“Kai.” Pram menyusul Kailla yang sudah berlari keluar dari unit apartemen dan masuk ke dalam lift.
Segera Pram meraih kunci mobil dan berlari menuju tempat parkir mobilnya di basement.
Unit apartemen Pram sendiri ada di lantai 3 sehingga ia memutuskan menggunakan tangga darurat untuk mempersingkat waktu. Menunggu lift hanya akan membuang waktu lebih lama lagi.
Setelah berada di dalam mobil, Pram segera melajukan mobilnya menuju ke lobi utama apartemen untuk menyusul Kailla. Berharap gadis itu belum menemukan taksi. Ia tidak bisa membiarkan Kailla pulang dengan taksi.
Benar saja, begitu sampai di lobi terlihat Kailla sedang masuk ke dalam taksi. Pram memutuskan untuk mengikuti taksi yang ditumpangi Kailla. Di dalam mobil, Pram berkali-kali mencoba menghubungi ponsel Kailla, akan tetapi panggilannya selalu di-reject. Kailla sama sekali tidak mau berbicara dengannya.
“Arrrhgh! Ayo dong Kai, angkat teleponnya,” ucap Pram sedikit kesal. Napasnya masih naik turun, karena harus berlari dari tangga darurat sampai ke mobilnya demi tidak kehilangan jejak Kailla.
Karena Kailla tidak kunjung menerima panggilannya, akhirnya Pram terpaksa menyalip taksi yang ditumpangi Kailla setelah dirasa situasi jalan raya aman.
Cittt. Suara ban mobil yang bergesekan dengan aspal dikarenakan sopir taksi menghentikan laju mobil secara tiba-tiba.
Bruk. Tubuh Kailla yang duduk di kursi belakang pun tiba-tiba terhempas ke depan dan kepalanya membentur sandaran kursi di depannya.
“Ada apa, Pak?” tanya Kailla kepada sopir taksi. Terlihat ia mengusap kepalanya yang terbentur.
“Itu, Bu. Tiba-tiba ada mobil menyalip dari belakang dan langsung berhenti mendadak di depan,” sahut sang sopir.
Tampak Pram turun dan mengetuk kaca mobil di sisi sopir.
Tok ... tok ... tok.
“Maaf, Pak. Saya ingin menjemput calon istri saya yang sedang duduk di kursi belakang taksi Bapak,” jelas Pram begitu sopir menurunkan kaca jendela mobil. Terlihat Pram mengeluarkan dompet dari saku celananya dan menunjukkan KTP serta kartu namanya.
Sopir taksi menatap KTP yang ditunjukkan Pram, kemudian beralih menatap Kailla yang sedang duduk diam tanpa komentar di kursi belakang.
“Aduh bagaimana ini, Pak. Saya juga pusing," celetuk sang sopir.
Tanpa menunggu jawaban sopir taksi, Pram langsung meraih gagang pintu penumpang di mana Kailla duduk dengan tampang kesalnya.
“Kai, ayo turun. Om akan mengantarmu pulang,” pinta Pram lembut berusaha membujuk Kailla.
Pram tahu, di saat seperti ini Kailla tidak bisa diperlakukan dengan kasar. Yang ada, malah gadis itu semakin memberontak.
Kailla tetap diam, seolah tidak mendengar semua ucapan Pram. Ia memilih mengeluarkan ponsel dan memainkan game kesukaannya.
“Ayolah, Kai. Ini sudah malam. Mana sebentar lagi mau hujan. Sudah mulai gerimis.” Pram mencoba membujuk lagi.
Kailla menatap pun tidak, tetap fokus dengan ponselnya. Sesekali ia mendengus kesal tanpa memedulikan Pram yang berdiri sedari tadi di pintu mobil.
“Ayo, Kai,” ucap Pram lagi sambil meraih tangan Kailla, langsung ditepis kasar oleh empunya.
“Jalan saja, Pak,” perintah Kailla kepada sopir taksi tiba-tiba.
“Tapi ... Bu.” Sopir taksi terlihat ragu untuk menjalankan taksinya.
Melihat Kailla yang tetap tidak menganggap keberadaannya, ditambah kebingungan sang sopir, akhirnya Pram memilih mengalah. Ia langsung masuk, duduk di sebelah Kailla dan menutup pintu taksi.
“Jalan saja, Pak. Sesuai perintah Nona ini,” pinta Pram kepada sopir taksi.
Sopir taksi pun menjalankan mobilnya. Di dalam mobil, drama masih tetap berlangsung. Kailla memilih diam, duduk sejauh mungkin dari jangkauan Pram. Ia membuang pandangannya ke luar jendela, melihat pemandangan lampu jalan yang berderet rapi.
“Sudah dong, Kai,” bujuk Pram, masih menatap Kailla. Perlahan, ia bergeser duduk semakin mendekati Kailla. Mencoba meraih tubuh gadis itu agar mau mendekat padanya. Namun, Kailla mendorongnya dengan kuat, ditambah sebuah pukulan kencang di dada Pram.
“Aww! Sakit, Kai.” Pram mengeluh, merespons pukulan Kailla yang tiba-tiba. Sopir taksi yang mengintip dari kaca spion pun hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Untungnya istri di rumah dulu tidak sampai separah ini! Hehe ....”
“Kai ....” Kembali Pram memanggil. Kali ini ia memilih meraih tangan Kailla yang sedang menggenggam ponselnya. Lagi-lagi tangannya dihempas kasar.
Sepanjang perjalanan Pram terus membujuk Kailla, tetapi gadis itu tetap tidak mau merespons sama sekali.
“Stop di depan, Pak.” Tiba tiba Kailla memberi perintah kepada sopir taksi. Ia tidak bisa berlama-lama berada satu mobil dengan Pram. Semakin mendengar suara Pram, kekesalannya makin bertambah.
“Kai, ini masih lumayan jauh dari rumah. Apalagi ini sedang hujan, Kai,” ujar Pram bingung, berusaha mencegah.
“Taksinya buat Om saja, aku bisa cari taksi lain,” ucap Kailla sambil membuka pintu taksi dan berlari menuju halte bus yang ada di sisi kiri jalan. Terlihat ia menutup kepala dengan tas supaya tidak terlalu basah terkena kucuran air hujan.
“Ya Tuhan ... anak ini,” gumam Pram kesal.
Segera ia mengeluarkan uang seratus ribu rupiah dan menyerahkannya kepada sopir taksi.
“Ini Pak, kembaliannya untuk Bapak saja. Terima kasih,” ucap Pram singkat. Segera ia berlari keluar menyusul Kailla yang sudah berdiri di halte bus.
Baru saja berhasil menyusul, tetapi Kailla sudah menatapnya tajam.
“Stop, jaga jarak lima meter!” Kailla berkata sambil mengarahkan jari telujuknya ke arah Pram.
“Kai, Om kehujanan.” Pram berusaha membujuk gadis yang sedang dalam mode kesal maksimal.
“Aku bilang stop, kalau Om berani mendekat, aku akan keluar dari halte. Pilih aku yang kehujanan atau Om?” Kailla memberi penawaran.
Pram menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan karena basah terkena air hujan. Rintik hujan yang lumayan deras mengaburkan pandangannya. Berkali-kali ia harus mengusap wajahnya.
“Ya Tuhan ... Kailla. Om besok masih harus bekerja. Ayo dong, berhenti mengambek seperti anak kecil.” Pram berkata sambil berteriak karena suara hujan yang lumayan berisik.
Namun Kailla tetap bergeming, melihat pun tidak. Ia membiarkan Pram kehujanan. Pram, pria itu hanya bisa bersabar. Kalau ia memaksa Kailla saat ini, ia yakin gadis itu rela kebasahan demi menghindarinya.
Tiga puluh menit berlalu, hujan pun mulai mereda. Pram masih berdiri menatap Kailla yang duduk di halte sambil memainkan ponselnya. Tubuh Pram pun mulai kedinginan. Berlama-lama dalam keadaan basah seperti ini, bukan tidak mungkin besok ia terancam tidak bisa ke kantor. Akhirnya Pram mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghubungi asistennya.
“Dave, tolong ambil mobil di apartemenku. Kunci mobil ada di laci lemari samping pintu masuk. Kode 214365.” Pram memberi perintah.
“Ya, Pak. Mobil yang mana, Pak?” David balik bertanya.
“Terserah, yang mana saja. Bawa ke sini, sebentar ... aku lihat dulu ini alamatnya di mana,” ujar Pram. Matanya sibuk mencari plang jalan.
“Oh, ya. Jalan Cendrawasih 5, tepatnya di Halte Cendrawasih. Dan tolong ambil baju dan celana ganti di lemari kamarku. Bawa sekalian ke sini juga. Tiga puluh menit, tidak pakai lama.” Pram mematikan teleponnya sambil menatap Kailla kembali.
***
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Siti Sarfiah
kalau pram sakit baru kailla sadar
2022-10-28
0
Dian Min Young
sama aku aja om pram
janji aku gk jengkelin kek kaila 😁
2022-09-26
0
Nur Lizza
semangat pram
2022-09-16
0