Dimas masih berbaring di atas ranjang rumah sakit di ruang IGD tersebut. Damar baru saja keluar dan mengatakan untuk memanggil kedua orang tua mereka.
Dimas masih tak percaya dengan perkataan Damar yang mengatakan kalau ia hanya perlu istirahat saat ia mengatakan kalau ia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya.
Dimas tahu, ia pasti benar-benar mengalami kelumpuhan. Ia memaksakan diri untuk bergerak, tapi tidak bisa.
Dewa dan istrinya masuk ke dalam ruangan itu. Tangis Maya kembali pecah saat melihat kaki Dimas yang ditutupi selimut.
"Kamu anak mama yang paling kuat, Nak!" Maya menangis memeluk putra bungsunya itu.
"Kamu adalah anak mama yang paling tangguh," ucap Maya lagi sembari menangkup pipi Dimas dengan kedua telapak tangannya yang bergetar itu.
Dimas menatap wajah wanita yang sangat ia sayangi itu. Tangis itu begitu memilukan dan ia yakin penyebabnya adalah kondisinya yang akan mengalami kecacatan.
"Kaki Dimas gak akan kembali seperti dulu lagi, kan, Ma?" tanya Dimas yang mulai terisak.
Maya tak sanggup menjawab pertanyaan Dimas karena Damar sendiri yang mengatakan kalau kemungkinan untuk sembuh sangat sedikit, tapi mereka harus tetap mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan Dimas.
"Kaki Dimas, Ma," rengeknya. Pria yang biasanya akan tampak tenang itu kini berubah menjadi pria yang cengeng dan terlihat memprihatinkan.
"Kamu pasti akan bisa berjalan normal lagi, Dim!" Dewa menepuk bahu putranya.
"Abang pasti akan melakukan yang terbaik untukmu. Kami akan mengupayakan pengobatan terbaik untuk membuat kondisi kamu seperti sedia kala."
"Aaarrrgh!" teriak Dimas membuat Maya terkejut dan mundur selangkah.
"Kenapa harus aku yang mengalami hal ini?" teriaknya kesal.
"Kaki bod*h, bergeraklah!" Dimas memukul-mukul kedua kakinya dengan keras.
Dewa memegang kedua tangan Dimas dengan sekuat tenaga. Maya juga berusaga menengangkan putranya.
Damar masuk dan segera memberikan obat penenang melalui suntikan agar Dimas tak terus berontak.
Esok harinya, Dimas hanya bisa memandangi kaca jendela ruangan serba putih itu. Semalam seperti mimpi dan ia terjebak di dalamnya dan tak bisa keluar.
Dimas mulai merasa tenang saat berkali-kali Damar sendiri yang meyakinkannya kalau ia masih bisa sembuh. Jujur saja, ia tak percaya sepenuhnya, tapi tidak ada salahnya kalau ia mencoba untuk berfikir positif.
"Selamat pagi, Pak Dimas." Seorang suster datang untuk memeriksa tekanan darahnya.
Kedua orang tuanya sedang membeli sarapan untuknya. Ia sengaja meminta untuk dibelikan sesuatu hanya agar kedua orang tuanya pergi dari ruangan itu.
Terlalu menyedihkan saat melihat kedua orang tuanya bersedih memikirkan dirinya, si bungsu yang menyusahkan.
"Anda sudah jauh lebih baik, sepertinya," ucap wanita berseragam putih itu saat sudah selesai memeriksa tekanan darah Dimas.
"Apa pasien cacat seperti saya masih bisa sembuh, Sus?" tanya Dimas dengan tatapan kosong.
Suster itu tersenyum meski Dimas tak melihat wajahnya. "Tentu. Bahkan ada yang lebih buruk dari anda dan sudah sembuh sekarang."
"Suster gak berbohong, kan?" tanya Dimas sambil menatap wajah suster cantik itu.
Suster tersebut menggeleng. "Anda hanya perlu istirahat yang cukup, dan jalani semua proses pengobatan. Dan satu lagi, tetaplah berfikir positif. Lakukan apapun yang membuat anda bahagia."
Dimas tertegun, seketika ia teringat pada Ralin, tunangannya yang sejak ia kecelakaan belum sekalipun terlihat batang hidungnya.
Dimas meminjam ponsel suster tersebut karena ponselnya sendiri entah dimana. Dengan berat hati, wanita itu meminjamkannya pada Dimas.
"Hallo, Baby," sapa Dimas dengan nada manja setelah seseorang yang ia hubungi menjawab panggilannya.
"Dimas." Suara Ralin terdengar seperti orang yang terkejut. Dimas merasa maklum karena ia menggunakan nomor baru.
"Aku ..." Dimas hendak memberi tahu mengenai kondisinya.
"Aku sedang sibuk, Dim. Jangan menghubungiku lagi! Apa orang tua kamu belum memberitahumu kalau aku sudah membatalkan pernikahan kita."
Deg! Dimas terkejut. Matanya membulat karena tak percaya mendengar perkataan Ralin.
"Ba-batal? Kamu memba-."
"Ya, aku membatalkannya. Aku gak mungkin menikahi pria cacat sepertimu, Dimas! Karirku bisa hancur!"
"Mulai sekarang, lupakan aku dan berhentilah menghubungiku!"
Dimas menurunkan ponsel itu dari telinganya dan perlahan suara Ralin tak terdengar lagi.
"Terima kasih, Sus!" Dimas memberikan ponsel itu tanpa menatap wajah pemiliknya.
Suster itu keluar dari ruangan itu bertepatan saat orang tua Dimas masuk bersama Damar dan Salsa.
"Ini pesanan kamu, mau makan sekarang?" tanya Maya ramah sambil meletakkan paperbag diatas meja di samping ranjang Dimas.
"Kenapa mama gak cerita?" tanya Dimas dengan nada dingin.
Maya dan Dewa saling tatap sementara Damar membawa Salsa untuk duduk di sofa. Perlu menunggu waktu yang tepat untuk mempertemukan Dimas dan Salsa.
"Kenapa mama gak cerita!?" teriak Dimas yang dalam sekejap membuang semua benda di atas meja hingga berserakan.
"Dia membatalkan pernikahan kami dan mama tahu?" Dimas menatap Maya yang semakin khawatir melihat kondisi psikis Dimas yang semakin buruk.
"Dia menghinaku, Ma!"
"Dia menghinaku, Pa!"
"Dia bilang aku cacat!" bentak Dimas dan tanpa sengaja Dimas menatap wajah Salsa.
Sekelebat bayangan kejadian malam itu melintas dalam fikirannya. Wajah itu sama seperti yang ia lihat kemarin malam. Saat wanita itu berbalik mendengar suara klaksonnya dan saat antara sadar dan tidak, gadis itu mengikatkan sapu tangan di tangannya.
"Kamu!" Dimas menunjuk wajah Salsa.
Orang tua Dimas baru sadar kalau Salsa adalah gadis yang ia lihat kemarin malam. Mereka belum tahu alasan Salsa datang karena mereka baru bertemu di depan ruangan ini.
"Kamu yang membuat aku jadi seperti ini! Gara-gara kamu aku mengalami kecelakaan!" Dimas berteriak seperti orang gil*.
Damar meyakinkan orang tuanya kalau Dimas akan baik-baik saja. Dimas juga harus meluapkan seluruh perasaannya, dan tidak boleh ada yang dia pendam.
"Sa-saya minta maaf, Mas," ucap Salsa dengan suara lirih.
"Saya tidak sengaja. Dan saya akui kalau saya yang ceroboh saat berkendara."
Dengan membulatkan tekad, Salsa berjalan mendekat dan ia berdiri tepat di depan Dimas, tepatnya di ujung ranjang.
"Tidak sengaja katamu? Lihat!" Pekik Dimas sambil membuka selimutnya. Tampaklah kakinya yang diperban dan terdapat bercak darah di kain putih itu.
"Lihat dengan matamu itu! Lihat kedua kakiku yang masih ada tapi gak berguna lagi ini!"
Sungguh, hati Salsa yang lembut itu ikut tersayat saat mendengar ungkapan kemarahan Dimas padanya.
Salsa menunduk takut. Ia tidak berani untuk menatap wajah Dimas. Rasa bersalahnya begitu besar karenanya Dimas jadi seperti ini.
Ya Allah, aku benar-benar sudah menghancurkan masa depannya. Bagaimana caranya agar aku bisa menebus dosaku ini, ya Allah? Batin Salsa.
"Sa-saya akan bertanggung jawab, Mas," ucap Salsa tulus. Bukan memanggil nama Dimas, tapi menyebut pria itu dengan panggilan Mas.
"Tanggung jawab apa, hah?" marah Maya. "Apa kamu akan menggantikan kedua kakinya dengan kakimu?"
"Atau dia harus membuat kedua kakimu tidak berguna seperti kaki putraku?" Maya tersulut emosi saat melihat Salsa yang hanya menunduk.
Aku gak akan memaafkannya. Aku gak butuh biaya pengobatan darinya. Dan aku juga gak akan puas meski dia di penjara sekali pun. Aku harus membuat hidupnya lebih menderita dariku. Batin Dimas.
"Kamu harus menikah dengaku!" ucapan Dimas membuat keluarganya terkejut. Apalagi Salsa yang seketika menatap wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Febry Valentin
pasti nnti bakalan bucin
2024-01-07
2
Nyoman Wirati
terlalu benci nanti lama lama bjsa cinta mati🥰🥰🥰
2024-01-06
2
Noor Sukabumi
g usah nyimpen dendam kyk gitu Dimas ntar ujung2nya km cinta mati loh Sama salsa
2023-07-04
1