"Astaghfirullah...." ucap mardiyah saat ia sudah keluar dari kamar Rendra. Ia begitu kaget melihat tuan Rendra yang tadi berbaring di ranjang.
"Bi..tolong ambilkan handuk," panggil Rendra dari arah kamarnya. Ia memang dingin pada semua orang tapi sedikit berbeda pada bi Maryam. Ia tak dingin pada bi Maryam karena memang ia lebih banyak waktu bersama bi Maryam sejak ia masih kecil dulu.
Diyah pun bingung harus bagaimana, rasanya ia tak berani untuk masuk ke dalam kamar itu lagi.
"buruan Bi.." panggil Rendra lagi.
Diyah pun tak punya pilihan lain. Ia perlahan melangkahkan kakinya untuk mencari handuk yang di maksud Rendra.
"Ini handuknya tuan.." ucap mardiyah dengan pelan. kini ia sudah membawakan handuk itu ke hadapan Rendra.
Rendra merasa suara bi maryam tampak beda. Ia bangun dari tempat tidur dan menoleh ke arah Mardiyah.
"Siapa kamu?" bentak Rendra mengejutkan Diyah.
"Astaghfirullah..saya kaget mas, eh tuan maksudnya," ucap Diyah dengan spontan.
"Saya tanya kamu siapa?" bentak Rendra dengan tatapannya yang tajam.
"Sa_saya Mardiyah tuan, panggil saja diyah, saya pembantu baru di sini," jelas diyah sejelas jelasnya.
"Pembantu? kenapa pembantu harus model yang kayak begini sih," gerutu Rendra menatap diyah dari ujung kaki sampai ujung kepalanya. Ia tampak tak suka melihat Mardiyah dengan penampilannya yang tertutup lengkap dengan cadarnya.
Mardiyah hanya menundukkan kepalanya layaknya seorang pembantu yang di marahi.
"Udah..udah..sana keluar!" cetus Rendra yang tampak kasar pada Diyah.
Mardiyah pun keluar dengan wajah tidak senang. "Astaghfirullah..kok ada ya manusia kayak gitu, butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi tuan muda itu, ya Allah kuatkan lah aku," batin Diyah sembari berjalan melewati anak tangga.
**
Malam hari, Diyah baru saja usai sholat isya. Ia sedang membetulkan cadarnya di kamar khusus pembantu. Kamar itu ada di lantai dua. Diyah menatap ke arah kaca jendela kamar, ada sedikit yang janggal.
Ia harus memperjelas ke arah jendela itu. Diyah perlahan melangkah mendekati jendela kaca. Ia kaget melihat tuan muda Rendra sedang turun dari jendela lantai tiga menggunakan tali yang biasa di gunakan orang untuk gantung diri.
Diyah buru-buru membuka jendela kamarnya, "Tuan muda...tolong jangan bunuh diri, please, tuan..sesulit apa pun hidup ini pasti ada masa masa indahnya, asalkan tuan sabar aja, tuan ..saya mohon tolong pikirkan baik baik, tuan masih muda, apa tidak ingin menikah dulu sebelum wafat?" Mardiyah tampak panik melihat tuan muda yang tergantung di tali.
Rendra pun geram mendengar ucapan gadis bercadar itu dari jendela lantai dua. Rasanya ia ingin mengganjal mulut gadis itu. Rendra berhenti tepat di depan jendela lantai dua dengan posisinya yang masih berpegangan di tali itu.
"Bisa diam nggak? kamu bicara sekali lagi, saya bunuh kamu!"
"Astaghfirullah...tuan saya cuma.."
"Stop..diam! itu perintah!" tegas Rendra menghentikan mulut diyah yang sedari tadi komat-kamit karena khawatir dengan tuan muda.
Setelah itu barulah Rendra lanjut turun ke bawah. Rasanya ia lega setelah kakinya menginjak tanah.
Ia akan berjalan pergi lewat pintu belakang, namun siapa sangka, seorang laki-laki mencubit telinganya dari belakang.
"Mau kabur kemana? kapan sih kamu bisa bersikap dewasa Ren? kamu bukan remaja lagi loh, harusnya di usia seperti ini kamu udah kerja, bukannya malah keluyuran malam malam kayak begini," tegas laki-laki itu yang ternyata adalah putra pertama dari pak Arif. Dia adalah Satria, tuan muda yang baru saja pulang mengurus bisnis di luar kota.
"Apaan sih, nggak usah urusin aku," cetus Rendra saat ia menoleh ke belakang dan menyadari bahwa itu adalah kakaknya.
"Masih aja kayak bocah, malu sama umur!"
"Dih..kamu yang tua kali, awas awas..aku mau cabut!" gerutu Rendra, tampaknya kakaknya pun tak mampu mengurus Rendra lagi.
Rendra pun pergi tanpa memperdulikan kakaknya itu.
Satria menoleh ke atas, melihat jendela kamar Rendra yang sudah terbuka lebar. Namun matanya terhenti menatap jendela kamar di lantai dua. Tampak seorang gadis bercadar sedang menatap ke arah bawah.
"Perempuan itu siapa ya," batin Satria namun ia tak menghiraukan lagi. Ia buru-buru masuk rumah untuk menemui orangtuanya.
"Aku pulang.." ucap satria dengan keras agar seisi rumah mendengar. Pak Arif dan Bu Sinta telah menyambut kedatangan putra pertamanya itu.
"Wah..kamu makin keren aja Sat, gimana? bisnisnya lancar?" sapa pak Arif sembari menepuk pundak putranya.
"Alhamdulillah lancar pa, papa sama Mama gimana? semuanya baik baik aja kan?" sapa Arif menatap papa dan mama tirinya.
Pak Arif dan Bu Sinta hanya tatap tatapan seolah tak bisa menjelaskan keadaan rumah yang amat kacau.
"Kenapa? Rendra sama Elia masih bikin kacau?" tanya Satria menebak ekspresi wajah kedua orang tua itu.
Pak Arif agak sulit untuk menjelaskan keadaan yang rumit ini. "Iya Satria, kedua adik mu sepertinya belum bisa menerima mama kamu, Elia mengambil S2 di luar negeri, bahkan katanya dia tidak ingin pulang ke Indonesia, begitupun Rendra yang hidup seperti kelelawar, dia menghabiskan siang untuk tidur dan malam untuk beraktivitas, dia bahkan tidak mau bertatapan dengan mama Sinta," jelas pak Arif yang amat sedih dengan kondisi keluarganya.
"Udah..papa sama Mama jangan sedih, nanti pasti keadaannya akan membaik," ucap Satria menenangkan kedua orangtuanya. Ia memang bersikap dewasa sesuai umurnya yang sudah mencapai 29 tahun. Ia selalu bisa bersikap tenang dengan keadaan apa pun.
Tak seperti adiknya Elia dan Rendra yang masih bersikap kekanak-kanakan.
Malam semakin larut, pertama kalinya Mardiyah harus tidur di tempat bekerjanya yang baru. Rasanya sulit untuk tidur. Ia menatap ke jendela kaca itu. Seketika air matanya menetes mengingat ibunya yang sudah tiada.
"Bu..jangan khawatir sama diyah, Diyah sekarang sudah bekerja, insyaallah nanti jika Allah memberikan pekerjaan yang lebih baik, diyah pasti tidak akan jadi pembantu lagi," batin Diyah sedang matanya tertuju ke langit yang terlihat jelas dari jendela kamarnya.
Keesokan harinya,
Saat subuh, Mardiyah baru saja berwudhu dari kamar mandi di bawah karena kamar mandi di atas sedang rusak.
Sementara itu Satria pun sedang menuju kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Dan lagi lagi ia melihat sosok gadis bercadar baru saja keluar dari pintu kamar mandi. Ia hanya menatap langkah gadis itu hingga jauh.
"Itu siapa sih?" batin Satria yang mulai penasaran dengan perempuan yang ia lihat. Tak biasanya ada yang masuk ke kamar mandi saat subuh seperti ini. Otak Satria mulai berpikir jauh, seperti memikirkan suasana horor, namun ia kembali menjernihkan pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments