Tiga puluh menit kemudian, akhirnya Adrian menerima laporan mengenai pelacakan truk dari rekannya. Jika dilihat lagi rekaman CCTV, truk itu mengarah ke daerah pemukiman.
Setibanya di daerah pemukiman, ternyata pelaku telah melarikan diri meninggalkan truk. Tim forensik telah mengecek keseluruhan truk, tapi tidak ada jejak maupun sidik jari yang tertinggal, bahkan sehelai rambut pun tidak ada. Kamera dasbor truk juga sudah hilang yang diambil oleh pelaku.
"Apakah rekan timmu sudah menghubungi seluruh tempat sewa truk?" tanya Adrian padaku.
"Sudah kuminta mereka menghubunginya, tapi belum mendapat informasi apa pun," jawabku mendesah pasrah sambil menatap layar ponsel sekilas.
drrt...drrt...
Ponsel Adrian berbunyi, lalu ia langsung mengangkat panggilan teleponnya.
"Apa? Kamu sudah menemukannya? Baiklah aku segera ke sana," ucap Adrian terburu-buru menutup panggilan teleponnya lalu kembali menatapku.
"Apakah rekan timmu menemukan sesuatu lagi?" tanyaku mulai penasaran melihat ekspresi wajahnya terlihat ada secercah harapan.
"Truk yang dikendarai pelaku itu merupakan truk buangan yang dibuang di tempat pembuangan kendaraan. Truk itu telah dicuri oleh pelaku sejak tiga hari yang lalu," ujar Adrian menjelaskannya padaku.
Senyuman tipis terbit pada sudut bibirku. “Syukurlah, aku akan kasih tahu rekanku dulu.”
“Kamu ikut aku pergi ke tempat itu.”
Setibanya di tempat pembuangan kendaraan, aku dan Adrian langsung menemui pemilik tempat itu Akan tetapi, pemilik tempat itu juga tidak tahu nama dan rupa wajah pembunuh. Aku masih tidak memercayainya dan menanyakannya sekali lagi untuk memastikannya. Metodenya sama seperti saat membeli nomor ponsel sementara, tidak ada bukti transaksi terkait dengan pelaku.
"Jadinya Anda sungguh tidak mengetahui sosok pelakunya?" tanyaku menyipitkan mataku dengan nada mulai ketus.
"Saya sungguh tidak mengetahui wajahnya seperti apa!" celetuk pemilik tempat ini.
Secara terpaksa aku dan Adrian meninggalkan tempat ini tanpa mendapatkan hasil. Aku berjalan dengan lemas hingga kepalaku pusing sekali karena hari ini aku belum makan sama sekali. Kakiku sudah lemas sekali hingga tubuhku terjatuh. Belum sempat ambruk ke tanah, dengan sigap Adrian menangkap tubuhku.
"Penny? Penny? Kamu kenapa? Wajahmu terlihat pucat sekali," tanya Adrian sangat panik menatap wajahku sambil merangkul tanganku.
Aku memijit dahiku sambil berusaha sahutku berlagak kuat di hadapannya walaupun sebenarnya tubuhku sudah tidak bertenaga sekarang. "Aku baik-baik saja. Hanya tubuhku sedikit lemas saja karena dari pagi sampai sekarang aku belum makan."
Adrian membulatkan mata sambil menepuk jidat. "Aduh, Penny! Kamu bekerja tanpa mengenal waktu sampai tubuhmu lemas begini! Kalau waktunya makan, kamu harus makan. Jangan terlalu fokus dengan pekerjaan terus! Kamu bisa terjatuh sakit!"
"Tidak apa-apa, ini demi pekerjaan. Kamu mulai lagi cerewet seperti ibuku." Aku berusaha membangkitkan tubuhku namun tubuhku kembali hampir terjatuh lagi dan langsung ditahan Adrian.
"Tuh kamu lihat sendiri, kan berdiri saja sudah tidak ada tenaga. Ayo, kita istirahat dulu mampir makan di restoran! Kali ini aku yang mentraktirmu!" ajak Adrian sambil menggendong tubuhku memasuki mobilnya.
Mendapat perlakuan lembutnya seperti ini, membuatku semakin malu terhadap diriku sendiri sampai merepotkannya terus. Lagi-lagi ia memperlakukanku tidak seperti biasanya, terutama pertama kali aku digendong seorang pria rasanya sangat canggung.
Saat kami sedang menyantap makan malamnya, raut wajah Adrian sangat cemberut memanyunkan bibirnya geram padaku. Perasaan aku hanya terjatuh lemas saja, tapi ia mengambek begini di hadapanku. Padahal yang lemas dan tidak makan seharian itu adalah aku. Aku tahu ia bermaksud untuk menunjukkan rasa sikap pedulinya padaku sebagai partner kerja.
"Sebenarnya aku penasaran denganmu sejak dulu. Mengapa kamu bekerja jadi seorang detektif? Padahal menurutku itu pekerjaan detektif itu sangat berbahaya untuk seorang wanita. Nyawamu bisa terancam terus.” Tiba-tiba Adrian membuka suara melontarkan pertanyaan tidak terduga.
Aku langsung terkejut dan terdiam sejenak. Tumben sekali Adrian bertanya hal pribadi kepadaku. Biasanya pembicaraan kami selalu tentang pekerjaan hingga membuatku bosan mendengarnya. Karena ia bertanya dan aku sudah akrab dengannya, tentunya aku harus terbuka dengannya.
"Untuk mengabulkan keinginan ayahku. Saat aku berusia dua belastahun, sebelum ayahku pergi bekerja ke luar negeri, ayahku berpesan kepadaku untuk bekerja sebagai seorang detektif yang penuh dengan ambisi karena karakterku sejak kecil yang penuh dengan ambisi itu sampai sekarang. Tapi itu adalah perbincangan terakhirku dengan ayahku. Lalu beberapa hari setelah ayahku ke luar negeri, aku tidak mendapat kabar apa pun darinya dan ayahku dilaporkan telah menghilang. Sampai sekarang, semua orang menganggap ayahku telah meninggal karena sudah mencari ke mana pun tetap tidak ditemukan keberadaannya. Oleh karena itu, aku belajar sungguh-sungguh untuk mengabulkan keinginan ayahku dan akhirnya menjadi seorang detektif," tuturku menjelaskan semuanya jujur padanya dengan senyuman hangat.
Mendengar kisahku sekilas, raut wajah Adrian berubah sedikit lesu. "Maaf telah membuatmu teringat dengan ayahmu lagi."
Aku menggeleng pelan menampakkan senyuman ceria. "Tidak apa-apa. Aku selama ini tidak kesepian karena banyak orang yang selalu tetap di sisiku di setiap saat seperti ibuku, rekan timku, dan kamu. Kamu selalu menemaniku setiap saat dan bertemu denganku secara tidak sengaja."
"Karena kamu kuanggap sebagai sahabat setiaku. Sahabat selalu bersama dan menemani setiap saat walaupun di saat kesulitan atau saat bahagia," ungkap Adrian tulus dengan pandangan berbinar padaku.
Mendengar ucapannya barusan, aku terkejut hingga mataku terbelalak. Jadinya selama ini Adrian menganggapku sebagai sahabat setianya, pantas saja ia selalu memedulikan aku walaupun sedikit berlebihan terkadang. Padahal kami baru bertemu juga, bahkan semua temanku tidak pernah mengatakan hal itu kepadaku secara langsung. Aku tidak percaya ia mudah memercayaiku begitu saja.
Karena Adrian sudah menganggapku sebagai sahabatnya, aku juga sedikit penasaran mengenai kehidupan pribadinya. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu mau jadi jaksa?"
"Untuk mencari kebenaran ayahku. Ayahku dikurung di penjara selama tujuh tahun karena menggelapkan uang perusahaan tempat ayahku bekerja. Padahal menurutku, ayahku bukan tipe orang yang suka berbuat hal kotor. Tapi saat aku selalu mengunjunginya di penjara, ayahku selalu berkata bahwa memang ayahku pelakunya. Maka dari itu, aku bekerja sebagai jaksa untuk menyelidiki kasus itu kembali secara diam-diam. Setiap harinya aku selalu menganalisis berkas kasus tersebut," jawab Adrian menceritakannya panjang lebar padaku.
Mendengar kisahnya, aku kasihan padanya, meski ia berusaha menutupi kesedihannya selalu tersenyum padaku. Satu hal yang membuatku ingin tertawa adalah keinginan kami bekerja pada profesi masing-masing, yaitu ada kaitannya dengan ayah kami. Entah kebetulan atau tidak, aku merasa nasib Adrian mirip sepertiku.
"Berarti kita berdua memiliki kesamaan yaitu menjalankan karier demi ayah kita," paparku tertawa santai dengannya.
"Aku harap aku bisa segera menangkap penjahat yang telah menjebak ayahku.”
"Aku yakin kamu pasti bisa menangkapnya," lanjutku dengan percaya diri.
"Setelah menghabiskan makanannya, aku mengantarkanmu pulang ke rumahmu, ya. Kamu harus beristirahat cukup di rumah supaya tubuhmu kembali kuat," usul Adrian mulai menunjukkan sikap kepeduliannya padaku.
Lagi-lagi aku diperlakukan manis berlebihan, sikapnya terus begini sepanjang hari menambah rasa maluku. "Maaf telah merepotkanmu karena mobilku ada di kantor polisi."
"Tidak masalah, ini demi sahabatku. Aku harus selalu membantu sahabatku."
Aku berinisiatif mengeluarkan beberapa lembar uang kertas melihat harga menu makanan di restoran ini lumayan mahal. "Omong-omong, makanannya biar aku saja yang bayar ya."
Dengan lincah Adrian menahan tanganku. "Jangan, Penny! Biar aku saja yang mentraktirmu."
"Tapi Adrian--"
"Sudahlah aku hanya ingin melakukannya dengan sepenuh hatiku. Karena kamu adalah sahabatku, maka dari itu aku hanya mentraktir khusus untukmu saja," tutur Adrian santai sambil menyantap makanannya.
Setibanya di depan rumahku, tatapan Adrian sangat terkejut saat melihat rumah tante Desy. Adrian juga menuruni mobilnya bersamaku melangkah menuju ke sana. Lalu tante Desy menghampirinya dengan raut wajah penuh kerinduan.
"Putraku, tumben kamu pulang mengunjungi ibu," sambut Desy sambil memeluk Adrian dengan hangat.
Aku membulatkan mataku dengan sempurna melihat perlakuan tante Desy terhadap Adrian. Jadi tante Desy merupakan tetangga baru itu adalah ibunya Adrian. Lalu Adrian itu berarti tetanggaku selama ini? Betapa bodohnya aku terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai tidak mengetahui hal semacam ini.
"Aku sedang mengantar sahabatku pulang ke rumahnya. Aku tidak menyangka bahwa ternyata kita tetangga sebelah," ujar Adrian sambil menatapku.
"Tapi kenapa aku selama ini tidak pernah melihatmu?" tanyaku bingung.
"Selama ini aku tinggal di apartemen elit dekat kantorku. Kalau aku tinggal bersama ibuku di sini, jarak antara kantor dengan rumahku lumayan jauh.”
Tante Desy menatapku dengan pandangan berbinar. "Oh, jadi teman baikmu yang selama ini kamu ceritakan pada ibu adalah Penny?"
Mendengar nada bicara sang ibu mulai heboh, pipi Adrian mulai memerah. "Iya benar, Bu."
"Ini sungguh luar biasa! Bagaimana kalian bisa saling bertemu? tanya Desy menatap kami girang.
Aku dan Adrian saling melempar pandangan malu sekilas. Karena bermula dari kecerobohanku, aku yang memulai membuka suaraku dulu. "Kami bertemu secara tidak sengaja di minimarket.”
"Lalu sejak hari itu, aku terus bertemu dengannya secara tidak sengaja." Adrian melanjutkan penjelasanku.
Tante Desy menanggapi penjelasan kami sambil terus manggut-manggut. "Begitu rupanya. Sepertinya memang kalian sudah ditakdirkan bertemu terus deh."
Mendengar perkataan sang ibu terkesan ambigu, pipi Adrian semakin memerah dan tangan kanannya menggaruk kepala gugup.
"Kamu masuk dulu saja. Hari ini kamu sudah bekerja sampai kelelahan jadi harus istirahat yang cukup," saran Adrian memecah suasana canggung.
"Baiklah, aku masuk ke dalam rumahku dulu ya, Tante," pamitku ramah.
"Kapan-kapan kamu dan ibumu makan di rumahku ya sambil berbincang. Sekalian juga supaya hubunganmu dengan putraku semakin dekat," tutur Desy menggenggam tanganku membuat Adrian semakin gugup sekarang.
Adrian menepuk jidat mendengar pikiran ibunya sungguh berbeda jauh dari apa yang dipikirkannya. "Astaga, Bu! Aku dan Penny hanya sebatas sahabat saja."
Aku juga merasa canggung mendengar perkataan tante Desy. Apalagi mustahil Adrian mengajakku berkencan, pasti ada wanita lain mendahuluiku.
Tapi, aku tetap harus menunjukkan sikap kesopananku menuruti keinginan tetangga baruku. "Baiklah, Tante. Kalau aku ada waktu luang, aku dan ibuku pasti akan makan bersama di rumah tante."
"Bagus jadinya kita semua bisa saling mengenal lebih dekat lagi terutama hubungan kalian berdua!" sorak Desy penuh antusias membuat Adrian menggelengkan kepalanya.
"Aku permisi masuk ke rumahku dulu, ya," pamitku sopan.
Sedangkan Adrian dan ibunya terburu-buru memasuki rumah mereka. Baru menginjak satu langkah di depan pintu utama, akhirnya Adrian kembali bernapas lega setelah menghadapi masa canggung. Lalu, Adrian menuntun ibunya menuju ruang tamu menduduki sofa.
"Aduh, ibu kenapa berbicara seperti itu di hadapan Penny!" keluh Adrian.
"Memang ibu berbicara sesuai dengan kenyataan. Bukankah hubunganmu dengan Penny sangat dekat sekarang?"
"Hubungan kami dekat tapi sebagai sahabat. Tidak melebihi itu kok," bantah Adrian langsung.
"Walaupun hubungan kalian sebagai sahabat, ibu yakin sekali pasti akan melebihi itu kok suatu hari nanti," ujar Desy asal bicara membuat Adrian semakin tersipu malu.
"Tapi--“
Desy mengukir senyuman hangat menggenggam kedua tangan Adrian. "Memang sekarang kamu masih belum menyimpan perasaan padanya. Firasat ibu, kamu pasti menyukainya. Apalagi dilihat tingkahmu setiap kali menceritakannya pada ibu, kamu terlihat sangat memedulikannya sedangkan kalian baru berteman."
Adrian hanya bisa pasrah saja dengan perkataan ibunya. Lebih memilih tidur di kamarnya daripada berdebat dengan ibunya di malam hari.
Keesokan harinya, kali ini aku tidur tidak seperti kebo lagi. Aku berinisiatif bangun lebih awal lalu sarapan sebelum berangkat ke kantor. Karena mobilku ada di kantor polisi jadinya Adrian yang mengantarku ke kantor.
Kini penampilanku sudah terlihat lebih segar daripada kemarin. Karena tas kerjaku tertinggal di kantor, aku hanya membawa diriku keluar dari rumahku. Pada saat bersamaan Adrian juga melangkah keluar dari rumahnya lalu menghampiriku.
"Pagi, Penny," sapa Adrian.
"Pagi juga, Adrian. Maaf ya aku merepotkanmu terus. Aku banyak berutang budi padamu," ucapku yang merasa bersalah padanya.
"Sudahlah kamu santai saja padaku. Kamu tidak usah sungkan di hadapanku. Malahan aku sangat bahagia melayani sahabatku seperti ini," balas Adrian tersenyum malu sambil menyentuh pundakku.
Setibanya di kantor, aku langsung dipanggil oleh Pak John untuk bertemu dengannya di ruang rapat. Perasaanku selalu tidak enak saat dipanggil ke ruang rapat.
"Ada sesuatu yang harus kuselesaikan, Pak John?" tanyaku dengan gugup.
"Kasus kematian Pak Tommy, kita tutup saja kasusnya karena tidak ada bukti yang mendukung bahwa dia dibunuh. Jadi kita berasumsi bahwa ini kasus kecelakaan biasa," ujar Pak John tegas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
KS_Hyde
Ya Tuhan knp kisah nya begini semua, g ada happy² nya:)
2023-10-08
1
senja
Penny tu ketua ya? makanya sll dipanggil
2022-03-30
1
senja
kl yg bilang ngomel seperti Ibu itu Adrian, kl nikah seolah karna cwe itu suka ngomel seperti Ibu nya, makanya dinikahi
2022-03-30
1