"Udah ih, jangan dibelai terus! Lama-lama bunting tuh si Aya."
Izal tertawa, ia pun melempar asal kanebo nya ke teras rumah. "Emang lagi bunting. Lo gak liat nih!" Izal menepuk tangki motornya yang bernama Aya itu, "Udah tujuh bulan," candanya yang hanya diberi putaran bola mata oleh Ara.
"Gila lo. Ayok berangkat!" Ara memakai helm nya dengan ekspresi kesal. "Lo tuh apa gak pengen gitu jemput si Irin. Gue kan padahal bisa berangkat sama Tama."
"Males, jauh. Lagian kasian Tama nya bulak-balik kalo jemput lo. Dia juga bakal males, kaya gue."
Ara mendengus. "Tama gak kaya lo. Dia pasti sukarela mau jemput gue."
"Halah, percaya lo? Cowok itu semuanya modus."
"Yah biarin sih. Orang dia pacar gue."
Izal naik ke atas motornya, "Jadi lo ngasih lampu hijau buat dia apa-apain lo?"
"Yah gak gitu juga kali. Maksud gue, kalo dia pengen jemput gue biar bisa deket sama gue yah gak papa. Gue juga seneng," gadis yang baru saja memukul punggung Izal itu pun naik ke jok belakang motor sahabatnya.
"Yah tapi kalo lo kasih lampu hijau terus, nanti dia makin modus parah sama lo."
"Misalnya gimana sih? Kurang ngerti deh gue sama jalan pikiran cowok."
Izal yang sudah menyalakan motornya itu pun melaju perlahan. "Lo udah berapa lama sih sama si Tama?"
"Dua bulan lebih."
"Udah ngapain aja?"
Lagi-lagi Izal mendapat pukulan keras di punggungnya, tapi ia bahkan tidak mengaduh sama sekali, "Ngapain nanyain itu sih? Privasi gue."
"Kok lo marah sih? Gue kan cuma nanya. Kalo respon lo gini, gue jadi berprasangka buruk."
"Please deh, Jal. Lo pikir gue ngapain aja? Lo kaya baru kenal gue kemarin," oke, Ara mulai kesal. Sebelum Ara lebih marah dan minta untuk diturunkan di tengah jalan, Izal memilih untuk mengalah.
"Iyah, maaf. Lo kan nanya misalnya gimana."
"Yah tapi jawaban lo gak nyambung tau. Lo kaya ngerendahin gue."
"Sumpah, gue gak pernah bermaksud gitu, Ra," Izal panik sendiri sekarang. Bagaimana bisa Ara berpikir seperti itu. Sungguh, Izal tidak berpikir buruk apapun tentang Ara. Ia hanya memikirkan Tama yang bisa saja memanfaatkan kepolosan sahabatnya ini.
"Iyah, gue tau. Lagian gue pacaran paling cuma pegangan tangan sama..... pelukan. Itu pun gak setiap ketemu, masih keitung pake jari. Gue masih risih aja kalo pegang-pegangan sama cowok selain Ayah, Bang Yudit sama lo."
Izal tersenyum dibalik helm nya. Meski hatinya terasa panas saat mendengar awal-awal ucapan Ara. Namun kalimat diakhir membuat hatinya kembali menghangat.
"Yaudah, lo harus terus hati-hati pokoknya sama cowok. Meskipun si Tama itu keliatannya alim, pendiem, kutu buku, tapi siapa yang tau isi pikirannya, kan?!"
"Iyah."
"Kalo ada apa-apa, bilang gue yah, Ra!"
"Iyah."
"Kalo Tama macem-macem, langsung lapor gue, Ra!"
"Iyah."
"Kalo lo butuh apapun, bilang gue!"
"Iyah, Izaaaal. Astaga, kadang gue tuh nyesel punya sahabat mesum kaya lo, tapi kadang juga gue ngerasa beruntung banget," Izal menahan nafas saat Ara memeluknya dari belakang, "Lo tuh sahabat yang baik."
Sahabat
Izal tersenyum miris.
Persetan dengan status sialan itu. Ara adalah jodohnya. Anggap saja, sekarang Ara sedang dipinjam oleh orang lain. Namun meski begitu, tetap Izal yang selalu di sisi gadis itu, tidak ada yang bisa menggantikannya sekalipun sosok itu berstatus pacar.
Titik.
***
"Kamu ini, mau jadi preman pasar, hah?"
"Aduuh aduuhh, atitt paakk atiitt."
"Hahaha, syukurin. Gue bilang juga apa! Tarik aja kupingnya sampe lepas pak. Saya sebagai sahabatnya ikhlas lahir batin, hahaha," Veron dan beberapa sahabat Milo tertawa keras melihat lelaki itu menderita di tangan guru BK nya.
"Kenapa gak sekalian di lidah, hah?"
"Nanti gak bisa makan, pak."
"Malah jawab lagi."
"Kan bapak nanya, aww atitt paakk," Milo terus mengaduh kesakitan. Rasanya telingannya benar-benar akan putus.
"Keliling lapangan lima puluh kali!"
"HAH? BAPAK MAU BUNUH SAYA APA?"
"LEBAY KAMU."
"HAHAHAHA," Sahabat sosok lelaki itu pun kembali tertawa keras bahkan sambil memegangi perutnya.
"KALIAN GAK USAH KETAWA!" bentaknya yang sekejap membuat total enam orang lelaki itu pun menghentikan tawanya.
Pak Rapri melepas jewerannya dari telinga Milo yang entah sudah semerah apa.
Milo pun menggosok-gosok telinganya berharap rasa nyeri itu menghilang. Lalu pandangannya jatuh pada guru yang selalu saja memberinya hukuman itu yang sekarang sedang menghadap ke arah enam kawannya.
"Kalian udah seribu kali Bapak bilang—"
"LEBAY!"
"HEH," Bentaknya lagi pada ketujuh siswa kurangajarnya itu. Tapi Pak Rapri kan memang lebay. Mana ada seribu kali, bisa-bisa mulutnya berbusa.
"Peace, Pak," kata mereka serempak sambil mengangkat kedua jarinya dan cengiran lebar menghiasi masing-masing paras tampan mempesona itu.
"KALO SAYA SEDANG BICARA ITU DIDENGARKAN!"
"Bapak kaya pacar saya aja, kalo ngomong pengennya didengerin," keluh Jack, membuat keenam sahabatnya menahan tawa dan Pak Rapri memasang wajah garang.
"KAMU INI—"
"Ganteng."
"Hahahahaha," tawa mereka meledak ketika tanpa takut Jack melanjutkan ucapan guru BK itu.
Pak Rapri geleng-geleng kepala. Ia sudah lelah menghadapi ke tujuh kurcaci jangkung di hadapannya itu. Rambutnya bahkan rontok-rontok usai berhadapan dengan mereka. Tak heran jika kepalanya sudah banyak botak juga beruban. Demi apapun ini karena ketujuh siswa ajaibnya.
"KALIAN SEMUA KELILING LAPANGAN!"
"Berapa kali Pak?" Rasanya sisa dari mereka yang tak membuka suara itu ingin sekali megeroyok Gio yang bertanya polos seperti itu.
"SEBANYAK UBAN BAPAK YANG DISEBABIN SAMA KALIAN!"
"WHAT?"
***
"Si Raper gila, sumpah," keluh Jack yang kini mencoba menyamai larinya dengan Izal yang memang berlari paling depan. "Rambut dia kan uban semua. Dasar gak tau diri, udah tua juga," keluhnya lagi yang dibalas kekehan oleh Izal.
Total tujuh orang yang kini sedang berlari di pinggir lapangan basket dan mengelilingi lapangan luas itu pun menjadi tontonan gratis bagi para siswi yang berdiri di setiap koridor. Bahkan, mereka rela membuang waktu istirahatnya untuk sekedar memperhatikan bulir keringat yang berjatuhan dari ketujuh kurcaci tampan itu.
"IJAAAL."
Suara itu. Kurang dari sedetik, diantara kerumunan orang yang memenuhi koridor, saat Izal menoleh, Izal langsung menemukan sosok yang meneriakan namanya disana, terlihat sedang berdiri dengan kedua tangan bertengger di sisi pinggangnya dan menggelengkan kepala.
Izal berlari lebih cepat agar dirinya segera sampai di hadapan Ara meskipun tetap dibatasi oleh pagar pembatas lapangan. "Kenapa dihukum?" Tanya Ara galak.
"Biasa," jawab Izal sembari berlari di tempatnya agar tidak diomeli oleh Pak Rapri yang masih memperhatikan.
"Kenapa?" Tanya Ara menuntut.
"Ketauan ngerokok."
"Ish, lo tuh," Ara gemas. Rasanya ingin mencubit keras pinggang Izal yang tidak pernah mendengarkannya. "Berapa puteran?"
"Lima puluh."
"HAH? GILA," kagetnya dengan kedua mata membulat, membuat Izal terkekeh karena ekspresi menggemaskan itu. "Si Rapri gak mikir apa kalo cape," bisiknya kemudian, takut guru itu mendengar, bisa-bisa Ara disuruh ikut berlari.
"Gak papa lah. Biar sehat."
"Udah berapa puteran?"
"Tiga puluan."
"Yaudah, semangat yah. Nanti gue beliin minum."
"Haha, tumben."
"Kasian gue sama lo."
"Yaudah. Gue mau lari lagi. Dipelototin tuh."
Ara pun mengangguk. Izal kembali berlari. Entahlah, rasanya ia semakin semangat. Mungkin karena Ara menyemangatinya juga akan membelikannya minum.
"Kenapa lo senyam senyum begitu?" Revin yang kini berlari di sampingnya bertanya penasaran.
"Biasalah, Ara," Veron yang menjawab, yang berlari di sebelah kiri Izal. Revin hanya mengangguk mengerti.
"Abang lelaaahh."
Keenam orang itu memutar bola matanya. Siapa lagi kalau bukan Milo yang berteriak alay seperti itu.
"NAJIS," kata keenamnya bersamaan, yang dibalas kerucutan bibir manja dari sosok Milo.
"Sumpah dah, gue capek."
"Kata guru ngaji gue gak boleh ngeluh," Fatih menyela, sontak keenam orang yang mendengar itu malah mendengus.
"Coba suruh guru ngaji lo lari keliling lapangan lima puluh kali. Kalo dia gak ngeluh, gue ikhlas kasih semua ayam cabe-cabean gue buat dia."
"Haha, ayam cabe-cabean lo masih pada idup, Ver?" kekeh Gio. Seingatnya beberapa hari lalu Veron meng-upload kematian pitik berwarnanya itu.
"Si Selena doang gak panjang umur. Yang lain masih sehat wal afiat kok. Makanya yah Fat, salamin tuh ke guru ngaji lo!" Sungguh bukan maksud menghina guru ngaji Fatih, sekarang Veron hanya kesal dan kelelahan.
Dan Fatih pun menjawab dengan polosnya, "Ok. Nanti gue salamin."
"Punya temen geblek semua," keluh Izal yang kemudian berlari cepat meninggalkan teman-temannya itu. Sesekali matanya melirik Ara yang masih memperhatikannya dari pinggir lapangan.
"IZAAL."
Izal melirik ke arah koridor. Ia sempat kesusahan mencari sosok yang meneriakan namanya itu. Berbeda dengan sebelumnya karena kini yang ia dengar suara Airin, kekasihnya, bukan Ara.
"IZAAL DISINI!" Teriakan itu membuat Izal mengedarkan pandangannya. Akhirnya ia menemukan sosok yang kini tengah melambaikan tangan ke arahnya. Izal pun berlari malas menghampirinya.
"Kamu kenapa disuruh lari?" Tanyanya dengan nada manja... yang tidak Izal sukai.
"Biasa. Gue mau lari dulu. Lima puteran lagi."
"Yaudah, aku beliin—"
Seakan tau apa yang akan dikatakan, Izal pun menyela. "Gausah," lalu melirik ke arah Ara, dan tiba-tiba semangatnya benar-benar menghilang. "Yaudah. Air putih aja," ujarnya lemas.
Gadis itu pun mengangguk. Izal kembali melanjutkan larinya, matanya melirik ke arah gadis yang kini tubuh mungilnya tertutupi oleh tubuh seorang lelaki yang sangat Izal tau itu siapa.
Izal mengesah pelan. "Bro, lupain lah! Ara udah sama Tama. Kapan lo mau terima kenyataan?"
Andaikan gue bisa terima kenyataan.
"Ngomong apa sih, lo, Ver?"
Veron hanya menggelangkan kepala sambil menatap punggung Izal yang sosoknya kembali berlari. Atau lebih tepatnya, lari dari kenyataan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Fer🍒
susah ya zal suka sama sahabat sendiri, apalagi sahabatnya udah punya pacar.
2023-06-18
0