bab 2 Hutang

"Ais, maafkan riana. Ibu harap kamu tetap di sini menemani ibu." ucap nenek saat kami sudah berada di dalam kamar lantai atas rumah ini.

"Iya bu, ais tidak apa. Tapi bagaimana kalau riana dan angga kembali mengusir kami."tanya ibuku yang hanya di jawab dengan senyuman oleh nenek.

Tanpa jawaban apapun, nenek kembali menuruni tangga mungkin menemui tante riana yang sedang ngamuk dibawah sana.

"Bu, kenapa sih kita kembali kesini lagi?." rasanya aku sudah tidak tahan ingin menanyakan banyak hal kepada ibuku ini.

"Untuk menemani nenekmu, jihan. Bukankah kamu tau sendiri kalau nenek yang meminta kita kesini." jawaban ibu sama sekali tidak membuatku puas.

"Jihan tau bu, tapi kenapa ibu tidak menolak saja. Lagipula bukan kewajiban ibu merawat nenek, ada anaknya yang seharusnya menemani nenek disini." ucapku lagi.

Bukan tanpa alasan aku mengatakan hal ini, itu semua karena aku tidak mau ibu kembali mendapat hinaan dan perlakuan yang tidak baik dari mantan ipar nya.

"Jihan, kamu tidak boleh begitu, dia nenekmu. Jaga ucapanmu!" lagi-lagi ibu seperti itu.

Heran saja, padahal tante dan paman sangat membenci ibu. Tapi ibu samasekali tidak mau membalas perbuatan mereka, lama-lama aku yang jadi kesal sendiri dengan sabar nya ibu.

"Sudah, kamu jangan terlalu keras berpikir. Lebih baik segera bereskan semua baju mu dan masukan kedalam lemari, ibu akan menemui nenek di bawah." ucap ibu, yang melihatku masih berdiri tanpa melakukan apapun.

ibu segera turun ke bawah tanpa menunggu jawaban dariku.

Aku segera melakukan semua yang ibu minta, dan akhirnya semua nya selesai.

Aku merasa ibu terlalu berlebihan memikirkan keadaan nenek, padahal setelah pengusiran waktu itu, aku dan ibu hidup nyaman walaupun rumah kami tidak semewah rumah nenek, tapi rumah yang sengaja ayah bangun untuk kami sebelum meninggal sudah lebih dari cukup. Mungkin kenangan di rumah inilah yang membuat ibu mau menerima tawaran nenek.

Entahlah, kadang pemikiran orang tua sangat rumit. Tidak terasa aku akhirnya terlelap entah berapa lama. Hingga sebuah teriakan membuat mataku terbuka seketika.

Segera aku berlari menuruni tangga, dengan kepala sedikit berdenyut karena terbangun mendadak.

"Ibuuuu..." teriaku, saat melihat ibu yang terduduk di lantai dengan air mata yang mengalir deras.

Aku segera menghampiri ibu dan memeluknya.

"bu, ada apa ini?" tanyaku pada ibu yang berusaha menghapus airmatanya, namun airmata itu masih saja terus mengalir lagi dan lagi.

Aku pindai semua wajah orang di rumah ini, terlihat tante riana dan paman angga tersenyum sinis menatapku. Aku lihat nenek yang juga sedang menangis di sopa dengan masih di peluk tante riana.

"Ada apa ini?!" teriaku lantang, saat aku masih belum juga mendapat jawaban dari ibu.

Aku mengguncang bahu ibu dan terus bertanya ada apa, tapi bukan jawaban yang aku dapatkan malah ibu semakin menangis tergugu.

"Bu, katakan padaku. Ada apa ini?" aku mengusap wajahku dengan kasar merasa prustasi karena belum juga mendapat jawaban dari pertanyaanku.

"Kamu, mau tau ada apa?, biar aku kasih tau. Dan dengar baik-baik, aku akan menjual rumah ibumu!" ucap paman angga dengan menekankan kata menjual.

"Apa maksud paman? Rumah mana?" tanyaku masih tidak mengerti

"Rumah mana? Ha ha ha ha... Lucu sekali kamu ini, jihan. Makanya sekolah yang pintar. Hufzzz! Maaf lupa, kamu kan memang gak sekolah. Uang dari mana ibumu, ha ha ha ..." suara tawa paman angga menggema di seluruh penjuru rumah ini. Begitu bahagia nya dia menertawakan kemiskinan kami.

"Rumah mu dan ibumu akan aku jual, karena ayahmu mempunyai hutang padaku sebesar tigaratus juta, saat dia membangun rumah itu!." teriak paman angga melempar beberapa surat perjanjian.

Aku ambil dan aku baca satu persatu surat itu...

Degh!

Bagaimana bisa, ini pasti salah. Ayah tidak pernah mengatakan kalau punya hutang, ayah bahkan selalu mengajarkan aku dan ibu agar tidak pernah berhutang. Lalu apa ini? Pertanyaan demi pertanyan menumpuk di kepalaku, ingin tidak percaya tapi bukti dan tanda tangan ayah ada di surat perjanjian hutang piutang ini.

Aku terduduk dengan mata mulai panas, kenapa ayah tidak pernah mengatakan ini semua.

Ibu meraihku dan memeluk diriku dengan tangis yang mencabik-cabik relung hatiku.

"Sudah... Berhentilah kalian menangis! Aku muak melihatnya. Kamu harus tau ais, kalau rumah itu bahkan belum bisa melunasi semua hutang suamimu itu, jadi kamu harus segera mencicil siaanya." ucap paman angga dan itu seperti pukulan yang sangat keras mendarat di kepalaku.

"Bagaimana bisa mereka mencicil kak, hidup saja masih numpang. Kecuali kalau kak ais mau jual diri!" teriak tante riana

Deg!.

jantungku rasanya naik turun mendengar ucapan sarkas tante riana, emosiku naik sampai ke ubun-ubun.

Brakk

Aku lempar surat-surat hutang itu tepat di wajah cantik tante riana. Seketika senyumnya lenyap digantikan dengan raut wajah yang menyeramkan menatapku nyalang.

"Dasar anak tidak tau diri! Sudah miskin tidak beradab!" teriaknya dengan suara lantang menggelegar.

Nenek segera meraih tangan tante riana yang hendak menamparku.

Aku balas tatapan tante riana dengan menatapnya tidak kalah tajam, aku perlihatkan padanya kalau aku tidak pernah takut sedikitpun kepadanya.

"Jaga ucapan tante, jangan sampai aku yang tidak beradab ini mencabik-cabik bibirmu yang lemes itu." ucapku penuh penekanan.

Bersambung

Terpopuler

Comments

PORREN46R

PORREN46R

jarang para author menggunakan nama 3 hurup saja. langkah ni

2023-08-04

0

Sajali Sajali

Sajali Sajali

dari awal baca udah suka, semoga tetap seru sampai akhir

2023-07-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!