Aku bersama rekan timku sangat yakin bahwa ini merupakan kasus pembunuhan jika dilihat dari bekas goresan yang terdapat di perut korban. Lalu, aku meminta bantuan salah satu anggota tim forensik untuk secepatnya mengautopsi mayat tersebut. Setelah kami menelusuri seluruh area TKP sampai penuh ketelitian, tidak ada satu pun barang bukti yang ditinggalkan oleh pembunuh. Pembunuhan ini terlihat sempurna dan sepertinya sudah direncanakan pelaku sejak awal.
"Jadinya sekarang kita harus gimana? Dari tadi tidak ada jejak yang ditinggalkan pelaku," keluh Nathan mendesah lesu.
"Yang pasti kita kembali ke kantor dulu dan menunggu hasil autopsi dari tim forensik. Kita akan menyelidikinya mulai dari sana dulu," lontarku sambil bertopang dagu.
Aku dan semua rekan timku memutuskan untuk kembali ke kantor sambil menunggu hasil autopsi yang dikirimkan tim forensik. Beberapa jam kemudian, akhirnya hasil autopsi dikirimkan melalui email. Dengan sigap aku membuka emailnya dan mengambil laptopku menuju ruang rapat bersama dengan yang lain untuk mengadakan rapat dengan Pak John.
"Korban bernama Alya berusia 30 tahun dengan tinggi 165 cm pada tanggal 12 Januari 2020 ditemukan telah meninggal di pinggir sungai dekat persimpangan minimarket Fantastic. Berdasarkan hasil autopsi, korban memiliki luka goresan yang sangat dalam dan ususnya merobek sehingga korban kehilangan banyak darah sebelum petugas medis membawanya menuju ke rumah sakit," ujarku menjelaskannya dengan rinci mengenai hasil autopsi.
"Tadi setelah kami mengecek di TKP, tidak ada barang yang mencurigakan seperti pisau ataupun benda lainnya yang tertinggal di sana setelah pihak kepolisian menyegel tempat tersebut," tambah Tania menautkan kedua alisnya.
"CCTV di sekitar TKP sepertinya telah rusak dan menurut persepsiku, pelaku dengan sengaja merusak CCTV itu terlebih dahulu sebelum melakukan pembunuhan," lontar Nathan melanjutkan penjelasannya.
"Saksi itu apakah besok kita bisa menginterogasinya?" tanya Pak John menatapku.
"Bisa, Pak. Besok setelah makan siang, aku akan menginterogasinya," jawabku langsung.
"Nathan, coba kamu cek CCTV di minimarket Fantastic. Siapa tahu pelaku itu terekam secara tidak sengaja pada CCTV minimarket tersebut," titah Pak John dengan tegas menatap Nathan.
"Baik, Pak, saya segera ke sana," patuh Nathan.
"Rapatnya cukup sampai di sini saja. Berhubung ini kasus pembunuhan maka kalian harus tetap berwaspada, mulai hari ini dan seterusnya kalian akan bekerja lembur," ucap Pak John keluar dari ruang rapat.
Usai melakukan rapat, Nathan bergegas menuju minimarket tersebut mengecek rekaman CCTVnya. Sedangkan aku, Tania, dan Ray menuju ke TKP lagi untuk mencari bukti yang akurat.
Di area TKP, kami bertiga menelusurinya lagi di setiap titik area tersebut tanpa terlewatkan. Memang pertama kali kita menghadapi masalah besar ini. Aku pun sebenarnya masih belum bisa menyesuaikan teknik penyelidikan kasus pembunuhan. Otak aku harus dipaksakan berpikir mencari cara supaya bisa mendapatkan bukti penting.
"Tania, tolong kamu cari di bagian sebelah sana!" pintaku kepada Tania tegas.
"Baiklah, Penny," sahut Tania bergegas menuju ke daerah yang kuperintahkan barusan.
Sorot mataku beralih pada Ray. "Apakah kamu sudah dapat benda yang mencurigakan, Ray?"
"Belum nih. Sepertinya pelaku lebih licik dari dugaan kita," jawab Ray pasrah.
Di tengah pencarian barang bukti, Nathan lari tergesa-gesa menghampiriku. Melihat mimik wajahnya terlihat stress, aku punya firasat ia membawakan kabar buruk mengenai hasil pencariannya.
"Bagaimana hasilnya? Apakah CCTV minimarket itu merekam pelakunya?" tanyaku yang penasaran.
"CCTVnya nyala tapi rekamannya sangat buruk dan buram jadi kita tidak bisa melihat pelaku dengan jelas," jawab Nathan dengan napas tersengal-sengal.
"Ya sudah, tidak masalah. Yang penting kamu sudah pergi memeriksanya. Ayo sekarang kita lanjut mencari barang bukti lagi!" Aku menepuk pundaknya mengajaknya membantuku mencari barang bukti.
Pada akhirnya kami mencari barang bukti tersebut sampai malam bahkan aku tidak menyadarinya karena terlalu fokus bekerja. Ketika aku sedang sibuk mencari, ponselku tiba-tiba berbunyi.
drrt...drrt...
Dengan sigap aku mengambil ponselku dari saku jaketku. Ternyata itu panggilan telepon dari ibu, lalu aku langsung mengangkatnya.
"Anak nakal, sudah jam berapa ini. Kenapa kamu tidak pulang ke rumah?" tanya ibu terdengar seperti sedang mengomeliku lewat telepon.
"Mulai hari ini aku kerja lembur terus, Bu. Tadi pagi aku dapat informasi bahwa terjadi kasus pembunuhan. Aku harus menyelidikinya terus jadi kemungkinan pulangnya bisa larut malam," jawabku lewat telepon.
"Apa? Kamu yang menyelidiki kasus itu? Itu sangat berbahaya. Kamu harus selalu waspada. Kasus pembunuhan itu tidak main-main." Suara ibu terdengar sangat panik.
"Iya, Bu. Ibu juga harus tetap berwaspada mulai sekarang. Sebaiknya ibu di rumah saja keamanannya lebih terjamin. Di luar sudah tidak aman sekarang. Kalau terjadi sesuatu, ibu harus segera menghubungiku."
"Iya tenang saja kamu tidak perlu mencemaskan ibu."
Setelah aku selesai menutup telepon dari ibu, Tania berteriak heboh hingga membuat semua rekan kerjaku terkejut dan menatap Tania.
"Akhirnya ketemu juga, Penny!" seru Tania dengan girang yang memperlihatkan sebuah ponsel terlihat usang.
"Ayo, kita kembali ke kantor!" ajak Nathan.
Setibanya di kantor, kami langsung membuka ponsel itu. Ponsel itu ternyata terdapat rekaman pembicaraan antara pelaku dengan korban. Jempol kananku menekan tombol putar memutar rekaman suara berdurasi singkat.
"Hentikan perbuatan Anda, lalu cepat serahkan diri ke kantor polisi." Terdengar suara bu Alya dalam rekaman.
"Tidak bisa. Suami Anda banyak berutang kepada saya. Dia harus melunaskan utangnya sekarang juga!!" bentak si pembunuh.
"Kumohon beri kami waktu seminggu lagi. Saat ini kami tidak punya uang untuk melunaskan utangnya." Suara Bu Alya mulai terdengar lemas membujuk si pembunuh.
Tiba-tiba dalam rekaman suara, terdengar suara orang yang sedang berkelahi dan suara pisau yang menusuk Bu Alya. Rekamannya berakhir sampai di situ saja. Aku dan semua rekan timku hanya bisa pasrah. Ternyata rekaman suara ini tidak cukup kuat untuk mengidentifikasi pelakunya.
"Apaan ini? Kenapa hanya sampai di situ saja. Bukti ini masih kurang jelas," keluh Ray menggarukkan kepalanya kesal.
"Aduh pusing! Kita tinggal tunggu besok saja keterangan dari saksi," jawabku yang sudah pasrah.
Keesokan harinya setelah makan siang, aku menginterogasi seorang saksi mata dari kasus pembunuhan ini. Saksi itu bernama Bastian yang terlihat sangat gugup saat memasuki ruang interogasi.
"Selamat siang, Pak Bastian. Perkenalkan saya detektif Penny. Saya yang akan menginterogasi Anda mengenai kasus ini," sambutku dengan ramah.
"Baiklah."
"Boleh tolong ceritakan bagaimana kejadian itu bisa terjadi?" tanyaku mulai berfokus pada penyelidikannya.
"Jadi begini, waktu itu saya sedang galau karena saya ditolak lamaran kerja. Maka dari itu, saya melampiaskan dengan berjalan di sekitar pinggiran sungai. Saat saya sedang berjalan, tiba-tiba saya mendengar ada seorang wanita dan pria yang sedang bertengkar," ucap Pak Bastian dengan suaranya mulai gemetar.
"Apakah hanya mereka berdua saja di sana? Atau adakah orang lain selain mereka berdua di sana?" tanyaku mulai penasaran.
"Waktu itu sudah terlalu gelap jadi tidak terlalu lihat dengan jelas. Karena saya penasaran, maka saya mendengar pembicaraan mereka dari jauh bersembunyi di suatu tempat sambil mengintip mengamati insidennya. Tiba-tiba wanita itu ditusuk menggunakan pisau yang berukuran sangat besar. Saat melihat itu, saya langsung ketakutan dan langsung kabur agar tidak ketahuan," ujar Pak Bastian yang gugup hingga keringat dingin terus mengalir pada wajahnya.
"Waktu itu pukul berapa Anda berjalan di pinggir sungai itu?"
"Kalau tidak salah sih jam satu malam." jawab Pak Bastian yang semakin gugup.
Sebenarnya aku masih meragukan kesaksian Bastian bisa disimpulkan samar-samar. Tapi, apa boleh buat pernyataan darinya juga bisa dijadikan bukti daripada aku tidak mendapatkan bukti apa pun. "Pertanyaan terakhir, waktu itu Anda melihat korban ditusuk pelaku berapa kali ya?"
"Saya lihat pelaku menusuk korban kalau saya tidak salah ingat sebanyak dua kali," jawab Pak Bastian terbata-bata.
Lagi-lagi jawaban meragukan. Aku hanya bisa mendesah pasrah mengakhiri perbincangan kami. "Baiklah sesi interogasinya sampai di sini dulu. Terima kasih Pak Bastian atas kerja samanya mengenai kasus ini. Anda sekarang boleh meninggalkan ruangan ini."
Setelah Pak Bastian meninggalkan ruangan, aku memanggil Nathan untuk berbicara secara pribadi. Jika dilihat Pak Bastian saat sesi interogasi, sikapnya sedikit aneh yang membuatku semakin meragukannya selain ingatannya yang samar-samar.
"Nathan, tolong kamu awasi Pak Bastian diam-diam," titahku kepada Nathan.
"Memangnya ada apa, Penny? Apakah dia melakukan sebuah kesalahan?" tanya Nathan dengan heran.
"Buat jaga-jaga saja. Soalnya tadi saat aku menginterogasinya, tatapan matanya itu seperti tidak ingin melihatku dan tangannya gemetar," jawabku dengan curiga.
"Mungkin dia gugup. Dia pasti trauma karena telah menyaksikan kejadian tak terduga itu," ucap Nathan yang tidak percaya.
"Yang pasti kamu mengawasi dia saja sekarang. Aku agak curiga dengan tingkah lakunya," lontarku mempertegasnya.
Malam harinya, saat aku masih di kantor, aku masih menunggu jawaban dari Nathan sambil membaca tumpukan berkas kasus di meja kerjaku. Memikirkan pernyataan dari saksi saja sudah membuatku mulai sakit kepala.
Drrt…drrt…
Suara getaran ponselku menandakan Nathan yang menghubungi sekarang. Jempol kananku langsung menggeser layar ponselku.
"Penny, aku sudah memantaunya dari tadi. Sepertinya dari tadi dia belum keluar rumah," ucap Nathan lewat telepon.
"Baikah sebentar lagi aku akan membantumu memantaunya. Aku pergi ke minimarket beli makanan dulu supaya bisa sambil ngemil," ucapku sambil menutup telepon bergegas mengambil kunci mobilku dan memakai jaketku sambil berlari keluar dari kantor memasuki mobilku.
Setibanya di minimarket, aku bergegas membeli beberapa makanan ringan untukku dan untuk Nathan. Saat aku sedang berlari terburu-buru menuju kasir, tiba-tiba aku menabrak seorang pemuda yang terlihat tampan memakai setelan jas formal. Perasaanku menjadi tidak enak telah menabrak pemuda itu sampai barangku dan barangnya berjatuhan hingga berserakan di lantai.
"Maafkan saya. Saya tidak sengaja menabrak Anda karena saya sedang terburu-buru. Biar saya yang mengambilkan barang-barang Anda," sesalku sambil mengambil semua barang milik pemuda itu.
"Tidak apa-apa. Anda tidak perlu repot mengambilkannya untuk saya.” Suara lembut pemuda itu sangat nyaman di telingaku membuatku semakin merasa sungkan.
"Tapi ini akibat kecerobohan saya sampai belepotan begini."
"Anda sangat ramah dan baik hati."
Mendengar ucapannya barusan, rasanya semakin nyaman terdengar di telingaku. Ini baru pertama kalinya aku mendapat pujian seperti itu dari pria asing yang baru kutemui sekarang. Kepalaku semakin terangkat bersemangat bertemu sepasang mata gagah yang membuat tubuhku sedikit kaku.
"Perkenalkan saya Jaksa Adrian Christopher," ucap Adrian sambil mengulurkan tangannya memberikan kartu namanya padaku.
"Saya Detektif Penny Patterson. Senang berkenalan dengan Anda," sahutku tersenyum hangat sambil berjabat tangan dan menerima kartu nama darinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
martina melati
jangan2 bastian yg menusuk... hehehe, malah curiga y/CoolGuy/
2024-09-28
0
martina melati
katany langsung kabur, melihat jauh koq bisa tahu 2x penusukan... gk cocok nih infony dg kondisi mayat yg dtemukn... luka gores memanjang dsekitar perut
2024-09-28
0
martina melati
cari suami sikorban... berhutang pd sp?? kmungkinan suruhan x
2024-09-28
0