Kredit Pinterest.com
Aria berjalan menuruni tangga, melihat ke arah dua orang yang duduk di ruang tamu mewah keluarga Aria. Seorang pria yang usianya mendekati 60 tahun, dan seorang gadis berhijab yang sejak tadi menundukkan wajah. Najwa Khairunisa, putri Heru Subagya, lulusan Al Azhar Mesir. Siapa yang tidak akan minder dengan gelar yang diraih Nisa. Termasuk Aria. Baginya, Nisa terlalu sempurna untuk dirinya yang bukan apa-apa dalam ilmu agama.
Karena itu sejak awal Aria memutuskan mundur dari perjodohan ini. Aria berpendapat kalau Nisa harusnya mendapat seorang pria yang setara dengan gadis itu, dalam hal ilmu agama maksud Aria. Namun sepertinya Nisa tidak masalah dengan hal itu. Bukankah mereka bisa belajar bersama-sama. Begitu pendapat Nisa.
Keduanya memang dijodohkan, tapi ayah Aria juga berpesan, jika Heru tidak boleh memaksakan kehendak. Jodoh mereka bisa merencanakan, tapi Allah-lah yang menentukan. Itu sebelum ayah Aria meninggal, namun sepertinya setelah ayah Aria meninggal, Heru tak lagi mengindahkan hal itu.
Menurut Aria sendiri, dirinya kurang pantas untuk Nisa yang alim tiada banding. Terlebih soal pekerjaan, bisnis produksi pakaian dalam yang Aria geluti, membuat pria itu berpikir kalau hal itu kurang sesuai untuk Nisa. He..he..pabrik Aria memproduksi BH dan celaana dalamm yang diekspor ke luar negeri. Jadi jangan heran jika dua benda itu yang jadi pemandangan Aria tiap hari.
Sebaris salam Aria ucapkan, dua orang itu spontan menjawab. Dengan Nisa kembali menundukkan wajah setelah menatap Aria untuk beberapa waktu. "Bagaimana kabar Om?" Aria mencoba berbasa basi. Biasanya dalam situasi seperti ini, akan ada ulah kocak sang Mama. Dia tinggal duduk diam mendengarkan, tapi sekarang. Dia sendiri yang harus menyambut Heru.
Obrolan ringan pun meluncur, dengan Nisa yang sesekali menimpali. Gadis itu beberapa kali melihat ke arah Aria. Pria yang telah lama menghuni hatinya. Sungguh, Nisa tidak bisa menolak pesona seorang Aria. Hingga Heru pun mulai membuka topik utama. "Begini Aria, ini soal perjodohan kalian. Paman rasa sudah saatnya mewujudkannya. Kalian sudah sama-sama dewasa. Sudah waktunya berumahtangga."
Hening, bisa Aria lihat tangan Nisa yang bertaut erat, gugup, itulah yang gadis itu rasakan. Mungkin memalukan, seorang gadis sibuk mengejar seorang pria. Namun Nisa tidak mau melewatkan kesempatan ini. Dia ingin merasakan kebahagiaan di sisa umurnya. Egois memang, tapi Nisa tidak peduli.
"Begini Om, maaf sebelumnya terlebih untukmu Nisa. Aku tidak bisa." Aria menjawab tegas. Teringat ucapan Amato si asisten, jadilah pria yang tegas. Mungkin jawaban Aria akan menyakiti Nisa, tapi lebih sakit sekarang daripada dia hanya memberi harapan palsu.
"Kenapa mas Aria menolakku?" suara Nisa sedikit bergetar. Walau dia sudah tahu jawabannya, tapi dia memaksa diri untuk bertanya.
"Aku tidak mencintaimu." Tegas dan lugas, jawaban Aria bagai sebilah pisau tajam yang mengoyak hati Nisa. Sakit? Tentu saja.
"Cinta akan tumbuh jika kita sering bersama. Yang terpenting kita punya tujuan yang sama. Menikah untuk beribadah dan menyempurnakan agama." Nisa mencoba mendebat Aria.
"Nisa....mungkin kita perlu menunggu tante Mala pulang. Baru bicara lagi." Bujuk Heru, bagi pria tua itu cukup memalukan, harus mengemis jodoh pada Aria dan keluarganya.
"Abi...." Tangis Nisa hampir pecah.
"Dengan atau tanpa adanya mama, keputusanku sama. Aku tetap menolak perjodohan ini. Maafkan aku Nisa. Kamu layak mendapat pria yang lebih baik dariku. Sepadan denganmu." Dua kali hati Nisa serasa ditikam pisau. Penolakan tegas dari Aria sungguh melukai hatinya.
"Ya Allah, apakah Kau juga tidak ingin mengabulkan permintaan terakhirku?" Batin Nisa pilu.
"Mas bos, apa gak keterlaluan?" Amato bertanya setelah mengantar Heru dan Nisa keluar.
"Kamu bilang aku harus jadi lakik yang tegas. Bagaimana sih?" Gertak Aria. Amato seketika menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya kan gak sampai buat mewek anak gadis orang. Mana sholehot eh sholehah lagi." Bela Amato.
"Ya sudah kamu saja yang nikahin Nisa sana."
"Wo ndak level saya sama mbak Nisa."
"Nah tu tahu. Nisa itu harusnya dapat spek anak kyai bukan berandalan seperti aku."
"Anak berandalan yang rajin sholat sama ngaji?" tanya Amato.
"Alah mbohlah. Sudah tanya Santo belum?" Aria mengubah topik pembicaraan dari Nisa yang hanya membuat kepalanya semakin pusing.
Amato menggeleng pelan. Santo, asisten pribadi mama yang tidak sayang Aria. Pria itu yang enam bulan ini mengurusi dua pabrik pembuatan brownies milik sang mama. Dan satu kantor service AC peninggalan sang ayah, yang jaringannya sudah merambah seluruh negeri. Kantor yang sampai sekarang masih dikelola mama Aria, karena Aria belum mau mengambil alih.
Si asisten menggeleng. Aria menggeram marah. Pasti si Santo sama si mama tak sayang Aria itu bersekongkol, memboikot Aria soal si janda pirang. "Keknya mama salah paham deh sama aku."
"Soal Suketi?" Aria mengangguk.
"Makanya mas, kalau gak ada apa-apa tu jangan buat sandiwara seolah ada apa-apa."
"Ini mama kebanyakan nonton drama sama baca nopel onlen. Aku gak ada niatan buat halalin di pirang."
"Tapi mama mas bos mikirnya begitu. Jadinya salah paham, ngambek, minggat kan sekarang." Aria terdiam sembari memainkan jarinya. Apa dia harus mulai mencari si mama tak sayang Aria ini. Biasanya kalau marah, si mama cuma muter seharian di pasar tradisional. Kalau sudah sore pulang sendiri dengan oleh-oleh jajan pasar seabrek. Sedikit banyak Aria suka kalau si mama marah.
Tapi ini? Sudah enam bulan, dan si mama masih betah saja dengan acara ngambeknya. Apa mamanya diculik orang? Tapi mana mungkin, sebab mamanya itu kalau marah, dan jalan-jalan ke pasar selalu cosplay jadi emak-emak komplek. Pakai daster, sandal jepit. Habis sudah kharisma seorang Nirmala Putri Loka, istri dari Magenta Aria Loka, almarhum.
Dan Aria sudah bolak balik mengecek ke pasar favorit si mama tapi tidak ketemu. Beberapa pedagang langganan si mama juga mengatakan tidak pernah melihat mama tak sayang Aria belanja di pasar. "Yuuhhh, pusingnya aku." Keluh Aria. Jari pria itu kembali bergerak, mengetuk meja yang ada di depannya.
"Mat...." Si empunya nama melirik tajam, tapi Aria cuek.
"Suruh orang mengawasi Santo, ikuti si robot itu. Aku yakin dia tahu sesuatu soal mamaku." Santo, pria kaku, hanya tunduk pada perintah si mama tak sayang Aria. Sosok pria yang sangat menyebalkan di mata Aria, tapi mengagumkan di mata Amato
"Siap mas bos!" Mode siaga Amato aktif.
Amato mulai bergerak, dengan Aria juga memainkan ponselnya. Memeriksa beberapa e-mail yang masuk tak pandang bulu ini hari apa. Atau jam berapa ini. Sungguh tidak sopan. Untung dia masih single. Gak ada hubungannya thor 😆😆
"Tuan, ada tamu di depan. Katanya mau ketemu tuan Aria." Aria dan Amato saling pandang, mendengar penuturan si bibi ART. Tamu? Lagi? Siapa sih yang rajin bertamu di hari Minggu ini.
Dua orang itu kembali saling pandang saat si bibi berkata kalau dia sudah menyuruh si tamu masuk tapi tidak mau. Si tamu menunggu di gerbang dengan motornya.
"Motor?" Dua orang itu bertanya bersamaan. Siapa lagi tamu dari kalangan menengah yang Aria punya.
***
Up lagi readers. Jangan lupa tinggalkan jejak. Terima kasih.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Damar Pawitra IG@anns_indri
ocaaaa
2023-06-19
1
Damar Pawitra IG@anns_indri
kelingan cristo sek nurut banget sama mbah e lendra
2023-06-19
1
Damar Pawitra IG@anns_indri
mak ne lek nesu sangar yo
6 sasi ra bali wkkwkw
2023-06-19
1