Seorang pembantu yang lebih senior dari Diyah sedang membersihkan kolam renang di belakang. Ia adalah Sari, pembantu yang juga masih gadis.
Tiba-tiba ia melihat Mardiyah yang baru saja lewat dari pandangannya. "Hei kamu..ART baru! mau kemana?" tanya Sari dengan sombongnya.
"Mau ke atas mba, tadi Bu Maryam suruh saya mengantar sarapan ini untuk tuan Rendra," jawab diyah dengan sopan.
"Udah...sini biar aku yang antar, kamu bersihin kolam ini," tegas Sari sembari merebut sarapan untuk tuan muda yang ada di tangan Diyah.
Sebagai pembantu baru, Mardiyah hanya menuruti itu. Ia pun memberikan sarapan itu. "Ya udah deh," balas Diyah sembari mengambil alat pembersih kolam itu. Ia bingung bagaimana membersihkan kolam yang cukup luas ini.
Sementara itu di ujung sana ternyata ada seorang laki-laki yang sedang berenang di pagi hari. Ia adalah Satria. Diyah masih memperhatikan laki-laki itu, seolah bertanya-tanya siapa laki-laki yang ia lihat.
Namun tiba-tiba suara pecahan kaca terdengar jelas dari lantai atas. Diyah buru-buru menyusul Sari karena suaranya sepertinya dari arah kamar tuan Rendra. Pasti telah terjadi sesuatu pada Sari di kamar tuan Rendra.
"Siapa yang izinin kamu masuk? keluar!!" bentak Rendra pada Sari si pembantu senior. Sari amat ketakutan dengan suara keras Rendra.
Apalagi melihat pecahan kaca yang sudah berserakan di lantai itu. "Ma_maaf tuan, saya cuma mau antar sarapan ini," ucap Sari sambil menundukkan kepalanya.
"Keluar! kamu bisa dengar nggak sih?" bentak Rendra lagi. Ia amat kesal pada pembantu selain bi Maryam. Apalagi pada Sari yang terlihat menyebalkan saat ia selalu caper pada ibu tiri Rendra.
Mardiyah ternyata melihat sikap dingin tuan Rendra itu. Ia berdiri di depan pintu yang terbuka. Rasanya amat kesal melihat Rendra bersikap semena-mena terhadap orang lain.
"Apa laki-laki ini memang ada kelainan jiwa ya," batin Diyah saking kesalnya.
"Mba Sari nggak pa pa?" sapa Diyah saat ia menemui Sari. Niatnya ingin membantu namun Sari malah tak perduli itu. Sari langsung keluar dari kamar Rendra.
Tinggallah Mardiyah yang menatap keadaan lantai di penuhi pecahan kaca. Rasanya ia ingin mengomeli laki-laki di hadapannya itu. Tapi ia sadar posisiku hanyalah pembantu di rumah ini.
"Boleh saya bersihkan ini tuan?" tanya Diyah yang memaksakan diri untuk tetap ramah di hadapan tuan muda.
"Ini lagi..kamu ngapain di sini, bisa pergi nggak, aku tuh nggak suka sama pembantu kayak kamu, pakai penutup muka segala, sekalian pakai topeng, pasti ini suruhan Sinta kan?" gerutu Rendra yang amat kesal melihat gadis bercadar di hadapannya.
Mardiyah sudah beristighfar berkali kali, tapi ia hanyalah manusia biasa, tak mampu lagi menahan emosi yang sudah membara.
"Nyonya Sinta itu mama anda, tapi kenapa anda langsung menyebut namanya, itu tidak sopan! jangan karena anda ini putra bungsu pak Arif Pratama jadi anda bisa bersikap seenaknya, tuan muda yang terhormat..dengar ya! kita semua manusia pasti akan merasakan mati, tuan nggak takut sama neraka?" tanpa ia sadari Mardiyah telah meluapkan kata-kata yang tidak seharusnya ia ucapkan.
Tentu kata-kata itu telah berhasil memancing emosi Rendra. Matanya mulai merah melototi Diyah. Ia sudah tak tahan lagi melihat gadis yang lancang seperti ini.
"Kamu satu-satunya pembantu yang berani menatap saya, kamu mau lawan saya?" cetus Rendra yang semakin mendekat pada Diyah.
Barulah diyah sedikit takut melihat tatapan menyeramkan itu. Rasanya ia sedang berhadapan dengan singa yang kelaparan.
Rendra emosi, tak bisa mengendalikan diri lagi. "Dasar perempuan sok alim!" ia menarik cadar Diyah dan membuangnya ke lantai.
Seketika matanya terpana melihat perempuan di hadapannya itu. Diyah pun kaget hingga ia memukul wajah Rendra dengan tinjunya.
Mardiyah langsung mengambil kembali cadarnya dan berlari keluar dari kamar itu.
Sementara Rendra memegang hidungnya, ia melihat di jarinya sudah ada tetesan darah. "Sial...ini nggak mungkin, kenapa dia berani memukul ku," batin Rendra yang amat kesal.
Mardiyah bisa seberani itu, namun kini ia sudah ketakutan jika ia akan di pecat bahkan nyaris di polisikan.
Ia buru-buru menemui Bu Maryam yang sedang memasak di dapur.
"Bu..aku kayaknya lakuin kesalahan besar, apa aku akan di pecat?" tanya Diyah sedang wajahnya tampak ketakutan.
"Kesalahan apa sih nak, pembantu baru seperti kamu wajar kalau masih lakuin kesalahan, tenang aja, nggak akan di pecat kok!" ucap bu Maryam, ia tak tau saja kalau kesalahan Diyah sangat fatal.
"Aku mukul tuan Rendra,"
"Hah? serius? kok bisa?" tanya Bu Maryam dengan kaget hingga ia menghentikan aktivitasnya yang sedang bekerja.
"Aku nggak sengaja Bu, tadi dia lancang membuka cadar ku, Bu..apa aku akan dilaporkan ke polisi?" tanya Mardiyah dengan tatapannya yang pasrah.
Meski diyah telah melakukan kesalahan besar, namun tetap saja Bu Maryam akan berusaha untuk melindunginya. "Udah..kamu tenang dulu ya, biar ibu yang urus," ucap Bu Maryam seraya menenangkan hati Diyah.
Bu Maryam berjalan menuju kamar Rendra. Ia akan menemui Rendra untuk bicara baik-baik.
Rendra yang sedang mengompres hidung nya mendengar suara ketukan pintu. "Ini bi Maryam, apa bibi boleh masuk?" suara dari luar kamar Rendra.
"Iya.." sahut Rendra dari dalam.
Bi Maryam pun masuk menemui Rendra di sana. Dan benar saja, Rendra sedang mengompres hidungnya yang berdarah.
"Tuan Rendra.. pembantu yang bercadar itu namanya Mardiyah, dia orang baik kok, dia anak almarhumah sahabat bibi, kamu marah sama dia?" tanya bi Maryam dengan pelan.
"Ya iyalah bi, dia nonjok aku, mana ada yang berani menantang aku apalagi dia cuma pembantu baru bi,"
"Iya ..bibi tau, tapi tolong jangan besarkan masalah ini ya, dia itu sudah bibi anggap anak sendiri," pinta Bu Maryam dengan bersungguh sungguh.
Rendra tampak berat untuk menuruti permintaan bi Maryam ini. Namun setelah berpikir panjang, ia pun tak tega menolak permintaan bi Maryam.
"Ya udah deh, tapi ada syaratnya bi, suruh dia untuk membelikan saya ayam penyet maknyus yang ada di depan komplek, dan makanan itu sudah harus ada di kamar ini setiap jam 14.00 siang." tegas Rendra yang sengaja ingin mengerjai Diyah.
"Hah? biar saya aja tuan, diyah pasti akan malu untuk melewati jalan yang di penuhi laki-laki geng motor, mendingan saya aja, lagi pula untuk membeli itu kan harus antri berjam jam,"
"Justru itu tantangannya bi, pokoknya itu satu satunya syarat agar pembantu itu bisa saya maafkan!"
"Ya udah kalau gitu bibi permisi dulu ya," ucap Bu maryam sembari melangkah keluar kamar Rendra. Ia bingung bagaimana caranya mengatakan hal ini pada Mardiyah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments