4

...Selamat membaca🔥...

...-CICAK🦎-...

Citra sibuk menatap berbagai macam jenis buah-buahan di depannya ini. Bayangan tentang kejadian kemarin malam, tepatnya di hari pernikahannya, terus saja menghantui Citra.

Citra sangat merasa bersalah. Walaupun kemarin di antara Raja, Giulio, maupun Jamal sama sekali tidak marah ataupun emosi kepadanya. Tetapi, Citra merasa sangat bersalah kepada mereka. Citra merasa bahwa dirinya adalah seorang perempuan yang sombong.

Entahlah itu, Citra tidak bisa mendeskripsikan dirinya sendiri.

Citra mengacak-ngacak rambutnya, kesal. Kemarin malam, setelah mengetahui bahwa Cakra lah yang menjadi pemenang dalam tantangan itu, Raja terlihat biasa saja, namun terkesan ia juga tengah menahan sesuatu. Citra tidak bisa melihat raut wajah Raja, apakah sedih atau biasa saja.

Giulio, kemarin malam, wajah Giulio tampak sedih dan kecewa. Sepanjang malam, Giulio terus mengisi perutnya hingga kepenuhan. Citra tidak bisa tenang, karena kemarin, wajah Giulio terlihat menyedihkan.

"Citra jahat!" gerutunya.

Sedangkan Jamal, ia tampak biasa saja. Pria itu melakukan sama apa yang dilakukan Giulio, yaitu makan. Selain makan, untuk menghilangkan rasa kesalnya, kemarin malam Jamal berjoget-joget dengan Rama. Kakaknya itu juga terus saja meminta maaf kepada Jamal.

Mereka bertiga sama sekali tidak marah saat Cakra memenangkan tantangan itu. Bahkan, Raja bertepuk tangan ketika mengetahui Cakra adalah pemenangnya. Giulio juga seperti itu, mereka tidak marah, malah, mereka bertiga merasa senang bisa diberi tantangan seperti itu.

"Terkesan seperti sok cantik, sok sempurna," gumam Citra kepada dirinya sendiri.

"Hallo, selamat pagi sayang, sruyung, Mamih," sapa Susi dari arah dapur.

Citra mendongakkan wajahnya, lalu tersenyum. "Pagi, Bunda," sahutnya.

Susi menatap wajah Putrinya yang terlihat sedih. Ia tau apa yang tengah Citra pikirkan dan rasakan.

"Sayang," panggilnya lembut.

"Ah, iya Bun?"

"Maaf Bunda sudah membuat acara aneh seperti itu. Bunda pikir, mereka tidak akan datang, dan tidak tertarik denganmu. Bunda pikir, mereka hanya bercanda saat menyetujui permintaan Bunda untuk menikahi kamu," ucap Susi canggung.

Citra diam menyimak penjelasan dari Bundanya. Kemarin malam juga, orang tua dari ketiga pria itu sama sekali tidak marah dengannya. Mereka memberi selamat kepada Citra, saat setelah dirinya dan Cakra resmi menjadi suami istri.

Saat mereka akan pulang, Citra meminta maaf atas kejadian itu. Mereka benar-benar tidak marah, dan bahkan mereka semua berbincang-bincang membicarakan semua hal, dari timur ke barat, hingga pagi tiba.

Ya benar, acara selesai sekitar jam tiga pagi. Pagi-pagi ini, Citra berusaha untuk melepas semua rasa bersalahnya.

Citra berharap dan berdoa, ketiga pria itu mendapatkan pasangan yang lebih baik dari dirinya.

"Teman-teman Bunda suka bercanda, Citra. Jadi, Bunda tidak bisa membedakan mana yang menjawab serius dan mana yang menjawab dengan candaan."

"Ketika kita semua berkumpul, waktu diisi oleh berbagai macam candaan maupun lelucon. Waktu itu, Diva hanya tersenyum ketika Bunda mengatakannya. Kami selalu menganggap bahwa janji adalah sebuah candaan."

"Maafin Bunda," ucap Susi sangat merasa bersalah.

"Begitupun dengan orang tuanya Raja dan juga Jamal. Ganendra, kami adalah teman kecil. Bunda pikir, kamu akan menjadi istrinya Raja."

Susi menjeda ucapannya selama beberapa detik. "Jamal, dia adalah pria duda. Kami bertemu di sebuah perusahaan untuk membicarakan hal bisnis. Karena Bunda pikir, Jamal itu pria yang dewasa dan cocok denganmu, makanya Bunda menawarkan hal itu."

"Bunda-Kamu terserah mau marahin Bunda, omelin Bunda, bentak Bunda, hujat Bunda, silahkan."

"Bunda terima," lirih Susi diakhir kalimatnya. Susi benar-benar tidak bisa tidur nyenyak.

Citra terkejut ketika Susi menangis di depannya. Dengan cepat Citra memeluk tubuh Bundanya, erat. "Enggak, Citra gak bakal marahin Bunda. Citra ngerti, Bunda itu sayang banget sama Citra," ucap Citra.

Untuk pertama kalinya, Citra melihat Bundanya menangis. Citra mengerti apa alasan dibalik Bundanya melakukan hal aneh seperti itu. Bundanya itu sama sekali tidak pernah membuat Citra kecewa, apalagi sedih. Susi, Bundanya ini sangat menyayangi anak satu-satunya.

"Maaf,"

Citra menggelengkan kepalanya.

"Enggak, Citra sayang banget sama Bunda. Terima kasih, Bunda udah selalu buat Citra merasa bahagia," ucap Citra, lalu tersenyum ketika melepas pelukannya.

"Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ada tangisan?" tanya Suterjo yang datang dari persembunyiannya. Ia melihat semuanya.

Citra memeluk Ayahnya erat. "Ayah!"

Citra dan Susi segera menghapus air matanya. Melihat hal itu, membuat Suterjo tersenyum tipis.

"Kalian ini, Saya bangga," ucap Suterjo tiba-tiba.

"Hah?" Citra spontan menyentil pipi Ayahnya, Suterjo.

"Selamat pagi," celetuk Cakra datang dengan membawa beberapa ponsel di tangannya. Ia menghampiri Citra dan kedua orang tuanya dengan senyuman yang manis.

Cakra menatap Suterjo. "Om-Ayah, satpam depan, ramah sekale. Saye suke," ucapnya.

Susi menghampiri Cakra. "Selamat pagi juga menantuku yang tampan. Ayo duduk-duduk, Bunda ambilin kamu makanan, ya," ucap Susi seraya tersenyum.

Citra tidak berani menatap Cakra. Bagaimanapun, ia belum kenal dengan Suaminya ini. Citra hanya mengingat nama panggilannya saja. Walau Kemarin sudah diberitahu, tetapi hari ini Citra lupa.

"Ah gak usah repot-repot, Bunda. Cakra tadi udah makan. Masih kenyang, nih," ucap Cakra menolak tawaran Susi. Ia menatap Citra, lalu tersenyum miring.

"Loh, kenapa?"

"Cakra kesini buat jemput istri. Kasian, di rumah baru gak ada siapa-siapa," ujar Cakra membuat tubuh Citra menegang.

Ucapan Cakra membuat Citra terkejut, termasuk Susi dan Suterjo.

"Apa?" tanya Suterjo memastikan.

Cakra tersenyum simpul. "Ayah pasti tau lah."

Detik berikutnya Susi dan Suterjo tertawa. Lain halnya dengan Citra yang membuang mukanya.

Jangan buat Citra baper, kenal aja kagak. batin Citra menggerutu.

Tapi jujur saja, Citra baper. Kata 'Istri' saja membuat Citra ingin terjungkal sekarang juga.

"Nanti jagain Citra di rumah barunya, ya. Ayah titip Citra mulai hari ini ke kamu." ucap Suterjo.

Cakra mengangguk hormat. "Siap! Rumah barunya sudah sering Cakra tinggalin, jadi aman kalo bawa Istri kesana."

Citra mengerutkan keningnya, dengan pipinya yang bersemu merah.

"Ya sudah-sudah, kamu pasti mau itu, ya?" goda Susi membuat mata Citra melotot.

Cakra terkekeh geli. "Itu apa Bun?" tanyanya pura-pura tidak mengerti.

"Anak muda," gumam Suterjo.

Susi membungkus beberapa buah-buahan. "Nah, ini, kalian bawa buah-buahan juga. Biar sehat selalu," ucapnya memberikan sekantong plastik berisi bermacam-macam buah-buahan.

Citra menepuk jidatnya, malu.

"Oh, makasih." Dengan senang Cakra menerimanya.

"Sebenarnya Cakra udah punya banyak di rumah, tapi gapapa. Buah dari Ibu mertua lebih spesial," ucapnya berhasil mengundang tawa.

"Apalagi nanti di potongin oleh Istri.

Pasti ada rasa spesial cinta."

"Ehem!"

Citra benar-benar ingin terjungkal sekarang juga. "Ayah."

Susi menahan tawanya. "Buah semangkanya di panen dari negara Jepang. Nanti bisa langsung kamu coba sama Citra, rasanya enak banget."

Cakra mengangguk mengerti. "Baik, Bun. Ayo Istri, kita pulang," ajak Cakra tiba-tiba di sebelah Citra.

"Istri," panggil Cakra.

Citra melirik Cakra sejenak. Citra kira, Cakra akan menarik tangannya dengan lembut. Ternyata tidak. Ketika Citra menatap Cakra, ia baru menyadari bahwa tangan Cakra dipenuhi oleh berbagai macam ponsel.

"Sayang, ayo kenalan sama Suaminya," ujar Suterjo sembari menarik turunkan alisnya.

Cakra menyenggol lengan Citra pelan. "Ayo, Istri," ajaknya.

Cakra ingin memanggil Istrinya dengan namanya. Tetapi, ia lupa dengan nama Istrinya. Cakra berniat akan berkenalan dengan Istrinya nanti di rumah baru.

"Malu-malu garong," bisik Cakra tepat di telinga Citra.

Citra merinding sendiri. Ia menjauhkan tubuhnya dari Cakra.

"Ayo Garong," ajak Cakra kembali.

"Aw, Mamih salah tingkah," celetuk Susi.

Cakra tertawa pelan. Ia malu. Kenapa dirinya lupa dengan kehadiran Mertuanya disini? Dia juga lupa, bahwa ini bukanlah rumahnya.

"Gimana ya, Istri, pulang yuk."

...-CICAK🦎-...

Malam hari tiba. Citra sedang menatap Cakra yang tengah melakukan siaran langsung. Ingin marah, tetapi ia tidak berani. Sudah hampir lebih dari tujuh jam, Cakra melakukan siaran langsung di aplikasi Tuktuk.

Mereka sudah tinggal di rumah baru milik Cakra. Sejak menginjak rumah ini, dirinya dan Cakra hanya mengobrol sampai empat kalimat. Dua kalimat ketika Cakra menyuruhnya untuk tidur satu kamar dengannya.

Dan kalimatnya berupa, "Istri, nanti kamu bisa tidur satu kamar." hanya itu. Percakapan pertama di rumah ini antara dirinya dengan Cakra.

Citra menjawabnya dengan, "Baiklah. Terima kasih, Suami." dan percakapan pun berakhir. Mereka memilih untuk membubarkan diri.

Percakapan ketiga dan keempat,

"Istri, bolehkah aku mengetahui namamu?" itu adalah sebuah pertanyaan yang diucapkan oleh Cakra ketika mereka berdua merapikan pakaian.

"Boleh, nama aku, Gabriella Citra Piyaninka." dan percakapan pun berakhir.

Dari satu jam yang lalu, Cakra aktif berbicara sendiri dengan ponselnya. Citra menarik napasnya dalam. Apakah Cakra tidak berniat untuk segera tidur? Pikirnya heran.

Citra geleng-geleng kepala, dan memilih untuk melanjutkan acara membaca bukunya. Ngomong-ngomong, besok Citra akan latihan menari ballet.

"Selesai, sampai jumpa para penggemarku."

Citra menutup bukunya. Ia terkejut ketika Cakra sudah duduk satu ranjang bersama dengan dirinya. Citra menelan salivanya, lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Hai Istri," sapa Cakra menatap Citra genit.

Citra membulatkan matanya. Cakra sudah merebahkan tubuhnya dengan tidur ke arah dirinya. "Citra, ayo tidur. Udah jam sepuluh, Cit." Citra melirik Cakra yang sudah menutup matanya.

Citra ingin tidur, tetapi ia canggung.

"Lagi mikirin om-om, ya?" suara berat Cakra seketika membuat Citra merinding.

"Kenapa Suami-Cakra?" tanya Citra.

Cakra membuka matanya, lalu menepuk-nepuk bantal di sebelahnya. "Ayo, tidur." ajaknya kembali.

Citra menatap mata Cakra yang terlihat merah. "Kamu-Mata kamu sakit, ya?" tanya Citra hati-hati.

Cakra menguap panjang, sebelum akhirnya ia bangun untuk duduk di sebelah Citra. "Iya, hehe," jawabnya dengan cengengesan. Cakra sama sekali tidak berani menggosok matanya.

Citra mangut-mangut menjawab.

"Ehm, itu, gak di obatin?" tanyanya lagi.

Cakra menggeleng pelan. "Nanti juga hilang waktu tidur." jawab Cakra.

Citra diam, kehabisan ide untuk bertanya. "Suara kamu lembut." ucapan Cakra membuat Citra terkejut.

"Aku suka." pipi Citra bersemu.

"Jadi gimana?" tanya Cakra membuat Citra menatapnya. Ia menunggu lanjutan ucapan Cakra.

"Cita-citanya udah terujud 'kan?" Cakra menaik turunkan alisnya.

Citra tertawa pelan. "Udah, makasih, ya."

"Sama-sama, bisa tidur sekarang? Aku mau matiin lampunya. Besok kita ngobrol lagi." ucap Cakra yang diangguki oleh Citra.

Cakra dan Citra merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Mereka tidur terlentang. Lampu sudah di matikan, tetapi kamar mereka tidak sepenuhnya gelap, karena masih ada cahaya dari lampu di luar.

"Ehm, Suami," panggil Citra canggung. Citra gugup, sekaligus canggung. Ia sama sekali tidak berani untuk bergerak.

Cakra berdehem dengan mata tertutup. "Itu, anu, kamu enggak itu?" tanya Citra gugup membuat Cakra kembali membuka matanya.

Cakra yang sudah peka, mengerti maksud dari pertanyaan Citra. Ia menolehkan kepalanya sembari menahan senyumnya.

"Lima menit aja. Mau?" tanyanya menawarkan.

Tidak ada balasan dari Citra. "Citra," bisik Cakra.

Tidak ada respon dari Citra. Selama beberapa menit tidak ada balasan dari Citra, membuat Cakra mendekatkan wajahnya ke wajah Citra. Ia menghela napasnya ketika menyadari bahwa Citra sudah tidur lelap.

"Selamat tidur Istri."

Dan demi apapun, Citra ingin terjungkal sekarang juga. Ia malu, sangat malu.

...-CICAK🦎-...

Pagi ini Cakra merasa senang karena tidurnya tidak diganggu oleh semut-semut di kamarnya. Ia sangat bersyukur karena semut-semut itu sudah tidak lagi menggigit kakinya, usil.

Cakra heran, kenapa semut-semut itu tidak terlihat di kamarnya lagi. Tetapi, Cakra sangat berterima kasih, karena semut-semut itu sudah pensiun menggigit kakinya.

Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Jika biasanya Cakra akan melakukan siaran langsung pagi-pagi, hari ini beda, pagi ini, Cakra harus memasakkan makanan untuk Istrinya.

Cakra akan menjadikan hal itu sebagai kewajibannya. Karena sesuai ucapannya, ia akan memasakkan Istrinya makanan sampai Citra bisa memasak sendiri.

Jangan heran, karena kemarin, Arga sempat berbagi pengalaman dengan dirinya. Setelah mencuci muka, Cakra mengganti baju tidurnya dengan baju santai.

"Enggak usah, Citra bisa sendiri, kok."

"Tapi Nyonya, rambut nyonya-"

"Ada apaan nih?" suara Cakra mengejutkan Citra dan para Pelayan yang ada di lantai bawah.

Para Pelayan dengan cepat keluar dari ruangan itu. Cakra menganga terkejut ketika melihat rambut Citra terkena pewarna kuku.

"Istri," Cakra menghampiri Citra dengan wajah khawatir.

"Cakra," gumam Citra.

Cakra membereskan pewarna kuku yang ada di meja. "Kenapa kena?" tanya Cakra khawatir.

Belum sempat Citra menjawab pertanyaan Cakra, tiba-tiba Cakra mengangkat tubuhnya ke sofa. Hal itu membuat mata Citra membulat, terkejut.

"Aku panggilan Pelayan buat ngilangin bekasnya, ya." ucap Cakra.

Citra menggelengkan kepalanya. Ini terlalu berlebihan. "Enggak usah! Enggak usah." sahut Citra.

"Why, dear?" tanya Cakra lembut.

Citra memalingkan wajahnya, malu. Ia salah tingkah. "Enggak usah, ini salahnya Citra. Tadi, Citra cuma mau pakenya di ibu jari doang. Eh, malah akhirnya ke semua jari." jelas Citra tersenyum kikuk.

Cakra mengusap rambut Citra lembut. "Terus?"

Citra terdiam sejenak. "Citra lupa kalo jari tengahnya ke cat. Jadi, kena rambut, deh."

Cakra menahan tangannya agar tidak mencubit dan mencium pipi Citra karena gemas. Ia harus tau sopan santun. Mereka baru saja kenal.

"Emangnya, Istri mau kemana?" tanyanya.

"Hari ini, Citra mau latihan menari ballet," ungkap Citra.

"Menari ballet?" tanya Cakra memastikan. Ia sedikit terkejut dengan jawaban Citra.

"Dimana? Sama siapa? Jam berapa? Emangnya udah makan?"

Citra tercengang mendengar pertanyaan Cakra. "Di rumah ini, sendirian, bentar lagi, belum."

"Selain mempunyai cita-cita menikah muda, kamu juga punya cita-cita jadi penari ballet?" tanya Cakra heran.

Citra menganggukkan kepalanya menjawab. "Iya, aku punya banyak cita-cita."

Cakra tidak menyangka bahwa ternyata anak orang kaya mempunyai cita-cita.

"Selain mempunyai cita-cita menikah muda dan menjadi penari ballet, ada lagi, yang pengen kamu wujudkan?"

...-CICAK🦎-...

Haii💐

Lanjut ke chapter selanjutnya?

Semoga sukakk

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!