Bu Maryam mencoba berbicara pada Mardiyah tentang ucapan Rendra tadi. Di dapur, Mardiyah tengah mencuci piring namun tentu ia masih memikirkan kejadian tadi.
"Diyah..ibu mau bicara," ucap Bu Maryam saat ia menemui Mardiyah di sana.
"Eh ibu, bicara aja Bu, nggak pa pa," sahut Mardiyah sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Begini, tuan Rendra akan maafin kamu dengan sebuah syarat, jadi kamu harus belikan dia ayam penyet maknyus yang ada di depan komplek ini, setiap jam 14.00 makanannya sudah harus ada di kamarnya," jelas Bi Maryam dengan pelan.
"Itu doang bu, itu sih gampang, aku pasti bisa kok Bu," ujar Diyah dengan santainya. Ia tak tau bahwa tidak semudah itu untuk melakukan syarat yang di berikan Rendra.
*
Siang itu, Diyah berjalan kaki untuk membelikan pesanan Rendra. Tampaknya ini terlalu mudah untuk dilakukan. Sampai suatu ketika di tengah jalan Diyah melihat segerombolan laki-laki yang berkumpul kumpul di tepi jalan. Tentu ia sedikit panik. Namun mencoba tetap tenang dan melanjutkan langkahnya.
Untungnya ia tak di ganggu, hanya saja pandangan orang orang agak aneh melihat dirinya yang mengenakan cadar. Hingga sampailah di tempat pembelian ayam penyet itu.
Diyah mengira semuanya akan berjalan lancar. Namun ternyata ia salah. "Pak ayam penyet satu," ucap Diyah seraya memesan.
Bukannya di kasih ayam penyet ia malah di kasih Nomor antrian, ia menatap ke samping, melihat barisan antrian yang amat panjang.
Terpaksa ia masih mengantri hingga pukul 15.00 WIB. Tentu ini sudah telat untuk mengantarkan pesanan Rendra.
Ia buru-buru berlari secepat mungkin agar ia tidak telat terlalu lama.
Namun di perjalanan, tak sengaja ia melihat Rendra yang berdiri di samping motornya dan sedang mengobrol dengan seorang perempuan.
"Wenny mending kamu pulang deh, aku lagi pengen sendiri," ucap Rendra pada gadis cantik di hadapannya. Gadis itu adalah Wenny teman kuliah Rendra yang selalu mengejar rendra hingga saat ini.
"Ren, kamu udah kebanyakan waktu sendiri, sekali sekali kamu bergaul lah sama anak anak yang lain," kata Wenny, ia ingin membujuk Rendra agar mau jalan bersamanya.
"Aduh..mendingan kamu pulang Wen, please, tolong pulang,"
"Kamu kenapa sih? masih kesal sama ibu tiri mu itu?" tanya Wenny.
Rendra terdiam seolah mengiyakan.
"Tuh kan..benar dugaan aku, ibu tiri kamu itu emang matre Ren, aku tuh kenal banget sama Bu Sinta, pasti dia cuma mau ambil harta papa kamu aja, makanya kamu tuh harusnya cepat cepat ambil alih perusahaan papa mu," ujar Wenny menasehati Rendra.
"Aku malas ke kantor, mendingan buat usaha sendiri,"
"Ren..kamu tau nggak sih, cepat atau lambat papa kamu itu bisa buang kamu kalau kamu gini terus, kamu bangkit dong Ren..kamu harus singkirkan ibu tiri mu itu," kata Wenny.
Tak berapa lama kemudian, seorang laki-laki misterius datang dari arah belakang Rendra. Laki-laki misterius itu membawa kayu besar yang kemungkinan ia akan gunakan untuk memukul Rendra.
Diyah melihat sosok laki-laki berbahaya itu, tanpa berpikir panjang ia berlari menyelamatkan tuan Rendra.
"Tuan.. awas!" teriak diyah sembari melindungi Rendra dengan tubuhnya. Hingga Yang terkena pukulan bukanlah Rendra tapi diyah sendiri.
"Woi!!" rendra hendak mengejar laki-laki itu yang ternyata adalah musuhnya namun laki-laki tersebut telah berlari dengan motor.
Rendra pun memilih untuk melihat kondisi Diyah yang sudah pingsan.
"Aduh..dia pingsan," ucap Rendra yang bingung bagaimana membangunkan Diyah.
"Dia siapa Ren?" tanya Wenny saat ia melihat wanita bercadar itu menyelamatkan Rendra.
"Dia pembantu baru di rumah aku, udah kamu pulang aja sana,"
"Ya udah deh aku pulang," cetus Wenny yang pulang dengan wajah kesal karena Rendra tak memperdulikan dirinya.
Tak lama kemudian, Diyah pun sadar dari pingsannya. Namun punggungnya amat sakit.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Rendra yang masih saja dingin.
"Bisa nggak sih tuan Rendra ngucapin terimakasih sama orang yang udah nolongin tuan, masih mau nyalahin saya?" diyah melototi Rendra.
"Jangan banyak bicara, ayo pulang, sini aku bantu," ucap Rendra yang berniat membantu Diyah untuk berdiri.
"Nggak usah..bukan mahram," tegas Diyah dan berusaha untuk berdiri sendiri. Ia sangat kesal dengan sikap Rendra yang sangat tidak menyenangkan.
"Makasih," ucap Rendra singkat.
"Sama-sama," jawab Diyah, akhirnya laki-laki dingin itu mau mengucap kata terimakasih.
Diyah berjalan menuju rumah meskipun ia masih kesakitan. Ia tak menatap Rendra saat ia pergi.
"Ayo naik," suruh Rendra seraya mempersilahkan Diyah untuk naik ke motornya.
"Nggak usah, nggak perlu, lagian saya nggak mau di bonceng sama laki-laki yang bukan mahram," cetus diyah dengan wajah masam.
"Dih..nggak tau diri bangat kamu ya, udah saya tawarin malah nolak, ya udah kalau kamu nggak mau, tuh kamu lewat sendiri dari depan geng motor itu, kalau mereka gangguin kamu, saya nggak tanggung jawab ya," ucap Rendra menakut nakuti Diyah.
Diyah menoleh ke ujung depan. Rasanya memang sedikit takut untuk lewat dari hadapan para laki-laki itu.
Diyah pun dengan terpaksa menaiki motor Rendra. Namun ia berusaha untuk menjaga jarak meski menaiki motor Rendra.
"Kamu harusnya bersyukur, belum ada perempuan yang pernah naik motor bersamaku," ucap Rendra saat di perjalanan ke rumah.
"Maaf, tapi saya rasa itu bukan suatu kebanggaan,"
Tak lama kemudian, sampailah di depan rumah. Satpam memarkirkan motor Rendra. Sedangkan Rendra akan naik ke atas menuju kamarnya.
"Tuan..ini ayamnya, saya tadi udah capek capek antri!" ucap Diyah menghentikan langkah Rendra.
"Buat kamu aja," balas Rendra dan melanjutkan langkahnya.
Diyah kesal hingga menggigit giginya sendiri. Rasanya ia ingin memukul wajah Rendra lagi. Ia sudah lelah berusaha mendapatkan pesanan Rendra, tapi hanya sia sia.
"Astaghfirullah..sabar diyah..sabar," ucap Diyah seraya menenangkan hatinya.
Tiba-tiba mobil nyonya Sinta tiba. Mama tiri Rendra itu turun dari mobil. Sepertinya ia baru pulang dari suatu acara.
Nyonya Sinta melihat Diyah yang sepertinya juga baru pulang. "Diyah..dari mana?" sapa nyonya Sinta.
"Tadi ada yang mau di beli nyonya," jawab Diyah sembari menundukkan kepalanya.
"Oh ya, kamu betah kan kerja di sini?" tanya Sinta. Tampaknya ia sangat ramah pada Diyah hingga pembantu lain iri melihat sikap ramah Sinta pada Mardiyah.
"Alhamdulillah betah nyonya,"
"Baguslah kalau gitu, saya masuk ya," ucap Sinta sembari berjalan ke dalam rumah.
"Iya nyonya," jawab diyah sambil menundukkan kepalanya. Ia merasa sedikit lebih baik melihat perlakuan Nyonya Sinta yang cukup baik padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments