Saat semua orang tengah mempersiapkan pernikahan, Azizah justru masih sangat sibuk dengan semua susunan kejadian yang membuatnya sakit kepala.
Kisah ini tidak sesederhana kelihatannya, bagian yang paling tidak Azizah mengerti adalah bagian temannya Hanifah.
"Ashar masih di pesantren, dan enggak mungkin dikasih HP kan? Mereka hanya diperbolehkan menggunakan HP satu Minggu sekali saat libur, tapi kenapa dia menerima kabar lebih cepat? Tidak mungkin dia bisa keluar sembarangan. Ini enggak masuk akal."
Azizah menuliskan setiap kejanggalan yang dia rasa memang patut dicurigai, pertama adalah kedatangan ustadz Farhan ke rumah teh Bilqis yang jelas ada yang memang dituju, maksudnya, bukan tanpa tujuan ustadz Farhan ke sana, dan ia pun tidak masuk kerumah sendirian, Azizah hanya perlu mencerna ini dengan baik dan minta tolong kepada seseorang, tapi bagaimana caranya agar dia bisa menghubungi Meca.
“Ai!” Asri datang dengan menepuk pundak Azizah, perempuan itu tersenyum ketika melihat Azizah yang masih murung seperti kemarin. “Ada apa? Kenapa lagi? Masalahnya belum selesai?”
Azizah meggelengkan kepalanya, hari ini ustadz Farhan tidak ada di sekolah, mungkin karena tidak ada jadwal mengajar, tapi lagi-lagi Azizah merasa khawatir. “Sri, aku boleh minta tolong enggak?”
“Kenapa, kamu mau aku tolong kamu apa?” tanya Asri yang tentunya sudah siap untuk membantu Azizah.
“Ada slah satu mantri yang pengen aku temuin, tapi aku enggak tahu harus gimana.”
Asri tersenyum penuh arti, jika untuk masalah seperti ini, dia jelas tahu harus melakukan apa. “Pulang sekolah kita bisa temuin mantri itu.”
“Really?”
Asri mengangguk, sontak saja hal tersebut membuat Azizah sangat bahagia, perempuan itu memeluk Asri seolah pertemanan mereka memang sudah sangat lama, mengabaikan tatapan murid lain yang melihat mereka aneh.
“Kamu yakin ini rumahnya?” tanya Azizah setelah mereka samapai di depan rumah mantri yang disebutkan namanya oleh sang suami.
“Iya bener, ini rumah mantri Rudi, memang masih sangat sederhana, orang tuanya baik kok. Mantri Rudi juga orangnya baik. Masuk aja yuk! Aku tadi udah minta mamah buat nelpon, jadi tinggal bilang aja anaknya bu RW sakit perut.”
“Bawa HP kan?” tanya Azizah memastikan. Asri pun mengangguk.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumssalam. Masuk De!”
“Iya, Pak!” sahut Asri tersenyum ramah sementara Azizah malah memperhatikan rumah mantri tersebut, tidak ada ruang pemeriksaan khusus, mantri Rudi adalah mantri desa, tapi juga bisa menerima pasien di rumah.
“Anaknya BU RW ya?”
“Iya, Pak. Saya sakit perut, kenapa ya? Padahal saya enggak makan pedes, enggak jajan sembarangan juga.”
Azizah tidak melihat sesuatu yang aneh dari gelagat mantri ini, masih terlihat normal dan ya, seperti orang baik pada umumnya.
“Adek berbaring dulu boleh, biar Bapak bantu periksa, di sini ada temennya, kalau ada apa-apa tinggal teriak, Dek!” guyonnya membuat Asri tertawa kecil. Azizah hanya tersenyum.
Namun, ketika mantri Rudi sedang memeriksa keadaan Asri, perempuan itu memberikan isyarat agar Asri mempersiapkan ponselnya.
“Pak Rudi, saya Azizah, saya cucu Kiyai Juhairu. Saya ingin menanyakan maslah kemarin lusa, saat Bapak menerima panggilan dari su—maksudnya dari Uastadz Farhan, Bapak datang kan?”
Mantri Rudi mengangguk, ia masih fokus memeriksa keadaan Asri tapi juga bisa mendengar pertanyaan Azizah.
“Saya tahu di sana juga ada Meca dan Hanifah, tapi kenapa dua jam setelahnya hanya tinggal ustadz Farhan dan teh BIlqis aja? Anda saat itu ke mana? Kenapa Anda meninggalkan mereka yang bukan muhrim berada di rumah berduaan seperti itu?”
Mantri Rudi tidak menjawab, dia hanya fokus kepada Asri dan itu membuat Azizah dongkol.
“Saya akan memberikan obat,” kata Mantri Rudi dan lagi-lagi hal itu membuat Azizah berdecih sebal.
“Asri itu cuma pura-pura sakit, kenapa harus diberikan obat, apa ini juga yang Bapak lakukan pada teh Bilqis? Perempuan itu tidak benar-benar sakit kan? Kalian hanya merekayasa semua ini agar bisa menjebak Ustadz Farhan.”
“Ai—!” Asri menarik tangan temannya agar Azizah tidak terlalu kelewat batas.
“Kenapa tidak menjawab Pak? Apakah saya telah melakukan kesalahan, jika Anda terus seperti ini, akan banyak orang yang terluka, saya ingin menanyakan hal yang sama kepada Meca tapi dia juga tidak ada, langsung pulang setelah kejadian, apa ini tidak aneh?”
Mantri Rudi memasukan kembali peralatannya ke dalam tas. “Jadi kalian ke sini ingin hanya ingin memfitnah saya?”
“No!” sargah Azizah cepat. “Saya minta maaf kalau saya lancang, saya hanya ingin bertanya, tapi karena tidak ada jawaban, saya terpaksa mengtakan kalimat seperti itu, kenapa Bapak diam saja saat ada orang terzolomi padahal Bapak sangat tahu bagaimana baik dan solehnya ustadz Farhan.”
“Keluar dari rumah saya!”
“Pak!” Azizah menatap Pak Rudi putus asa, apa sushahnya mengatakan kebenaran, bagimana mereka bertemu dan bagaimana mereka berpisah, kenapa hal seperti ini bisa sampai terjadi, seharusnya jika memang tidak ada yang disembunyikan, Pak Mantri bisa mengatakan semuanya bukan?
“Saya bilang ke luar, saya tidak menerima orang sakit bohongan, ustadzah Bilqis memang sakit, dan saya akan mengatakan jika manusia itu tidak ada yang sempurna.”
“Pak Mantri mau bilang kalau Ustadz Farhan memiliki kemungkinan untuk melakukan dosa menjijikan seperti itu, iya?”
Helaan napas kasar terdengar dengan sangat jelas, Pak Rudi berjalan ke arah pintu dan meminta Azizah juga Asri untuk segera keluar dari rumahnya.
“Sudah, Ai. Kita pulang dulu,” ajak Asri menarik tangan Azizah ketika perempuan itu masih beradu tatap dengan Pak Rudi.”
“Ishhhh, nyebelin tahu enggak,” marah Azizah saat mereka sudah berada di luar rumah. “Apa susahnya mengtakan fakta dan kebenaran, kenapa harus seperti ini?”
Asri hanya bisa menenangkan Azizah dengan mengusap lembut punggung perempuan itu, dia mengerti kalau Azizah kesal, tapi ia juga menaruh curiga karena ini terlalu berlebihan kalau tidak ada yang terjadi antara Aizizah dan ustadz Farhan.
“Kita pulang ke pesantren aja ya!” ajak Asri, mau tidak mau Azizah pun mengiyakan hal tersebut.
** **
Setelah cukup lama bergelut dengan semua kekacauan, Azizah dan Asri sampai di gerbang pesantren, perempuan itu mengucapkan terima kasih berkali-kali dan meminta maaf karena tidak bisa mambawa Asri masuk ke dalam akan tetapi hal itu sangat dimaklumi oleh temannya itu.
Langkah kaki gontainya membawa Azizah masuk ke pelataran pesantren yang begitu luas, akan tetapi, saat sudah sampai di rumahnya, dia melihat sebuah mobil mewah terparkir apik di sana, melihat palat nomornya saja sudah membuat Azizah kesal, ingin pergi, tapi dia takut kalau kedua orang tuanya akan melakukan hal aneh pada suaminya.
“Asslamu’alaikum.”
“Wa’alaikumssalam!” sahut ke tiga orang yang ada di dalam rumah, mata Azizah menyipit memperhatikan mereka semua satu persatu, terlebih, ada lembar kertas terbuka di atas meja.
“Ai apa kabar Sayang? Bunda kangen sama kamu.”
Bu Sahla baru akan memeluk Azizah akan tetapi Azizah malah berjalan melewatinya dan langsung mengambil kertas yang ada di atas meja. “Permohonan cerai?” gumam perempuan itu dnegan senyum sinis di bibir. “Bunda sama ayah mau Ai bercerai?”
Kedua orang itu mendekati Azizah sedang ustadz Farhan sedikit bergeser untuk memberikan ruang.
“Bunda minta maaf, Nak. Bunda udah tahu semuanya, maaf karena ayah sama bunda kasih kamu ke orang yang salah, bunda khilaf, sekarang bunda mau jemput kamu, kita pulang aja ya! Ceraikan suami kamu, apa kamu mau di madu? Enggak kan, kita pulang aja, Sayang.”
Kening perempuan itu mengerut dalam, menolehkan kepalanya ke arah sang suami seraya menyodorkan kertas itu. “Ustadz menyetujui permohonan cerai ini?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Ratna Mahendra
up donk mb cantik,,,penasaran ama kelaniutan nua
2023-07-23
0
Oktav
Ayo Zizah tunjukin kalo ustad Farhan tdk bersalah.... Kamu hrs bisa lindungi dia.... Dia tdk blh jadi sm Bilqis si penipu
2023-07-21
2