"Kamu anak yang baik Hasan. Walaupun kamu bukan anak kandung kami, kamu menjaga kami dengan sepenuh hati. Pasangan tua yang menyusahkan inilah yang tidak berguna."
Aku menyangkal kata-kata ibu. Mereka bukan orang tua tidak berguna. Mereka adalah pintu surgaku.
Untuk ayah dan ibu aku akan memantapkan hati bekerja dimanapun asalkan halal.
Aku menghubungi staf rumah sakit yang baik hati itu. Wanita itu bernama Melinda. Tidak banyak aku berkata-kata di telepon dia langsung menerimaku sebagai tukang kebun.
"Aku diterima yah bu...!. Tapi sebelum kerja disana aku harus resign dulu dari pangkalan angkot."
"Hati-hati di jalan nak."
Setelah 10 tahun bekerja sebagai sopir angkot, akhirnya resign. Umur 30 tahun memang waktu yang pas untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.
Saat sampai di bundaran pasar anyar yang merupakan markas pasukan angkot, aku mencium bau apel yang mirip seperti farfum wanita hari itu. Tapi bau kali ini terasa lebih natural.
"Aroma ini menemaniku saat kecelakaan. Sekarang bau apel ini membuatku tidak nyaman."
Rupanya teman pangkalanku sedang makan kue beraroma apel. Aku pernah lihat kue itu, itu pai apel yang dijual tetanggaku.
Lebih baik aku pura-pura tidak tahu saja.
"Hei, apa yang kau makan?."
"Ini pai apel. Aromanya harum sekali kan?, iya kan?."
Bau tidak mengenakkan tercium semakin aku mendekatinya, sekarang bau harum itu berganti menjadi bau 'haruk'.
"Apa yang sedang kau lakukan?. Kalau mau tahu rasanya beli sendiri sana!." Kata kawanku yang merasa terganggu.
"Maaf mas, dimana mas beli pai itu?. Kok baunya busuk?."
Kawanku itu tidak terima dibilang pai nya berbau busuk.
Daripada terjadi perkelahian aku pun membuktikannya dengan membelah kue selebar piring itu. Dan di dalamnya kami menemukan selai hijau lengket. Dari selai hijau itulah bau tidak mengenakkan itu tercium.
Aku tunjukkan temuanku pada dia yang marah lalu saat melihatnya ia langsung membuang pai tersebut.
"Itu cacing buah gepeng...!, asu lah!, untung saja kau melihatnya." Hardik temanku.
Tetanggaku yang membuka bakery akan terkena masalah setelah ini.
Setelah kecelakaan mematikan itu aku merasakan berkah dari kejadiannya. Indra penciumanku jadi sangat tajam. Menemukan cacing mati di antara tumpukan kue harum adalah hal yang tidak mungkin di lakukan manusia biasa.
Aku menguji indra penciumanku lagi dengan mempelajari ciri-ciri buah yang segar dari aromanya.
Jadi aku pergi ke pasar buah membeli dua buah melon yang belum dibelah. Satu yang paling segar dan satu yang paling buruk berdasarkan indera penciumanku dan pengetahuan dari google.
"Mas nya tahu mana melon yang segar ya?." Tanya seorang bumil di sampingku.
"Begitulah bu." Balasku dengan senyuman.
Saat kedua melon itu dibelah, tercium aroma yang sangat harum dari melon pertama sedangkan melon kedua hampir tidak memiliki aroma.
"Bungkuskan kedua nya ya bu. Sekalian saya beli yang itu, itu, dan itu,"
Aku memakai sisa uangku untuk membeli buah buahan segar dan tidak segar, semata mata untuk lebih meyakinkan diriku kalau aku benar-benar mendapatkan berkah setelah kecelakaan hari itu.
Sesampainya di rumah aku potong buah yang terdiri dari pisang, delima dan sawo itu, semuanya adalah jackpot. Segar dan manis.
Aku memasak lempeng pisang supaya 1 pisang segar itu bisa dimakan bersama. Terlebih aku tidak membeli banyak hanya setandan yang bagus. Membedakan mana pisang yang bagus dan buruk tidak diperlukan keahlian khusus.
Selanjutnya aku hidangkan lempeng pisang itu di lantai karena keluargaku tidak punya meja makan. Tidak lupa aku tabur gula di atasnya.
"Kamu tidak makan?."
"Tidak yah, aku sudah makan buah tadi."
Sekarang aku yakin hidung ini memiliki penciuman yang sangat tajam. Tapi masih terlalu dini menyimpulkan hidungku setara dengan anjing pemburu.
Besok saat mulai bekerja jadi tukang kebun aku akan melatih hidung ini lagi. Siapa tahu bisa menemukan emas yang jatuh, hehee.
***
Keesokan harinya, mood ku kalut karena kemarin malam mengalami insomnia. Dadaku terasa sangat sakit setiap kali menyamping.
Setelah kecelakaan itu juga muncul kerutan di wajahku. Aku tidak peduli ini pertanda apa yang penting sekarang adalah bekerja untuk melunasi hutang.
***
Aku berhasil sampai tepat waktu di rumah mbak Melinda. Tidak disangka rumahnya lebih besar dari yang ku bayangkan. Dua bahkan memiliki halaman seluas 12 x 7 meter.
Entah apa yang dilakukan mbak Melinda di depan gerbang rumah, tidak mungkin dia menungguku.
"Silahkan masuk mas Hasan." Ucap Mbak Melinda yang membuatku kaget.
Tak hanya halaman depannya yang bagus, ruang tamunya pun memiliki banyak dekorasi feminim seakan rumah ini khusus untuk perempuan.
Aku memberanikan diri bertanya. "Dekorasinya feminim sekali ya?, seperti rumah khusus perempuan."
"Kelihatan jelas ya?, di rumah ini memang hanya ada saya dan dua anak saya."
Mbak Melinda memintaku duduk selagi dia membuatkan minuman.
"Tidak usah repot-repot mbak!." Kataku.
Tapi mbak Melinda tidak menggubris, dia tetap pergi untuk membuatkan minum.
Aku melihat kesana kemari, berpikir kapan aku bisa memiliki rumah sebagus ini.
Mbak Melinda kembali dengan 2 gelas minuman. Awalnya aku bingung minuman apa yang disediakan di gelas warnanya merah pekat seperti anggur merah, tapi ternyata itu sirup stroberi.
"Karena harinya sangat panas jadi saya buat sirup es. Diminum sampai habis ya." Kata mbak Melinda.
Mbak Melinda adalah orang yang tidak suka berbasa basi. Tanpa bertanya nama lengkap, alamat dan semacamnya, mbak Melinda langsung bertanya bisakah aku bekerja di ladang.
"Saya tidak jadi mencari tukang kebun karena tukang kebun saya yang lama batal resign. Sebaliknya saya membutuhkan orang untuk bekerja di kebun buah bos saya. Apa mas berminat bekerja di kebun mangga dan lain-lain?."
"Apa pekerjaannya berat?, misal mengangkat keranjang berat atau semacamnya?. Saya bukannya tidak bisa tapi melakukan pekerjaan berat setiap hari bisa membuat tulang saya patah."
"Kalau begitu mas bisa mulai dengan pekerjaan yang mudah seperti menghitung, membersihkan dan membungkus stroberi. Saya sudah biasa mengambil pasien yang kesulitan mencari kerja seperti mas untuk dipekerjakan di kebun buah. Jadi mas tidak perlu khawatir saya akan memaksa mas bekerja keras. Saya akan membayar mas sejuta per bulan kalau bekerja dengan rajin dari 8 jam bagaimana?."
"Bukannya saya tidak mau. Tapi 1 juta itu terlalu sedikit untuk petani kebun." Aku harus melakukan negosiasi untuk memberikan kesan. Walaupun terkesan tidak sadar diri dan tidak bersyukur, aku diajari oleh ibu untuk tidak sekadar berkata 'iya' saat seseorang memutuskan jumlah gajiku.
"Maaf mas, pekerjaan yang saya tawarkan sudah sangat mudah. Kalau petani lain diberi upah 58 ribu per hari, kalau mas untuk awalan hanya diberi 33 ribu. Kalau di pertama ini kerja mas bagus, saya akan menaikkan upah mas jadi 40. Bagaimana?."
Dia wanita yang baik, dia tetap menjaga nada bicaranya walaupun bicara dengan orang tidak tahu diri sepertiku. Tidak ada salahnya bekerja pada orang sepertinya.
Karena tidak punya pilihan lain saat ini aku pun menerima tawarannya, dan sepakat terima gaji setiap akhir bulan. Uang sisa pembayaran rumah sakit masih cukup untuk biaya makan selama sebulan kalau pengeluaran kami diperkecil.
"Ini alamat kebunnya, datang sebelum jam 9, pulang sebelum jam 6. Besok juga saya akan memberikan pengarahan langsung karena anda karyawan yang spesial. Sampai jumpa di kebun."
Aku bisa merasakan ketulusan hati mbak Melinda. Selain itu aku iri dengan kekayaan yang dimilikinya.
Sejak saat itu aku berambisi menjadi orang kaya dengan memanfaatkan berkah penciuman tajamku.
"Kebun buah adalah tempat yang sangat cocok untuk menunjukkan bakatku."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments