Beyond The Sea
"Apa keinginanmu?"
"Tidak sulit hanya ingin, mati?" Gadis itu terkekeh dengan ucapannya sendiri.
Seorang wanita berusia sekitar setengah abad didepannya memberikan sebuah tas pada gadis yang sudah dua jam ini duduk di atas sebuah jembatan.
"Apa ini?"
"Pergilah."
"Untuk apa hidupku juga sudah tidak ada gunanya lagi."
"Jangan berbicara seperti itu nanti Tuhan murka."
"Tuhan ya, Apakah dia menganggap ku makhluk ciptaannya? Kalau iya kenapa dia memberikanku cobaan sebegitu beratnya." Gadis itu tertawa miris dengan ucapannya sendiri.
"Percayalah di sana kamu akan menemukan kebahagiaanmu."
"Tidak semudah itu bahkan aku tidak memiliki apapun untuk-"
"Semoga membantu." Kemudian wanita itu pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
"Bagaimana mungkin?"
📌
"Apa maumu?" Gadis itu bertanya dengan tubuh yang gemetar.
"Everything in you." Lelaki didepannya menyeringai dengan kedua tangannya yang disimpan disaku celananya.
"Gila."
"But I'm crazy because of you. "
📌
"Stop touching me!"
"No no no, I will never stop."
📌
"Aku berharap kamu masuk neraka."
"Hell? Definitely, as long as it's with you."
"Your crazy bastard."
"Yes that's me dear."
+
+
INDONESIA
Muak
Perasaan itulah yang dirasakan oleh seorang gadis berusia 18 tahun dengan hidupnya. Dari matahari terbit hingga tengah malam seperti ini dia sama sekali belum bisa mengistirahatkan tubuhnya. Yang masuk kedalam perutnya pun hanya selembar roti dan sebotol air mineral.
"CEPAT JANGAN LELET!" Teriakan itu terdengar dari seorang pria paruh baya pemilik tempat ini yang berada tidak jauh dari tempat gadis itu berada. Edgar namanya.
Gadis itu pun bergegas menuruti perkataan pria itu karena hari ini dia tidak mau badannya menjadi sasaran lagi seperti sebelum-sebelumnya.
Tapi sepertinya kesialan tidak ada habisnya pada gadis itu, boks yang dibawanya terlempar karena kakinya yang tersandung hingga menyebabkan isinya berhamburan.
Dengan tubuh yang gemetar gadis itu merangkak untuk membereskan kekacauan yang telah dia lakukan. Saat tangan gadis itu terulur, sebuah kaki dengan balutan boots menginjak tangannya membuat gadis itu mengerang kesakitan.
"Akh Sa-sakit."
"DASAR TIDAK BECUS APA-APA INI HAH!" Edgar beralih menendang badan gadis itu hingga terpental cukup jauh saking kencangnya.
Merasa tidak puas pria tua berusia lebih dari lima puluh tahun itu kembali menghampiri si gadis dan menarik kerah baju yang gadis itu kenakan hingga berdiri kemudian mencekiknya.
Dengan wajah yang merah menahan sesak, tangan gadis itu terulur mencoba melepaskan cekikan dilehernya meskipun dia tahu bahwa itu percuma karena tenaganya yang tidak ada apa-apanya dibandingkan laki-laki didepannya.
Melihat gadis itu yang sepertinya akan kehilangan kesadaran, Edgar segera melepaskan tangannya kemudian membanting tubuh gadis itu pada tumpukan boks kosong di belakangnya.
"Bereskan semuanya sebelum saya kembali kalau tidak siap-siap saja." Edgar berlalu.
Dalam keadaan berbaring gadis itu masih terdiam belum beranjak posisinya dan hanya melihat keatas dengan nafas yang tidak beraturan bahkan tidak ada air mata yang keluar dari matanya.
Tak lama kemudian tanpa menghiraukan badannya yang terasa remuk gadis itu kembali merangkak dan dan mengumpulkan kembali ikan-ikan yang berserakan.
Entah kapan dia bisa terbebas dari tempat ini. Sudah puluhan kali dia mencoba kabur tetapi semuanya gagal, anak buah laki-laki itu selalu menemukannya dan berakhir badannya yang dipukuli oleh mereka.
Semua berawal dari pamannya yang meminjam uang pada pemilik tempat ini lalu pergi entah kemana, meninggalkan gadis itu sendirian yang ternyata sudah dijadikan jaminan.
Ketika bertanya berapa uang yang dipinjam pamannya. Gadis itu rasanya ingin hilang saja ketika mendengar nominalnya yaitu 500 juta. Dari mana uang itu dia dapatkan sedangkan uang untuk sekolah saja dia banting tulang untuk mendapatkannya.
Dan kemarin adalah puncaknya, dia terpaksa berhenti sekolah karena tunggakan uang semester yang belum dia bayar selama empat bulan. Berada disekolah pun perlakuan orang-orang terhadapnya tidak ada bedanya dengan laki-laki tadi.
Setiap hari dia mendapatkan rundungan entah itu dari teman seangkatannya atau kakak kelasnya. Guru-guru di sekolah pun tutup mata seolah kejadian itu tidak pernah terjadi. Orang yang punya uang selalu menjadi pemenang.
Gadis itu hanya hidup berdua dengan pamannya dari kecil. Bahkan dia tidak tahu bagaimana rupa orang tuanya. Ketika dia menanyakan hal itu pada pamannya hanya makian dan juga pukulan yang dia dapatkan. Sejak saat itulah gadis itu tidak pernah berani menanyakannya lagi.
"LILY!"
Mendengar suara itu membuat tubuh gadis bernama Lily itu kembali gemetar bahkan ikan yang sebelumnya berada ditangannya berhamburan lagi.
Kemudian dengan cepat Lily kembali berjongkok untuk mengumpulkan ikan kembali meskipun dengan tangan gemetaran, mencoba mengabaikan seseorang dibelakangnya.
"Heh co*li dipanggil tuh jawab!" pria muda dibelakang Lily menarik rambutnya hingga membuat kepalanya mendongak.
Melihat tatapan Lily yang terlihat berani menurutnya, membuat pemuda itu tidak suka dan menyeret tubuh Lily dengan menarik rambutnya hingga berada di tepi kolam ikan.
"Hari ini kita belum main Lily sayang," pemuda itu membelai wajah Lily yang terdapat banyak bekas luka.
"Sayang sekali wajah cantikmu terdapat banyak noda seperti ini, tapi biar lebih bagus ku tambahkan lagi."
Lily membuka mulutnya lalu segera menggigit jari pemuda itu yang berada di bibirnya.
"Arghhhh SIAL!" Lily menggigit jari itu dengan keras hingga nyaris putus bahkan di mulutnya juga terdapat banyak darah.
"SIALAN KAU JALANG!" Dengan murka pemuda itu meraih kembali rambut Lily dan membenturkannya ke tembok kolam ikan beberapa kali hingga darah dari kening Lily mengalir deras.
Tubuh Lily diangkat lalu kepalanya dimasukkan kedalam kolam ikan membuat Lily memberontak karena kehabisan nafas didalam air. Kaki Lily mencoba menendang pemuda itu dan percuma karena pemuda itu kini naik dan berjongkok di atas pembatas kolam.
Melihat Lily akan kehabisan nafas pemuda itu dengan cepat menarik kembali kepala gadis itu, membiarkannya bernafas sebentar pemuda itu kembali menenggelamkan kepalanya lalu mengangkatnya kembali hal itu dilakukan beberapa kali membuat gadis itu lemas kehabisan tenaga.
"Pedro," Edgar kembali dan menghentikan aksi pemuda yang bernama Pedro itu. "Berhenti main-main." Lanjutnya.
"Tapi paman aku belum puas bermain."
"BERHENTI SAYA BILANG!"
"Baik paman." Pemuda itu melepaskan Lily dengan melemparkannya.
"Kenapa belum beres hah?"
"Ma-maf paman." Hanya itu yang bisa diucapkan Lily bahkan untuk bangkit pun rasanya sangat sulit.
"Dasar tidak berguna." Pria tua itu kembali menendang perut Lily sebanyak tiga kali lalu pergi kembali meninggalkan gadis itu yang sedang meringis kesakitan.
Bahkan dari mulut Lily keluar darah saking kerasnya tendangan diperutnya, seperti biasa juga tidak ada air mata sedikitpun dari matanya.
Lily menelungkupkan badannya di atas lantai yang dingin dan juga basah dia sedang meratapi nasibnya bahkan dia sudah tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor.
Apakah Lily harus mencoba untuk bunuh diri lagi? Hal itu sudah beberapa kali dia coba tetapi selalu berakhir gagal karena ketika Lily akan melakukannya selalu ada suara seperti bisikan yang melarangnya untuk melakukan hal itu.
Dengan perlahan Lily bangkit untuk memasukkan kembali ikan ke dalam boks, karena masih banyak boks yang harus dipindahkannya sebelum matahari terbit.
Saat akan memindahkan boks terakhir Lily merasakan perutnya sakit dan juga kram membuatnya berjalan secara perlahan.
"Semangat Lily tinggal satu lagi," Lily mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Lily mencoba mengabaikan sakit diperutnya dan berjalan keluar dari tempat ini menuju gudang tempat biasanya dia tidur.
Ya, Lily sudah tidak memiliki rumah karena rumah yang sebelumnya dia tempati bersama pamannya sudah dijual oleh pamannya tanpa sepengetahuannya.
Lily bersyukur paman pemilik tempat ini masih sudi membiarkannya tidur di gudang meskipun tempat itu tidak layak untuk dijadikan sebuah tempat tidur.
Membuka gudang dengan perlahan, Lily segera menuju sudut ruangan tempatnya menyimpan pakaiannya yang hanya beberapa setel karena dia tidak punya cukup uang untuk membeli sebuah pakaian. Menemukan makanan saja Lily sudah bersyukur.
Lily bergegas menuju toilet yang berada di samping gudang karena waktu sudah dini hari. Dia tidak ingin melewatkan waktu yang tinggal beberapa jam untuknya tidur.
Lily membiarkan pakaian kotornya karena dia sudah tidak bisa menahan sakit diperutnya dengan segera tidur supaya dia bisa sedikit melupakan rasa sakitnya. Biar besok saja Lily cuci bajunya itupun kalau sempat.
Baru tiga jam Lily tertidur dia sudah harus bangun lagi karena suara mesin-mesin kapal yang akan berlayar sudah terdengar yang artinya pekerjaan sudah menanti Lily.
Lily mengerang ketika merasakan tubuhnya seperti remuk dan ketika tangannya meraba bawah sofa Lily teringat dengan tas pemberian nenek-nenek di jembatan beberapa hari yang lalu.
Lily membuka lagi barang-barang pemberian nenek itu dan dia berpikir apakah dia harus pergi seperti kata nenek itu? Sepertinya dia akan memikirkan hal itu nanti karena bagaimana pun saat ini dia sudah pasti sedang ditunggu.
Seharian ini Lily lagi-lagi bekerja keras bahkan lebih parah dari hari kemarin karena tidak ada makanan sedikitpun yang masuk kedalam perutnya. Hari ini Lily tidak diberi jatah makan karena kemarin dia telat menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat waktu. Jadi hanya sebotol air mineral yang mereka berikan.
Sore tadi saat Lily sedang beristirahat sebentar di jembatan biasa, datang sekumpulan pemuda yang sedang mabuk dan memukulinya tanpa sebab, dia hanya pasrah saja menerima semuanya karena tidak ada lagi tenaga yang tersisa bahkan hanya untuk berteriak sekalipun.
Meskipun dalam hatinya Lily berteriak kenapa dia tidak bisa melawan mereka, kenapa dia lemah, kenapa kenapa dan kenapa. Beruntungnya dia tidak sampai dilecehkan.
Memasuki kembali gudang dengan langkah gontai Lily segera menjatuhkan tubuhnya di sofa yang telah usang tempatnya biasa tidur. Tidak peduli dengan tubuhnya yang ingin diobati.
Lily menatap langit malam yang terlihat indah dari balik jendela yang ada didepannya.
Kapan dia bisa bebas seperti bintang-bintang itu, pikirnya.
Entah dari mana keberanian Lily muncul, malam ini dia bertekad untuk pergi dari tempat terkutuk ini. Lily bergegas memasukkan barang-barangnya kedalam ransel hitam yang berukuran cukup besar.
Dinginnya malam tidak mengurungkan niat Lily untuk pergi malah hal itu membuat semangatnya semakin bertambah.
Lily berdoa semoga tidak ada orang-orang yang bertugas menjaga tempat ini kemudian berjalan dengan hati-hati melihat sekitar takut ada yang menyadari keberadaanya. Tanpa Lily sadari doanya terkabul karena ada orang-orang berpakaian serba hitam menghadang anak buah pemilik tempat ini yang akan menghampiri Lily.
Beberapa ratus meter Lily berjalan akhirnya dia keluar dari tempat itu kemudian dia menunggu sebuah bus yang akan membawanya ke kota dengan cemas dan takut ada yang melihatnya dan untungnya tak lama bus yang dimaksud pun datang.
Lily mengucapkan beribu kata syukur ketika dia menemukan beberapa lembar uang ratusan terselip diantara barang-barang yang diberikan nenek jembatan.
Nenek jembatan, Lily akan menyebutnya seperti itu karena dia tidak sempat menanyakan nama malaikat penolongnya itu.
Lily memutuskan untuk tidur menunggu bus sampai tujuan. Dia menarik kupluk jaket yang dikenakannya hingga menutup sebagian wajahnya. Tidak lupa juga Lily menutup wajah babak belurnya dengan masker dan juga kaca mata hitam entah milik siapa yang berada di gudang.
"SUDAH SAMPAI SUDAH SAMPAI." Teriakan itu membangunkan Lily.
Ketika melihat keluar jendela Lily melihat banyaknya orang berlalu lalang di terminal bus, dengan cepat Lily segera keluar setelah membayar tarif bus.
"Lanjut Lily kamu sudah memilih jalan ini." Gumam Lily ditengah keramaian.
Lily mengedarkan pandangannya ke seluruh terminal lalu melihat lagi catatan yang diberikan nenek jembatan lalu bergegas untuk mengikuti langkah selanjutnya.
+
+
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments