Alia masih terdiam sepi di dalam kamar mandi sembari menatap benda pipih yang ada di tangannya. Dengan air mata yang sedari tadi sudah jatuh berderai.
Sekarang apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus meminta tanggung jawab pada Dokter itu? Tapi, bagaimana jika dia menolak?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dalam otaknya. Namun, tak ada lagi jalan lain selain meminta pertanggungjawaban dari lelaki itu. Alia menghapus air matanya.
"Tidak, aku tidak boleh menangis lagi. Aku harus kuat. Bagaimanapun juga dia harus bertanggung jawab atas janin ini." Alia berusaha menguatkan hatinya agar tak gila memikirkan masalah yang sedang menimpa dirinya.
Gadis itu segera mengemas kembali benda penguji kehamilan itu. Ia kembali masuk kedalam kamar, meskipun ia berusaha baik-baik saja, namun tak bisa dipungkiri bahwa hatinya sedang risau.
Malam ini ia tak bisa memejamkan mata, tak sabar menunggu pagi agar semuanya jelas. Ia tak bisa mendiamkan hal ini. Secepatnya Dokter itu harus bertanggung jawab atas kehamilannya.
Alia menatap langit-langit kamarnya, pikirannya merewang entah kemana. Banyak sekali andai-andai bermunculan dalam benaknya.
Andai lelaki itu tak mau bertanggung jawab? Andai Ayah tahu tentang kehamilannya? Andai semua orang membenci dirinya? Ah, rasanya ia tak dapat membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi.
Pagi-pagi sekali Alia sudah bangun, ia harus segera bertemu dengan Dokter itu. Ia harus mendapatkan kepastian agar aib ini tak menjadi petaka dalam hidupnya.
"Mau kemana kamu pagi-pagi seperti ini?" tanya ibu tirinya menatap heran.
"Ah, aku ada perlu sebentar, pamit ya, Bu." Alia segera memacu kendaraannya menuju kediaman Dokter itu.
Setibanya disana, mungkin ini terlalu pagi maka rumah mewah yang dihuni beberapa Dokter itu masih terlihat sepi dan tertutup.
Alia harus menunggu terlebih dahulu. Seandainya saja janin itu tak bersarang di rahimnya, maka ia tidak akan pernah mau bertemu lagi dengannya.
Cukup lama ia duduk gelisah di teras rumah itu. Hingga satu persatu penghuninya keluar.
"Eh, Alia! Tumben pagi-pagi sekali sudah disini?" tanya salah seorang Dokter yang ingin berangkat tugas.
"Ah, i-iya, Dok. Mau ambil pakaian," jawabnya berbohong.
"Oh, tapi kata Umi, kamu sudah tak kerja disana lagi?"
"Kemaren i-iya, Dok, tapi sekarang balik lagi." Gadis itu masih berbohong. Tak mungkin ia harus mengatakan yang sebenarnya.
"Oh, baiklah, ambil saja di tempat biasanya ya. Kalau begitu saya pamit dulu."
"Baik, Dok." Alia masih berdiri disana. Ia ragu untuk masuk kedalam karena masih ada beberapa orang lagi yang belum berangkat tugas. Ia sudah hafal jadwal praktek dokter-dokter itu, hanya dokter Hanan yang bertugas sore.
Alia memutuskan untuk menunggu para penghuni itu pergi terlebih dahulu, ia juga harus menjaga nama baik lelaki itu.
Cukup lama juga menunggu hingga kini yang tersisa hanya Dokter kandungan itu disana. Alia segera masuk menuju kamar yang masih menyimpan kenangan buruk dalam hidupnya.
Dengan ragu dan rasa takut ia mengetuk pintu kamar itu. Tubuhnya masih gemetaran mengingat akan bertemu sang dokter.
"Alia!" ucap Hanan saat mendapati wanita itu.
"Dok, saya ingin bicara," jawabnya berusaha tenang. Alia berusaha menekan segala rasa yang sedang menghantuinya.
"Ayo kita bicara disana," ucap Hanan membawa Alia duduk di kursi panjang yang ada di teras belakang.
Gadis itu hanya mengangguk patuh mengikuti langkah Hanan menuju pintu belakang. Hanan menduduki kursi bagiannya, lalu mempersilahkan Alia untuk duduk di sampingnya.
"Duduklah!" ucapnya saat melihat gadis itu masih diam menunduk.
Dengan ragu Alia duduk, perasaannya kembali gugup dan takut. Namum, ia kembali mengingat ada nyawa yang harus ia selamatkan masa depannya.
"Kamu mau bicara apa?" tanya Hanan tampak tenang.
"Dok, saya ingin menagih janji Dokter waktu itu," ucap Alia, ia juga berusaha tenang.
"Ya, tapi tidak sekarang. Saya sekarang sedang banyak masalah, jadi sabarlah terlebih dahulu," jawab Hanan meminta pengertian gadis itu.
"Tapi saya tidak bisa menunggu, Dok. Saya ingin Dokter segera menikahi saya!" tegasnya memberanikan diri menatap wajah lelaki itu.
"Alia, saya tidak bisa secepat itu. Karena masih banyak yang harus saya pertimbangkan, dan saya..."
"Saya tidak peduli, Dok! Saya ingin Dokter bertanggung jawab!" tekan Alia menyorot tajam.
"Jangan memaksaku! Kamu tahu, ini tidak akan semudah itu!" sentak Hanan tak kalah kesal.
"Tapi, saya tidak bisa lagi menunggu, Dok, karena saat ini saya sedang hamil!"
Seketika Hanan terkesiap mendengar pernyataan gadis itu. "Apakah kamu sedang membohongi aku?" tanyanya tak percaya.
"Jangan menuduh saya seperti itu, jika bukan karena janin ini, maka saya tidak akan sudi menemuimu!" Hati wanita itu terasa sakit sekali dengan tuduhannya.
"Saya tidak bisa!" jawabnya kembali, tentu saja membuat Alia semakin meradang.
"Jangan menjadi lelaki pengecut, Dokter! Jangan lari dari tanggung jawabmu. setidaknya hingga anak ini lahir, saya hanya butuh pengakuanmu pada semua orang," lirih gadis itu, ia kembali menjatuhkan air mata memohon pengertian dari Hanan.
"Alia, untuk saat ini saya benar-benar tidak bisa! Kamu tenanglah, karena janin itu masih belum bernyawa, maka kita bisa mengeluarkannya," ucap Hanan yang mendapat tatapan tajam dari Alia.
"Tidak! Saya tidak akan pernah mau melakukan hal itu!" sentaknya dengan amarah menyala.
"Tidak ada jalan lain, ayo ikut aku sekarang keruang praktek!" Hanan meraih tangan Alia untuk membawa kedalam ruang prakteknya.
"Lepas, Dokter!"
PLAK!!
Alia menampar wajah lelaki itu dengan kuat. Dadanya terasa sesak, hati bagaikan ditoreh sembilu. Bagaimana mungkin dia tega ingin membunuh darah dagingnya sendiri. Ini benar-benar kenyataan yang menyakitkan.
"Jika kamu tidak mau bertanggung jawab, baiklah. Saya akan merawat dan membesarkannya sendiri. Tapi sampai kapanpun saya tidak akan pernah memaafkan kesalahanmu anda, Tuan Dokter yang terhormat! Bahkan rasa sakit ini akan saya semai dalam hati hingga nyawa terlepas dari raga!"
Alia segera beranjak meninggalkan tempat itu dengan membawa sejuta luka. Hatinya benar-benar telah hancur berkecai. Sakit sekali menahan beban yang rasanya begitu berat harus ia tanggung sendiri.
Alia menyusuri jalanan kompleks itu. Tetiba hujan turun di pagi yang tadi tampak cerah. Sepertinya semesta sangat tahu bahwa hatinya sekarang sedang dirundung duka yang begitu dalam.
Gadis malang itu menangis ditengah derasnya hujan. Ia benar-benar bingung harus berbuat apa untuk saat ini. Kemana ia akan mengadu?
"Hhhaaaahh!!! Kenapa aku harus menanggung beban ini ya Allah! Ini sangat berat bagiku ya Rabb... Hiks hiks..." Tangis wanita itu pecah bersama kilatan petir menyambar. Gadis terduduk di tengah genangan air hujan.
Bersambung...
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Hafifah Hafifah
kok dokter gitu sih.masak nyuruh orang gugurin kandungannya apalagi tuh darah dagingnya sendiri
2023-11-28
3
Tjutjun Bambang
hanan dokter biadab g punya hati
2023-11-28
0
Lira firna S
lelaki itu harus bertanggung jawap
2023-11-19
0