2

...Selamat membaca 🔥...

...-CICAK🦎-...

Cakra menuruni tangga sembari menguap panjang. Ia meletakkan ketiga ponselnya di atas meja makan. Cakra melirik malas makanan di depannya, dan memilih untuk melanjutkan aktifitas bermain game dari ponselnya.

"Cakra, biasakan kalo udah mau makan, ponselnya di taruh dulu," ucap Bunda Cakra yang bernama Indah.

Cakra berdehem sebagai jawaban.

"Udah gede, bukannya nyari uang buat bahagiain orang tuanya, malah jadi beban." sindir Arga yang tidak lain adalah ayah Cakra.

Cakra yang sudah terbiasa mendengar kalimat-kalimat itu dari kedua orang tuanya, hanya bisa tersenyum paksa, seperti orang yang tengah meledek.

"Kerja Cakra, jangan hanya bisa tidur saja. Kamu kira, selamanya Ayah bakal kerja buat memenuhi kebutuhan kamu, sama adik-adik kamu itu? Umur Ayah juga semakin tua, Cakra," ucap Indah berusaha memberi pencerahan kepada anak sulungnya.

"Ya," hanya itu yang bisa Cakra ucapkan karena malas meladeni ucapan bundanya itu.

"Kakak, kalo makan, ponselnya di taruh dulu." ucap Kila, memberi saran kepada Cakra.

"Nanti makanannya jadi sia-sia," ucap Kila lagi.

Cakra menahan kekesalannya. Kadang-kadang Cakra ingin sekali membuang adik perempuan satu-satunya ini. Tukang bikin emosi, marah dan tukang ngadu.

Cakra melirik Kila sinis. Cakra menelan beberapa butir nasi tanpa di kunyah terlebih dahulu, karena dirinya masih dalam keadaan kesal. Kila menundukkan kepalanya tak berani menatap Cakra.

"Kemarin, Ayah transfer uang sebanyak dua puluh juta ke rekening kamu. Kenapa tadi pagi Ayah cek, uangnya hanya tersisa dua juta saja?"

"Apa saja barang yang kamu beli, Cakra? Bukankah sehari-hari kamu hanya mengurung diri di dalam kamar?" tanya Arga seraya menaikkan alisnya, meminta penjelasan.

Indah geleng-geleng kepala mendengar ucapan suaminya. "Kemarin kamu berikan anak ini uang sebanyak dua puluh juta? Cakra, bukankah dua hari yang lalu bunda sudah memberikan uang sebanyak empat puluh juta kepada kamu? Kenapa bisa habis?!" tanya Indah yang terheran-heran.

Cakra memutar bola matanya malas. Ia menaruh sendoknya di atas piring, lalu menatap Indah sembari menopang dagunya di atas meja. "Habislah." jawab Cakra santai.

Laki dan Kila melototkan matanya, terkejut. "Kamu membeli ponsel lagi?" tanya Indah yang ingin mengetahui alasan di balik keborosan anaknya itu.

Cakra mengangguk sekali sebagai jawaban. Arga hampir saja memuntahkan cabai karena melihat respon dari Cakra. Cakra terkekeh pelan.

"Cakra juga lagi kerja, Yah, Bun," ucap Cakra setelah meminum air.

"Kerja? Kerja rebahan maksud kamu?" tanya Indah ketus.

Cakra menghela napasnya kasar.

"Enggak." jawab Cakra.

"Berapa penghasilan yang kamu dapatkan itu?" tanya Arga.

Indah mulai membereskan sisa-sisa makanan di meja makan. "Bohong. Mana ada dapat uang cuma modal tidur doang. Jangan suka berbohong. Bunda tidak suka," ucap Indah yang tidak mempercayai pekerjaan Cakra yang bermodal tidur saja.

"Bunda, ini real kok. Laki sendiri yang setiap hari liat kak Cakra siaran langsung. Kak Cakra dapet uang dari sana." ucap Laki membela Cakra. Laki merasa tak enak hati kepada Cakra, karena tadi pagi dirinya sudah diberikan uang lumayan banyak.

"Bener. Ayah, kak Cakra dapet uang cuma modal tidur doang. Kurang lebih, modal ngebo lah!" ucap Kila ikut membela Cakra.

Mendengar hal itu membuat Cakra menyunggingkan senyumnya.

"Bener?" tanya Arga kepada Cakra.

"Hm."

Indah menjewer telinga Cakra keras, membuat korbannya meringis kecil. "Jangan membeli ponsel lagi! Sudah ada lima puluh lebih ponsel yang masih aktif di kamar kamu. Kamu mau membuka konter hp?" tanya Indah berusaha sabar.

Laki dan Kila menahan tawanya.

"Iya." jawab Cakra asal.

"Dasar, beban." Cakra melirik Bundanya tajam.

"Beban-beban gini juga, ada banyak yang suka." ucap Cakra seraya tersenyum miring.

"Cewek?" tanya Laki.

"Cowok." jawab Cakra asal.

Ucapan Cakra membuat Laki dan Kila tertawa keras, termasuk Arga dan Indah. "Wah, kakak lesbi," ejek Kila.

Cakra memutar bola matanya malas. Ia sudah tidak minat untuk melanjutkan acara makannya ini. Laki menepuk pundak Kila sembari tertawa.

"Gay Kila, bukan lesbi," ucap Indah.

Tawa Kila seketika berhenti. Ia menatap Laki dengan serius.

"Lesbi itu cewek suka sama perempuan?" tanya Kila.

Cakra menahan tawanya mati-matian. "Pftt!!" Arga menutup mulutnya.

"Iya, Kila," jawab Indah.

Kila mangut-mangut mengerti.

"Berarti Kila les-" dengan cepat Laki menutup mulut Kila.

Hal tersebut membuat tawa Arga dan Indah seketika berhenti. Laki menatap tajam Kila, sedangkan Kila menatapnya bingung.

"Lesbian lo?" tanya Cakra kepo.

Kila mengangguk, tetapi Laki menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Cakra menaikkan alisnya. Sadar akan tatapan Laki kepadanya, Kila kembali melanjutkan acara makannya.

"Sayang, kamu suka sama perempuan?" tanya Indah curiga.

"Oh iya Bun, tadi pagi 'kan, Bunda bilang kak Cakra mau nikah. Nikah sama siapa Bun?" tanya Laki mengalihkan pembicaraan.

"Menikah?" beo Cakra yang diangguki oleh Laki.

Cakra menatap wajah kedua orang tuanya, meminta penjelasan. "Iya, besok kamu nikah." jawab Arga dengan wajah santainya.

"Waras tidak?" kekeh Cakra yang mengira bahwa jawaban Arga hanyalah sebuah candaan.

"Gak. Cakra belum jadi seleb terkenal se Indonesia," tolak Cakra cepat.

Bagaimana bisa menikah? Cakra saja belum menjadi pemenang pangeran rebahan tahun ini. Apalagi, Cakra belum menjadi seleb yang paling terkenal di tuktuk.

"Menikah saja. Ayah tidak mau mengurus beban seperti kamu." ucap Arga menusuk hati Cakra.

Cakra tersentak kaget tak percaya apa yang dikatakan ayahnya. Jujur saja, walaupun itu adalah kalimat candaan, tetapi membuat hati Cakra sakit mendengarnya.

"Huaaa," drama di mulai. Kila berdiri dari tempat duduknya, lalu menghampiri Arga dan langsung bersimpuh sembari menutup matanya.

"Jangan Ayah! Kakak Cakra enggak boleh menikah, sebelum Kila kaya!" ucap Kila memohon-mohon di bawah Arga.

Arga hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku anak-anak itu. "Kila belum bisa mencuri uang yang ada di rekening kakak Cakra. Jangan!" ucap Kila lagi memohon agar kakaknya tidak menikah.

"Bener. Kalo kak Cakra nikah, pasti istrinya garong. Nanti Laki gak bisa mencuri lagi," ucap Laki menyetujui ucapan Kila.

Kila dan Laki mengangguk-anggukkan kepalanya lucu. "Istri kak Cakra pasti garong. Suka marah-marah. Kila enggak mau punya kakak ipar yang garong." ucap Kila.

Indah tersenyum tipis. "Calon istri kak Cakra baik, cantik, dan juga berduit, Kila," ucap Indah.

Cakra memasukkan satu sendok bubur terakhirnya, lalu meminum air putih. Ia sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan ini. Siapa juga yang ingin menikah? Cakra saja belum bisa menguras uang Ayahnya hingga habis.

"Memang, kalo nanti kakak iparnya garong, kenapa?" tanya Arga kepada Kila.

Kila terdiam sejenak. "Kila 'kan, masih suka peluk-peluk Kak Cakra sama duitnya sebelum tidur. Nanti kalo kak Cakra nikah, Kila enggak bisa peluk kak Cakra lagi," jawab Kila, membuat Cakra geleng-geleng kepala, terheran dengan adiknya yang satu ini.

Laki berdecak, lalu tertawa. "Enggak bisa peluk kak Cakra, atau enggak bisa peluk duitnya, nih?" tanya Laki yang dijawab senyum penuh arti oleh Kila.

Indah menghampiri Kila, lalu menjewer telinganya pelan. "Ayo-ayo berangkat ke sekolah. Nanti kalian telat." dengan cepat Laki dan Kila meraih tas nya, lalu mengecup pipi Indah singkat.

"Ayah, ayo berangkat sekarang." ucap Laki yang sudah terlihat panik.

Arga terkekeh pelan. "Salam dulu sama kakak," perintahnya.

Laki dan Kila mengangguk patuh. Mereka berdua menghampiri Cakra seraya tersenyum manis. "Kakak, salaman yuk," ucap Laki dan Kila kompak.

Cakra masih fokus bermain game dari ponselnya. Cakra melirik kedua adiknya itu. "Males. Salam sama duit sana." tolak Cakra dengan wajah jutek.

"Cakra," Indah menaik turunkan alisnya. Cakra berdehem, lalu menarik tangan kedua adiknya itu, lalu mencium kening Kila dan Laki secara bergantian.

"Nanti gue kena korona." ucap Cakra diakhiri kekehan.

Arga memberi kecupan ringan di punggung telapak tangan Kila dan Laki. Begitupun Indah, ia melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Arga kepada kedua anak kembarnya.

"Cakra," panggil Arga membuat Cakra menatapnya.

"Nanti siang, Ayah tunggu di lapangan helikopter. Ayah mau bicara tentang pernikahan kamu," ucap Arga membuat alis Cakra terangkat.

"Jangan aneh-aneh." respon Cakra malas.

"Datang saja." lalu Arga membawa Laki dan Kila untuk keluar dari ruang tamu besar itu.

Kini tinggal Cakra dan Indah saja. Merasa dirinya diperhatikan, Cakra menoleh dan menatap Indah tajam.

"Apa?" Indah tersenyum manis.

"Mau buang ponselnya? Buang aja." ucap Cakra jutek, kemudian segera menaiki tangga.

...-CICAK🦎...

"Ikut Ayah ke kantor."

Cakra menjatuhkan tas nya. "Maksud Ayah? Setelah Cakra jauh-jauh kesini buat ngomong doang, sekarang pindah tempat?" Cakra terheran-heran dengan Arga.

Arga mengangguk dengan wajah santai. "Mau bicarain nikahan? Ribet banget." kesal Cakra.

"Ayah salah memilih tempat. Disini hawanya sedikit panas. Kita pindah ke kantor saja." jelas Arga.

Cakra berdecak kesal. Bagaimana bisa seperti ini? "Awes aja ye, nanti ngomongin hal sepele. Tampol." ucap Cakra menggerutu, yang didengar jelas oleh Arga.

"Berani?" Cakra tersenyum manis.

Dengan berat hati, Cakra mengikuti langkah Arga berjalan ke parkiran mobil. "Kamu kesini bawa apa?" tanya Arga.

"Tas." jawab Cakra seraya menjinjing tas nya.

Arga menghela napas lelah. "Bawa mobil? Sepeda? Helikopter?" tanya Arga kepada Cakra.

"Pake robocar." jawab Cakra membuat Arga menatapnya tajam.

"Bawa kendaraan roda empat. Terus, mobilnya hilang." ucap Cakra menjelaskan dengan tenang dan santai.

Arga menghentikan langkahnya, lalu berpikir sejenak. "Ya sudah, kita ke kafe saja." usulnya.

"Lah?"

"Atau ke warung makan saja." usul Arga membuat Cakra terkejut.

...-CICAK🦎-...

Cakra menaikkan kaki kanannya ke atas meja. Sedari tadi, ia senyum-senyum sendiri, karena membaca sebuah komentar pada postingannya yang menurutnya lucu.

"Jiah, napas manual atau otomatis?" kekeh Cakra.

"Cakra," panggil Arga, mendudukkan dirinya di samping Cakra.

Cakra berdehem sebagai respon. Ngomong-ngomong tentang tempat, Cakra memaksa Ayahnya untuk memilih ke kantor, daripada harus ke warung makan untuk membicarakan hal pribadi.

"Ayah serius, empat jam lagi kamu harus menikahi seorang perempuan." ucap Arga memulai pembicaraannya dengan serius.

"Tau. Yakali sama laki-laki." respon Cakra membuat Arga menahan rasa kesalnya.

"Cakra!"

"Cakra, taruh ponselnya!"

Mendengar suara Arga tinggi, membuat Cakra menaruh ponselnya cepat. Jika sudah seperti ini, Cakra harus serius. Jarang-jarang Ayahnya, Arga si kutu buku marah seperti ini dengannya.

Arga merapikan dasinya, lalu Cakra juga melakukan hal yang sama. "Cakra, waktunya cuma tiga jam untuk pergi ke acaranya. Ayah hanya bisa menjelaskan bagaimana tentang pernikahan kamu, selama sepuluh menit." ucap Arga.

"Perhatikan, dan dengarkan baik-baik."

"Kamu tau Citra? Perempuan yang selalu di incar oleh om-om? Yang memiliki banyak prestasi itu?" tanya Arga yang dijawab anggukkan kepala oleh Cakra.

"Cakra beneran nikah?" tanya Cakra yang masih bingung sekaligus tidak mengerti apa yang dibicarakan Ayahnya.

Arga menghembuskan napasnya.

"Cakra, Ayah tidak pernah bermain-main. Ayah tidak seperti kamu," jelas Arga, menyindir Cakra.

Cakra diam. Ingin marah, tapi rasanya sia-sia. Ayahnya juga sekarang dalam keadaan marah. Masa iya, dirinya juga marah. Cakra tau betul, setiap harinya, hampir 24 jam, Arga selalu bekerja.

Walaupun tidak tau apa yang tengah dialami oleh Ayahnya itu, tetapi Cakra harus menjadi anak yang baik dan patuh. Cakra yakin, isi kepala Arga saat ini pasti cerita-cerita fiksi.

"Ya sudah, jadi Cakra mau nikah sama siapa?" tanya Cakra.

"Kamu mau?" tanya Arga mengembangkan senyumnya.

Cakra menggulung dasinya sambil berpikir. "Iya. Hitung-hitung juga nyari pasangan buat ajak siaran langsung." kata Cakra.

"Cakra! Pernikahan jangan dibuat untuk bermain. Ini untuk seumur hidup! Kamu harus memahami apa yang Ayah katakan. Otak kamu itu, jangan dipenuhi sama makan, tidur, uang mulu. Kamu itu sudah besar."

"Akh! Pusing Ayah sama kamu! Bener-bener beban saja! Kamu tidak ada tujuan hidup? Cita-cita? Cakra, Cakra," Arga menarik lalu membuang napasnya kasar. Ia harus selalu sabar menghadapi sikap Cakra.

Kali ini, Arga terpaksa harus memarahi anak tersayangnya, Cakra. Ia benar-benar terpaksa. Jika terus Cakra dibiarkan seperti ini, bisa saja uangnya akan habis.

Sehari, paling sedikit Cakra meminta uang kepada Ayahnya sebesar lima juta. Benar-benar boros.

"Ayah, Ayah, sabar. Cakra cuma bercanda," Cakra sedikit takut dengan wajah Ayahnya yang terlihat sedang menahan rasa marahnya.

Mungkin sekarang Cakra akan benar-benar melihat sifat asli dari orang penyabar jika terus diuji seperti ini terus.

"Bercanda maksud kamu? Ini bukan waktunya untuk bersandiwara-bercanda!"

"Sabar Yah, waktunya tinggal lima menit." ucap Cakra.

"Cakra!" pekik Arga menahan emosinya.

Cakra terkejut. Sangat terkejut. Ia menutup mulutnya dengan rapat-rapat.

Napas Arga tidak beraturan. Menghadapi sikap Cakra ternyata lebih susah daripada menghadapi masalah pekerjaannya. Benar, Indah pasti selalu tertekan dengan sikap Cakra yang seperti ini. Pikir Arga.

"Dengar, kamu akan segera menikah dengan perempuan yang baik, cantik, kaya raya, dan yang memiliki segudang prestasi." jelas Arga.

"Namanya Gabrillae Citra Piyaninka. Dia perempuan yang sangat cantik. Dia terkenal berhati baik dan mulia. Citra adalah perempuan yang terhormat. Kamu pasti tau, kalo dia memiliki segudang prestasi. Intinya, dia adalah perempuan idaman dan sempurna. Mungkin, kamu akan tau bagaimana Citra setelah kamu menjadi suaminya." ucap Arga menjelaskan tentang Citra.

"Ohh, perempuan idaman." Cakra bergumam malas.

"Setuju? Kamu mau?" Cakra menyergit bingung.

"Mau apa?" tanyanya.

Arga tersenyum penuh sabar. "Menikah, Cakra."

Cakra terdiam. "Emang dia mau?" tanya Cakra berharap jika Citra menolaknya.

Arga memilih untuk menyeruput secangkir kopi. Ia memijat pelipisnya. Sedangkan Cakra dengan wajah santainya, berdiam diri. Ingin rasanya mengambil ponsel, tetapi ia urungkan.

"Dengar, Ibunya sendiri yang menawarkan anaknya kepada Ayah." kata Arga memberitahu.

Cakra mengerutkan keningnya. "Sebentar. Maksud Ayah, bukannya tadi Ayah bilang, kalau dia itu nyaris sempurna, eh sempurna lah. Tapi kenapa," Cakra tidak melanjutkan ucapannya.

"Citra itu memiliki cita-cita yang aneh sepertimu. Dia memiliki cita-cita, yaitu menikah muda. Kebetulan, Ayah sama Ayahnya Citra itu rekan kerja," ucap Arga.

"Lalu?"

"Jujur, Ayah bosen menghadapi sikap kamu. Lebih ke arah lelah juga," ujar Arga jujur.

Jujur saja, kata-kata itu membuat hati Cakra terasa sakit. Entah kenapa, Cakra merasa dirinya tidak berguna menjadi seorang anak. Ia merasa bersalah.

"Dan Ayah, Ibunya Citra juga merasa lelah dengan sikap Citra yang selalu saja membawa laki-laki ke rumahnya. Dia membawa laki-laki, bukan untuk melakukan hal seperti itu, tetapi, untuk menawarkan dirinya sebagai seorang istri,"

"Kamu tau? Citra kebanyakan memilih om-om duda."

"Kami hanya ingin meringankan beban. Jadi, Ayah berniat untuk menikahkan kalian saja." jelas Arga sejujur-jujurnya. Perkataan Arga membuat Cakra menatapnya aneh.

"Ternyata Cakra baru tau," Arga menolehkan kepalanya.

"Ayah bisa ngegosip juga," kekeh Cakra membuat alis Arga bertaut.

Arga melirik kanan dan kiri. Ia baru menyadari bahwa dirinya tengah membicarakan orang lain.

"Jadi, kamu mau menikah dengan Citra?" tanya Arga memastikan Cakra.

Tanpa berpikir panjang lagi, Cakra mengangguk setuju. "Boleh aja. Ngeliat Ayah sama Bunda, santai, boleh aja. Nanti Cakra jalanin aja," jawab Cakra membuat senyum Arga mengembang.

Arga menahan rasa senangnya. Antara senang Putranya akan segera menikah atau senang dengan kepergian si Beban, menjadi satu.

Cakra tersenyum tipis. "Asalkan jangan selingkuh aja." ucapnya.

"Cakra, Citra itu, tidak bisa memasak," ujar Arga.

Cakra berdiri dari tempat duduknya.

"Gapapa, nanti Cakra yang ajarin," kata Cakra berhasil membuat senyum Arga bertambah lebar.

Kalo tentang masalah masak. Cakra itu jagonya. Walaupun beban, Cakra juga pintar dalam memasak. Cuma, bakatnya hanya Cakra simpan saja. Cakra lebih suka memakan masakan Bundanya, daripada masakan buatan dirinya sendiri.

"Lima menit habis. Bahkan lebih." ucap Cakra menyadarkan Arga.

"Ayah, Cakra pamit dulu, mau buat siaran langsung." Arga memudarkan senyumnya.

Melihat perubahan raut wajah Ayahnya, dengan cepat Cakra melangkah mendekati Ayahnya.

"Tenang, ini yang terakhir kalinya. Bukan terakhir si, tapi, Cakra bakal usahain," kata Cakra seraya tersenyum.

"Oh iya, Cakra masih tetep dapet uang 'kan?"

Cakra menyengir lebar. "Tiga puluh juta untuk hari ini, Yah."

Arga menghela napasnya. "Argamentasi,"

Cakra menoleh dengan cepat. Tatapan Arga berubah datar. "Kenapa?" tanya Cakra bingung.

Arga mengingat sesuatu. "Kamu membeli mobil lagi?" tanyanya.

Cakra bungkam. "Mau berapa banyak lagi? Kurang? Kamu memakainya satu atau dua kali. Jangan boros. Jangan menguji uang Ayah. Uang Ayah bisa saja mengambek," ujar Arga dengan wajah datarnya.

"Ayah," suara Cakra terdengar kecil.

"Mobil yang berwarna kuning itu, Cakra beli pake uang sendiri." secara tiba-tiba, Cakra menundukkan kepalanya.

Arga tau maksud perkataan Putranya itu. "Kamu membeli mobil dengan uang Ayah untuk wanita itu?" Arga mengacak-ngacak rambutnya kasar.

"Ayah, ini untuk yang terakhir kalinya," ucap Cakra pelan.

"Benar-benar terakhir."

...-CICAK🦎-...

HAII💐

Lanjut ke chapter selanjutnya?

semangattt!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!