Jingga mulai terbiasa dengan pekerjaan barunya mengurus pasien dengan kondisi koma, ia sudah lebih sigap lagi mengurus apa yang diperlukan suaminya itu.
"Sreeett!" tiba-tiba pintu kamar rawat Kovu terbuka dan tante Miranda muncul dari balik pintu. Jingga beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri 'majikannya' itu.
"Duduklah di sana!" perintah tante Miranda. Tanpa banyak bertanya, Jingga langsung duduk di sofa yang di maksud oleh tante Miranda. Salah satu pengawal tante Miranda yang membawa amplop berwarna cokelat dan berukuran agak besar mengeluarkan beberapa lembar kertas lalu menaruhnya di meja yang berada di hadapan Jingga.
"Apa ini?" tanya Jingga polos.
"Surat pemindahan aset perusahaan!" jawab tante Miranda. Jingga tersentak, ia merasa sedikit ketakutan kalau sudah menyangkut masalah perusahaan.
"Untuk apa?" tanya Jingga lagi. Tante Miranda melemparkan tatapan tajam kepada Jingga membuat jantung Jingga terasa seperti tertusuk.
"Kamu hanya perlu mengikuti apa yang kuperintahkan!" ucap tante Miranda. Jingga menatap curiga.
"Aku pasti akan memikirkan yang terbaik untuk keponakan yang paling kusayang!" lanjutnya. Tante Miranda berusaha untuk meyakinkan Jingga kalau apa yang dilakukannya itu adalah hal yang baik.
"Lagipula pemindahan aset ini hanya sementara, selama Kovu belum sadarkan diri, kalau suatu saat nanti Kovu tersadar, dia bisa mengambilnya kembali!" terang tante Miranda. Meskipun masih merasa ragu, tapi Jingga sedikit lega mendengar kalau aset itu bisa diambil Kovu kembali, karena ia tidak ingin membuat masalah untuk suaminya itu di masa yang akan datang..
Jingga mengambil pena yang telah disediakan oleh pengawal tante Miranda dan menandatangani surat perintah pemindahan aset itu tanpa membaca isinya kembali.
"Sudah!" seru Jingga sambil menyerahkan dokumen-dokumen itu kepada tante Miranda.
"Terima kasih!" ucap tante Miranda pelan sambil tersenyum getir. Tante Miranda meninggalkan kamar itu begitu saja setelah urusannya dengan Jingga selesai, ia bahkan tidak menjenguk atau melihat keadaan Kovu terlebih dahulu.
Jingga kembali duduk di samping ranjang suaminya untuk kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan tubuh suaminya.
"Aku merasa tantemu itu sedikit aneh!" ungkap Jingga pada Kovu.
"Kadang dia bisa terlihat sangat baik kepadamu, tapi kadang dia terlihat sangat cuek bahkan sama sekali tidak peduli padamu," lanjutnya.
"Seperti tadi!" tambah Jingga. Ia memperhatikan jari-jari tangan Kovu yang terlihat sangat maskulin. Jingga mengagumi jari-jari suaminya itu.
"Sepertinya bergandengan dengan jari-jari ini, jari-jariku akan terasa hangat!" kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Jingga.
"Astaga Jingga!!!" serunya, Jingga terkejut dengan apa yang ia ucapkan sendiri.
"Aku mulai tidak sadar diri!" makinya.
"Kalau bukan karena perjanjian konyol, orang seperti ini tidak akan pernah menjadi suamimu, Jingga!" ucap Jingga memperingatkan dirinya sendiri.
Jingga menghela nafasnya perlahan untuk menenangkan dirinya, tiba-tiba matanya tertarik pada kuku-kuku jari tangan Kovu yang terlihat sudah sedikit panjang.
"Sepertinya kukumu harus dirapikan, kamu harus tetap hidup dengan bersih walaupun kamu tidak bisa melihat atau merasakannya!" Jingga terus saja mengajak Kovu mengobrol walaupun Kovu tidak memberikan respon apa-apa karena hanya Kovu uang bisa ia ajak bicara. Jingga mengambil alat pemotong kuku dan mulai merapikan kuku-kuku tangan suaminya itu. Jingga berhati-hati ketika merapikan kuku-kuku Kovu, tapi pada saat hendak merapikan kuku jari manis tangan kanan suaminya itu, pandangannya teralihkan oleh cincin kawin yang melingkar di sana.
"Srreet!!" Jingga melakukan kecerobohan, tidak sengaja ia melukai jari manis tangan Kovu dengan alat pemotong kuku yang sedari tadi ia gunakan, hingga membuat Kovu menarik tangannya.
"Maaf! Maaf! Aku tidak sengaja!" Jingga merasa bersalah karena membuat jari Kovu terluka, buru-buru Jingga mengambil plester luka dan hendak menempelkannya di jari Kovu yang terluka itu, tapi...
"HAH?!" Jingga terkejut, ia berjalan mundur beberapa langkah. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang. Jingga mencoba melangkah maju dan mendekati Kovu lagi.
"Ta.. Tangannya bergerak!" gumam Jingga dengan suara yang bergetar. Ia menyadari kalau tangan Kovu bergerak ketika Jingga melukainya dengan pemotong kuku tadi.
"Tangannya bergerak!" ulangnya.
"Suster!!" serunya sambil berlari keluar ruangan untuk menemui para perawat yang sedang berjaga.
"Suster! Suster!" panggilnya, ia terlihat sangat panik.
"Ada apa nyonya Jingga?" tanya Putri, perawat yang kebetulan saat itu sedang bertugas.
"Tangannya! Tangannya sus!" seru Jingga.
"Iya, nyonya! Ada apa dengan tangannya?" tanya Putri.
"Tangannya bergerak!" ucap Jingga akhirnya.
"Tangannya bergerak?" gumam Putri bingung.
"Tangan bapak Kovu bergerak!" Jingga memperjelas ucapannya. Putri tersentak.
"Akan segera saya panggilkan dokter untuk memeriksa tuan Kovu!" serunya.
Tak lama kemudian dokter yang biasa menangani Kovu datang dan mereka langsung menuju kamar rawat Kovu.
"Apa yang terjadi, nyonya?" tanya dokter.
"Tadi saya memotong kuku tangan kanannya dan tidak sengaja melukai jarinya, lalu dia menarik tangannya, dok!" terang Jingga. Ia masih terlihat panik.
"Lihat itu tangannya, dok! Sebelumnya posisi tangannya lurus!" seru Jingga.
"Baik, saya periksa keadaan tuan Kovu terlebih dahulu ya, nyonya!" ucap dokter. Jingga menggeser tubuhnya untuk memberi ruang kepada dokter agar bisa memeriksa keadaan Kovu. Dokter melakukan sesuatu untuk merangsang respon tubuh Kovu.
"Tuan Kovu, apa anda bisa mendengar saya?" tanya dokter kepada Kovu. Tidak ada respon dari Kovu. Jantung Jingga berdebar kencang, matanya terus memperhatikan apa yang dokter lakukan kepada suaminya.
"Anda yakin tuan Kovu tadi memberikan respon, nyonya?" tanya dokter.
"Ya, dok! Saya bersumpah, tadi bapak Kovu menarik tangannya yang terluka!" jawab Jingga.
"Bapak Kovu?" gumam dokter, ia merasa sedikit janggal mendengar seorang istri memanggil suaminya dengan panggilan 'bapak', tapi Jingga tidak menyadarinya.
Dokter mencoba kembali memeriksa tubuh dan merangsang respon Kovu tapi tetap saja Kovu tidak memberikan respon. Dokter menghela nafas perlahan.
"Maaf nyonya, tapi tuan Kovu tidak memberikan respon sama sekali." ucap dokter.
"Ta.. tapi tadi.. Saya benar-benar melihat tangannya bergerak, dok!" tukas Jingga. Dokter memperhatikan Jingga, ia mengerti kalau Jingga tidak berbohong.
"Ini bisa menjadi pertanda yang baik, nyonya!" ucap dokter.
"Mungkin kali ini hanya satu kali tuan Kovu menggerakkan anggota tubuhnya, bisa jadi kedepannya akan lebih sering lagi, dan tuan Kovu bisa segera siuman." lanjutnya.
"Kalau nanti tuan Kovu menggerakkan anggota tubuh lainnya, nyonya bisa memanggil saya lagi untuk memeriksakan kondisi tuan Kovu." tambah dokter. Jingga menganggukkan kepalanya pelan.
Jingga kembali duduk di kursinya semula dan hendak membalut jari tangan Kovu yang terluka dengan plester luka.
"Aku yakin sekali kalau tangannya tadi bergerak!" gumam Jingga. Jingga menekan luka pada jari Kovu, seketika Kovu menarik jari tangannya itu dan menyembunyikannya dalam kepalan tangannya.
"Kamu bergerak lagi! Kamu mau mempermainkan aku?!" gerutu Jingga.
"Kamu siapa?" Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar samar-samar. Jingga menoleh ke arah sumber suara itu dan...
"BRAAK!" Jingga terjatuh dari kursinya.
"Ka.. kamu!" seru Jingga. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments