tunggu, Penny!"
Aku menolehkan kepalaku menghadapnya dengan raut wajah polos. "Kenapa?"
Adrian menatap kakiku dengan wajah cemas. "Kamu yakin ingin kembali bekerja? Kamu masih belum sembuh total."
Aku tersenyum ceria melepas genggaman tangannya. "Iya, aku baik-baik saja. Kamu tidak usah mencemaskan aku terus."
Akhirnya Adrian hanya bisa pasrah sambil memakai jas mahal miliknya. "Baiklah kalau kamu berkata seperti itu, aku sedikit lega mendengarnya. Aku antarkan kamu ke kantor polisi dulu."
Setibanya di kantor polisi, aku langsung fokus terhadap pencarian Ray. Sejak percakapan terakhirku bersama Ray, ia sudah tidak terlihat lagi. Sepertinya ia tahu bahwa sekarang ia menjadi buronan yang dicari sekarang, pasti ia bersembunyi di suatu tempat di mana orang-orang tidak dapat menemukannya. Aku memanggil Tania dan Nathan untuk bertemu denganku di ruang rapat.
Di ruang rapat, kini hanya kami bertiga saja di sini sehingga suasana sangat sepi.
"Apakah kalian menemukan sesuatu?" tanyaku mulai fokus pada penyelidikan.
Nathan menghembuskan napas pasrah. "Aku sudah mencarinya ke rumahnya tapi sepertinya dia tidak bersembunyi di rumahnya."
"Aku sudah mencari latar belakangnya. Ray itu merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adik laki-lakinya saat ini sedang kuliah di Universitas Margonda. Ibunya sendiri mengidap penyakit kanker darah stadium empat. Sedangkan ayahnya telah meninggal sekitar lima tahun yang lalu," tambah Tania sambil menatap layar ponsel berisi semua informasi yang didapatkannya mengenai Ray.
Mendengar informasi dari Tania, aku memiliki ide cemerlang. "Hmm mungkin kita bisa mengunjungi adiknya. Siapa tahu adiknya mengetahui tempat yang biasanya dikunjungi Ray."
"Baiklah, aku pergi ke rumah sakit sekarang untuk mengecek apakah dia ada di rumah sakit," jawab Tania bergegas meninggalkan ruang rapat.
Setibanya di Universitas Margonda, aku dan Nathan menunggu adiknya Ray di depan gerbang. Karena mustahil kami menerobos masuk gedung kampus tiba-tiba tanpa ada surat perintah.
Setelah 30 menit menunggu, akhirnya sosok pemuda tidak asing berpenampilan casual berjalan keluar dari gedung kampus. Aku dan Nathan menatap layar ponsel kami memastikan pemuda itu adalah adiknya Ray sambil berjalan cepat menghampirinya.
"Maaf permisi, apakah kamu adiknya Ray bernama Ryder?" tanyaku ramah.
"Iya nama saya Ryder. Anda siapa ya?" Ryder menatapku sedikit gugup.
"Aku teman kakakmu, namaku Penny. Senang bertemu denganmu," ucapku sopan tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan kananku.
"Salam kenal juga, Penny," sahut Ryder dengan ramah berjabat tangan denganku.
"Bagaimana kalau kita berbincang sebentar di Kafe?"
"Boleh nih. Ada Kafe terkenal di sekitar sini, jalan kaki selama 10 menit juga sampai," jawab Ryder.
"Baiklah kalau begitu, apakah temanku bernama Nathan boleh ikut? Nathan itu merupakan teman terdekatku yang sangat ramah," tanyaku meminta izin sambil menatap Nathan sekilas.
Ryder mengangguk. "Boleh kok. Semakin ramai semakin bagus terasa menyenangkan."
Setibanya di kafe, aku melihat sekeliling kafe rasanya teringat seperti dulu saat aku, Tania, Nathan, dan Ray yang suka berkumpul saat setelah pulang kerja atau saat sedang istirahat. Akan tetapi, sekarang tidak adanya Ray, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Aku memikirkan itu sambil duduk termenung hingga Ryder bingung menatapku sambil melambaikan tangannya di hadapanku.
"Penny? Dari tadi sedang melamun apa?" tanya Ryder.
Aku baru terbangun dari lamunanku sambil merapikan rambutku sedikit berantakan. "Oh maaf aku sedang memikirkan hal lain."
"Ah, kamu ini Penny malu-maluin saja! Temanku ini kalau banyak pikiran memang suka melamun. Sebaiknya kamu jangan menirunya," pesan Nathan pada Ryder sambil tertawa ledek padaku.
"Omong-omong, Penny mau bicara apa denganku?" tanya Ryder mulai penasaran pada inti pembicaraan awal.
"Aku penasaran nih biasanya kakakmu kalau sedang tidak sibuk pergi ke mana, ya?" Aku mulai fokus menginterogasinya walaupun ini tidak terlihat seperti interogasi sungguhan supaya Ryder tidak kaget mengetahui kondisi kakaknya sekarang.
Ryder mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku juga kurang tahu apa yang dilakukan kakakku selama ini karena aku biasanya suka pulang malam karena nongkrong bersama temanku di rumahnya."
Aku sedikit bingung, seingatku Ray pernah bilang ia akrab dengan adiknya. Kenapa justru adiknya berkata sebaliknya? "Bukankah kalian biasanya terlihat akrab ya?"
"Tidak. Kami memiliki kesibukan masing-masing. Aku sibuk bersama temanku sendiri sedangkan kakak pulang larut malam terus. Tapi aku sepertinya pernah melihat dia beberapa kali di jalan deh."
Aku membulatkan mataku sambil memajukan kepalaku. "Kamu melihatnya di mana? Kakakmu sedang ngapain?"
"Saat aku sedang jalan bersama temanku menuju warnet, aku melihat kakakku sedang berbicara dengan seseorang, tapi aku tidak mengenal wajahnya karena aku hanya sekilas melihat saja."
Aku terdiam sejenak dan semakin yakin bahwa Ray dan Darren sudah bekerja sama sejak dulu. "Waktu itu kamu melihatnya kapan ya?"
"Kalau tidak salah sekitar dua minggu yang lalu.”
"Ish benar-benar si Ray sekarang punya teman baru sampai tidak sempat nongkrong bareng kita lagi!" sungut Nathan pura-pura kesal sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Kemudian aku berpura-pura batuk sebagai kode kepada Nathan untuk mengalihkan pembicaraan kami agar Ryder tidak mencurigai kami.
"Oh iya Ryder, omong-omong kopi di sini yang enak selain Choco Latte itu apa ya?" tanya Nathan kepada Ryder yang mengalihkan pembicaraan.
"Oh, kalau aku dan temanku suka minum yang Matcha Latte, enak sekali rasanya," jawab Ryder sambil menyesap Choco Latte miliknya.
Setelah pembicaraan kami yang panjang lebar, Ryder berpamitan pulang. Lalu aku juga memutuskan untuk pulang karena hari sudah gelap. Lagi pula aku sudah lama tidak pulang ke rumah jadi sesekali tidur di rumah.
drrt...drrt...
Ponselku tiba-tiba berbunyi saat aku sedang menyetir mobilku di tengah jalan. Ternyata itu panggilan telepon dari ibu.
"Halo Penny. Ibu akan keluar kota selama beberapa hari ini ya karena ada acara pernikahan anaknya teman ibu," ucap ibu lewat telepon.
"Baiklah kalau begitu hati-hati ya, Bu. Di luar sekarang sangat berbahaya, ibu jangan nongkrong sama teman ibu terlalu malam ya," pesanku pada ibu sambil menyetir.
"Iya tenang saja. Ibu akan baik-baik saja kok. Jaga dirimu baik-baik, ya."
"Sudah dulu ya, Bu. Aku sedang menyetir mobil nih." Aku mematikan panggilan teleponnya.
Setibanya di rumah, rasanya sangat aneh jika tidak ada ibu di sini. Di rumah yang biasanya mendengar ocehan ibu sekarang jadi sunyi sekali. Di saat situasi begini malahan aku sendirian di rumah dan merasa kesepian.
Ding...dong...
Terdengar suara bel rumahku dibunyikan oleh seseorang. Dengan sigap aku bergegas membuka pintu dan ternyata hanya seorang kurir membawakan sebuah paket.
"Apakah Anda Penny?"
"Iya itu saya," jawabku cemberut karena aku sudah berpikir yang menekan bel itu adalah teman-temanku.
"Ini paket untuk Anda.” Kurir itu memberi sebuah kotak kemudian meninggalkan rumahku.
Aku masuk ke dalam rumah dan membuka kotak itu. Ini aneh sekali, tidak ada nama pengirim paket ini. Aku tidak memesan barang juga. Selain itu temanku juga tidak berpesan padaku ingin mengirimkan barang untukku. Tanpa berpikir panjang, aku buka kotak dan ternyata isinya seekor burung telah mati yang sayapnya sudah patah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Ridho Talita
semangaaat
2021-07-05
1
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
lanjut besok lagi
2021-04-28
1
nanni02😜😺
aduhh dpt pket isinya burung matii😤😤
2021-04-04
2