Alia menuju salah satu kota kecil yang rasanya cukup aman untuk dirinya dan janin yang ada dalam kandungannya. Biarlah ia akan menjaga dan merawat janin itu dengan sepenuh hati. Walau tanpa seorang suami yang mendampingi.
Setibanya di kota kecil itu, Alia mencari kontrakan untuk ia tempati. Banyak tempat yang ia temui, namun, alasan yang ia kemukakan membuat para pemilik kontrakan tak berani menampungnya, karena Alia yang sedang hamil, tetapi tak mempunyai buku nikah, meskipun hanya kertas sehelai, sebagai tanda bahwa anak yang di kandungnya bukanlah hasil zinaa.
"Bu, saya minta tolong. Percayalah, saya bukan wanita nakal. Sungguh saya hanya sebagai korban pemerkosaann," jelas Alia kepada pemilik kontrakan.
"Jika kamu sebagai korban, kenapa kamu tidak melaporkan kasus ini ke kantor polisi?" tanya wanita itu menatap curiga.
"Bu, saya sulit untuk menjelaskan. Ini tak semudah yang Ibu bayangkan," jawabannya.
"Maaf, saya tidak berani mengambil resiko. Lebih baik kamu cari saja kontrakkan yang lalu," tolak wanita baya itu dengan tegas.
Alia hanya menghela nafas dalam, kemana lagi ia harus mencari tempat tinggal? Ternyata ini benar-benar menyulitkan dirinya.
Alia duduk disebuah halte, kakinya terasa sangat penat setelah melakukan perjalanan cukup jauh. Alia menatap anak-anak jalanan yang sedang mencari rezeki di perampatan lampu merah.
Seketika hatinya menjadi ngilu. Apakah nanti nasib anaknya akan sama seperti mereka? Mengingat begitu sulitnya tak mempunyai identitas yang jelas.
Kembali wanita hamil itu menghela nafas berat, dadanya terasa sesak, air mata kembali jatuh berderai.
"Anak Ibu jangan sedih ya, kita pasti bisa melewati ini semua. Kamu harus temani Ibu, karena hanya kamu yang ibu punya saat ini."
Ali membawa janinnya bicara sembari mengusap perutnya dengan lembut. Perlahan ia menghapus sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk mata. Ia harus kuat dan tegar demi buah hatinya.
"Aku tidak boleh cengeng, aku harus kuat. Ya, ini semua demi anakku."
Alia memanggil salah satu anak jalanan yang sedang mengemen. Anak itu tampak senang saat Alia memberi sedikit uang untuk anak itu.
"Terimakasih ya, Kak," ucap anak itu tersenyum senang.
"Iya, sama-sama. Kamu tinggal dimana?" tanya Alia pada anak perempuan yang di perkirakan berumur delapan tahunan.
"Aku tinggal di perkampungan kumuh," jawabnya dengan polos.
"Perkampungan kumuh?" ulang Alia pemasaran dengan nama kampung itu.
"Benar, Kak."
"Kenapa dinamakan kampung kumuh, Dek?" tanya Alia masih penasaran.
"Karena disana ada tempat pembuangan sampah, Kak. Jadi warga sekitaran mata pencariannya mulung," jelas bocah itu kembali.
"Oh, apakah disana ada rumah kontrakan?" tanya Alia, ia rasa disana mungkin tak begitu menghiraukan tentang status.
"Ada, Kak. Tapi cuma rumah papan."
"Tidak masalah, apakah kamu mau temani kakak kesana?" tanya Alia pada anak itu.
"Baiklah, tapi kenapa Kakak mau tinggal disana? Bukankah kakak orang kaya?" tanyanya dengan wajah bingung.
"Bukan, Kakak bukan orang kaya. Tapi, Kakak lagi cari tempat tinggal. Dan Kakak rasa disana pasti sewanya lebih murah. Jadi, sangat cocok dengan keuangan Kakak," jelas Alia dengan serius.
"Baiklah, ayo ikut aku, Kak," bocah kecil itu berjalan mendahului Alia.
Dengan menaiki angkot, mereka sampai di sebuah perkampungan kecil yang rata-rata pencarian mereka adalah mulung di beberapa tempat pembuangan sampah Pemda.
Alia masih mengikuti langkah kaki anak kecil yang membawanya ke sebuah rumah sederhana, di belakang rumah itu terlihat beberapa petak rumah yang terbuat dari kayu, lantainya terbuat dari semen kasar.
Anak kecil itu mengetuk pintu rumah itu sembari memanggil yang punya.
"Mak Ijah! Mak!" Panggil bocah kecil itu.
"Ada apa, Reva?" tanya wanita baya pemilik rumah.
"Ini, Mak, ada orang yang ingin mencari rumah kontrakan," ucap bocah yang bernama Reva.
"Siang, Bu, saya Alia," ucap gadis itu memperkenalkan diri pada pemilik rumah.
"Ya, perkenalkan, nama Ibu Ijah," jawab wanita baya itu.
"Benaran, Nak Alia ingin cari rumah kontrakan? Tapi disini rumahnya tidak bagus," jelasnya.
"Ah, benar sekali, Bu. Apakah saya bisa ngontrak disini?" tanyanya penuh harap.
"Boleh, kebetulan masih ada kontrakan yang kosong satu lagi."
"Alhamdulillah, tapi Bu..." Ucap Alia menggantung.
"Tapi apa, Nak Alia?" tanya wanita baya itu heran.
"Saat ini saya sedang hamil, dan saya tidak mempunyai suami lagi," ucapnya dengan jujur.
"Loh, suaminya kemana?"
Lama Alia terdiam saat pertanyaan itu dilontarkan. "S-suami saya sudah meninggal, Bu," jawab Alia dengan gugup.
"Oh, meninggal. Tapi kamu punya kartu keluarga dan buku nikah kan? Soalnya nanti biar warga tidak berpikiran yang bukan-bukan," jelas Bu Ijah.
"Bu, apakah saya boleh minta tolong sama Ibu?" tanya Alia sangat berharap.
"Apa itu?"
"Tolong bantu saya, Bu, semua indentitas pernikahan saya tertinggal di kota. Saya pergi dari rumah karena saya ada masalah dengan keluarga suami. Saya takut mereka akan mengambil anak yang ada di kandungan saya. Tolong, Bu, bantulah saya," ucap Alia memohon, jelas berbohong.
"Bagaimana ya, Nak Alia?" wanita itu nampak bimbang.
"Saya mohon, Bu." Alia masih memohon.
"Baiklah, nanti Ibu akan katakan bahwa kamu adalah keluarga ibu dari kampung ya. Nanti biar Ibu yang menjelaskan pada mereka."
"Alhamdulillah ya Allah..." Alia sangat bersyukur sekali atas bantuan Ibu pemilik kontrakan.
"Terimakasih banyak ya, Bu," ucap Alia menggengam tangan wanita baya itu.
"Iya, sama-sama. Sekarang ayo Ibu tunjukkan rumahnya." Ibu itu membawa Alia ke rumah petakan yang ada di belakang rumahnya.
Terlihat ada empat petak rumah. Alia menempati yang bagian tengah. Selebihnya sudah terisi oleh orang berkeluarga. Bu Ijah memperkenalkan kehadiran Alia pada penghuni yang disana.
Mereka menyambut dengan senyum ramah. Alia kembali bersyukur karena dapat diterima dengan baik oleh mereka. Sekarang ia tak perlu risau, karena orang telah tahu tentang kehamilannya.
Malam ini Alia tidur dengan alas tidur seadanya. Ia termenung seorang diri menatap langit-langit rumah yang terbuat dari triplek. Sesaat wajah sang ayah terbayang di pelupuk mata. Rasa rindu hadir menyelimuti hati,
"Sekarang hanya kamu yang Ibu punya, Nak, kamu temani ibu selalu ya. Ibu akan menjaga dan merawatmu dengan baik," lirih Alia sembari mengusap perut datarnya.
Sesaat pikirannya tertuju pada Dokter itu. Apa kabarnya dia? Apakah sudah bahagia sekarang dengan kepergiannya? apakah dia sedang mentertawakan kebodohannya yang masih saja mempertahankan janin itu?
"Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memaafkan dirimu Hanan! Mungkin sekarang kau bisa bahagia karena telah berhasil membuatku menderita. Tapi, ingatlah, ada hukuman Tuhan yang engkau lupakan. Sebelum aku mengikhlaskan dan memaafkan, maka seumur hidup kau tak akan bahagia," gumam wanita itu dengan lelehan air mata saat mengingat betapa jahatnya lelaki itu.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Tjutjun Bambang
semoga Alia kuat dan tabah
2023-11-28
1
Tjutjun Bambang
bagus Alia hrs ttp semangat dan brtobat pasti Allah akan mmberi jlnNya
2023-11-28
0
Lira firna S
benar kesucian harus ada
2023-11-19
0