Hari ini Kailla libur kuliah, jadi ia memutuskan untuk mengajak Ibu Dion dan adiknya jalan-jalan ke mal. Setelah menjemput Ibu Dion dan adiknya, Sam segera melajukan mobil menuju ke salah satu mal terbesar di Jakarta. Kebetulan hari ini Dion tidak bisa ikut menemani karena harus bekerja di cafe.
Hari ini mal tidak terlalu ramai, karena hari kerja. Jauh berbeda dibandingkan hari libur atau akhir pekan. Sam tidak terlalu sulit untuk mencari tempat parkir. Biasanya sopir itu butuh waktu lama karena banyaknya pengunjung mal, bahkan tidak jarang harus berputar-putar selama satu jam hanya untuk sebuah tempat parkir.
“Sam, kamu tunggu di mobil saja!” perintah Kailla.
Ia tidak mau sampai kehadiran Sam membuat Ibu dan adik Dion menjadi tidak nyaman. Berbeda dengan Dion atau sahabatnya yang sudah terbiasa dengan kehadiran Sam yang mengikutinya ke mana-mana, bahkan sampai ke depan toilet wanita.
“Wah Bu, gedungnya bagus sekali, ya,” ucap adik Dion berdecak kagum sambil memandang ke atas. Melihat gedung mal yang tinggi dan bertingkat dengan kaca-kaca menempel di dinding.
“Ayo kita masuk. Di dalam lebih bagus lagi,” ajak Kailla sambil menatap Dina, adiknya Dion yang bergelayut manja pada lengan ibunya.
Kailla mengajak keduanya berkeliling dari satu toko ke toko yang lain. Tidak jarang mereka harus berhenti lebih lama, ketika Dina terheran-heran dengan produk yang baru pertama kali dilihatnya. Setelah sampai di toko yang menjual pakaian, mereka pun masuk dan melihat-lihat.
“Dina, kamu boleh membeli apa saja yang kamu mau.” Kailla menawarkan kepada adik Dion.
“Benarkah, Kak?” tanya Dina bersorak kegirangan. Melihat kegembiraan Dina, Kailla mengangguk dan tersenyum.
“Jangan, Non. Di sini pasti mahal. Kami tidak butuh apa-apa.” Ibu Dion berusaha menolak. Wanita paruh baya itu merasa tidak enak hati.
“Tidak apa-apa, Bu. Anggap saja ini oleh-oleh untuk Ibu dan keluarga di kampung.” Kailla menarik tangan Ibu Dion dan mengajaknya mencoba beberapa potong pakaian.
Kailla juga meminta Ibu Dion memilih kemeja dan celana untuk Bapak Dion. Dina sendiri memilih dua potong terusan berwarna peach dan tosca yang sesuai usianya. Modelnya sederhana dengan bahan lembut yang enak di kulit.
“Bagaimana, Bu? Apakah baju ini cocok untuk Dina?” tanya Dina yang masih berputar-putar di depan kamar ganti.
“Anak Ibu selalu cantik dengan baju apa pun.” Ibu Dion menjawab sambil mengelus pipi putrinya.
Kailla yang melihat pemandangan itu hanya tersenyum getir. Selama dua puluh tahun, jangankan mendapat pelukan mamanya, Kailla bahkan tidak memiliki kesempatan untuk melihat wajah mamanya. Daddy dan Pram menutup rapat segala informasi tentang mamanya.
Setelah membayar belanjaannya, Kailla pun mengajak Ibu Dion dan adiknya kembali berkeliling. Gadis itu mengajak keduanya tamunya mampir ke arena bermain. Dina sangat senang sekali bisa bermain beberapa permainan di sana.
“Kamu senang, Din?” tanya Kailla setelah melihat wajah letih Dina. Anak itu begitu puas, hampir semua permainan dicobanya.
“Senang, Kak Kailla!” jawabnya sembari merangkul tangan Kailla.
“Sudah lapar? Ayo kita cari makan," ajak Kailla, sambil mengandeng tangan Ibu Dion dan Dina.
Setelah memesan makanan di foodcourt akhirnya mereka memilih duduk menunggu pelayan mengantarkan pesanan mereka.
“Ayo dimakan,” ucap Kailla begitu pelayan sudah mengantarkan pesanan mereka. Tampak seporsi mi goreng jawa, steak dan dua gelas jus jeruk. Kailla sendiri hanya memesan pasta kesukaannya.
“Aduh, Non. Ibu jadi tidak enak. Sudah diajak jalan-jalan, dibelanjakan pakaian, diajak makan di tempat begini lagi.” Ibu Dion berkata sambil tersenyum malu.
“Tidak apa-apa, Bu. Aku juga senang bisa mengajak Ibu dan Dina jalan-jalan. Nanti, kalau ke Jakarta lagi, kita jalan jalan ke Dufan,” ucap Kailla sambil memasukkan makanan ke mulutnya.
“Aku mau, Kak Kailla.” Dina menjawab kegirangan. Ia sudah membayangkan tempat yang dimaksud Kailla. Biasanya gadis kecil itu hanya bisa melihatnya dari televisi.
“Terima kasih, Nak. Kamu baik sekali. Orang tuamu sungguh beruntung memiliki putri sepertimu.” Ibu Dion berkata sambil tersenyum menatap Kailla.
Setelah makan, Kailla pun mengantar mereka kembali ke indekos Dion. Terlihat Sam turun membantu membawa barang belanjaan ke dalam.
“Terima kasih, Kak Kailla,” ucap Dina sambil berjalan masuk memeluk sebuah boneka yang dibeli Kailla khusus untuknya.
“Terima kasih, Nak. Ibu sebenarnya malu menerima semua ini.” Ibu Dion terlihat masih sungkan.
“Tidak apa-apa, Bu. Aku juga senang bisa seharian menghabiskan waktu dengan Ibu dan Dina.”
Tak lama, Sam terlihat keluar dari indekos dan berjalan menuju mobil siap mengantar sang majikan pulang.
“Aku pamit dulu ya, Bu.” Kailla berkata sambil meraih pintu mobilnya sedikit ragu.
Kemudian ia berbalik kembali, menghampiri Ibu Dion. Terlihat Kailla ragu-ragu untuk mengatakannya.
“A ... apa aku boleh memeluk Ibu?” tanya Kailla terbata-bata. Terlihat ia menatap sedih ke Ibu Dion. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya.
“Tentu, Nak!” Ibu Dion menjawab sambil membentangkan kedua tangannya siap menyambut Kailla dalam pelukannya.
Kailla segera menghambur ke pelukan Ibu Dion. Ada banyak rasa berkecamuk di dalam hatinya. Haru, bahagia, seperti ini rasanya dipeluk seorang ibu. Pelukan yang diimpikannya selama ini.
“Terima kasih ... terima kasih ... terima kasih.” Kailla berkata. Tangisnya pecah, sambil memeluk erat Ibu Dion.
“Kamu kenapa, Nak?” tanya Ibu Dion bingung sambil menepuk punggung Kailla yang masih sesenggukan.
“Tidak apa-apa, Bu. Aku senang bisa memelukmu, Bu," sahut Kailla. “Terima kasih, karena Ibu mengizinkan aku merasakan bagaimana rasanya dipeluk seorang ibu,” lanjut Kailla lagi dengan setengah berbisik.
Deg.
“Ibumu?” Ibu Dion tersentak
“Mama meninggal sewaktu melahirkanku. Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya ingin merasakan sebentar saja. Bagaimana rasanya dipeluk ibu dan rasanya memiliki ibu,” jawab Kailla tegar.
Hati Ibu Dion terenyuh mendengar ucapan Kailla. Ibu Dion membayangkan bagaimana manjanya sang putri yang selalu ingin berada di dekatnya, bahkan ketika ia memutuskan ke Jakarta untuk menengok Dion, sang putri tak melepaskannya. Makanya sang putri dibawa serta ke Jakarta.
Sedangkan gadis di hadapannya ini, hanya bisa bermimpi untuk memiliki seorang Ibu. Walau mungkin ada banyak cinta dari keluarga yang lain, tetapi ruang kosong di hati yang ditinggalkan sang ibu tidak akan bisa diganti oleh apapun dan siapapun. Ibu Dion melepaskan pelukannya kemudian mengajak Kailla untuk duduk di teras indekos.
“Kamu merindukan mamamu?” Ibu Dion bertanya sambil tetap menggenggam tangan gadis di hadapannya.
Kailla menggeleng. “Waktu aku kecil, aku pernah merindukan Mama. Tapi Daddy berkata, aku tidak boleh merindukan mama. Dan kata-kata Daddy itu benar.”
“Dulu, di sekolah ... aku melihat temanku bertengkar dengan teman yang lain, kemudian Ibu guru memanggil mama temanku untuk datang ke sekolah.” Kailla mulai bercerita, mengingat saat kecilnya dulu.
“Aku juga melakukan hal yang sama. Aku memukul teman sebangku di kelasku. Berharap ibu guru juga memanggil mamaku datang ke sekolah. Tapi mama tidak datang. Daddy benar, sampai kapan pun mama tidak akan pernah datang padaku. Sejak itu, aku tidak merindukan mama lagi,” lanjut Kailla.
“Mamamu pasti sangat bangga padamu, Nak. Putrinya sudah tumbuh menjadi gadis yang baik dan cantik,” ucap Ibu Dion sambil menghapus air mata dan mencium kening Kailla.
“Benar, kah?” tanya Kailla menatap perempuan paruh baya di depannya.
“Tentu. Putrinya sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan baik seperti ini. Ibu mana pun pasti akan bangga,” jelas Ibu Dion menatap penuh cinta pada Kailla.
***
Terima kasih.
Love you all.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Nur Lizza
😭😭😭😭😭
2022-09-16
0
Siti Latifa
kailla sepertiq, ibu meninggal wkt melahirkanq, tanpa sempat melihatq apalagi menggendongku. Doa terbaik utkmu bu....
2022-04-08
0
Anie Jung
Kasihan Kailla😢😢
2022-03-11
0