Bilqis, perempuan berusia 25 tahun yang bekerja sebagai staf keuangan di pesantren tersebut sudah tinggal di pesantren sejak lama, memang dulu ketika belajar di sana Bilqis menjadi salah satu kebanggaan Kiyai juga dari pihak santri perempuan karena memang kecerdasannya yang luar biasa. Sampai ketika ia telah menyelesaikan kuliah S1 di luar kota, Bilqis kembali sehingga Kiyai memintanya untuk menjadi salah satu orang kepercayaannya untuk mengurus pesantren, Bilqis adalah anak yatim piatu, semua biaya sekolahnya ditanggung Kiyai Juhairu, bahkan dia dan adiknya yang masih teman sekolah dengan Azizah diberikan tempat tinggal di dekat pesantren.
Tidak ada alasan bagi Bilqis untuk menolak permintaan kiyai Juhairu, apalagi ketika tiga tahun yang lalu dia kembali ke pesantren, sosok yang dulu sempat menjadi seniornya di pesantren tersebut sudah menjadi staf pengajar tetap. Tentu saja Bilqis mau, bertahun-tahun mencintai ustad Farhan dalam diam, mungkin dia bisa lebih memperjelas perasaannya saat mereka sudah sama-sama dewasa, akan tetapi … selama tiga tahun menjalin komunikasi yang baik dengan ustadz itu tak menjadikan hubungan mereka baik juga. Dalam artian, tidak ada kemajuan berarti dalam hubungan mereka.
Bilqis sudah puluhan kali mencoba untuk memberikan kode kepada ustadz Farhan akan tetapi semuanya selalu sia-sia, ustadz Farhan hanya menganggapnya rekan kerja saja, tidak pernah lebih dari itu.
Cinta selama belasan tahunnya kandas ketika ia mengetahui kalau ustadz Farhanya akan menikah dengan seorang gadis dari kota. Hancur, kecewa, semua perasaan itu bercampur menggerogoti hati dan akal sehatnya, ia sampai meminta adiknya untuk mengawasi kebiasaan Azizah di sekolah hanya untuk melihat orang seperti apa yang dinikahi oleh ustadz Farhan.
“Aku janji, aku akan membuat perempuan itu jauh darimu, Ustadz! Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari Azizah.”
Sampai di rumahnya yang masih tak jauh dari lingkungan pesantren, Bilqis langsung menemui adiknya yang tengah bermain ponsel di kamar.
“Kenapa Teh?” tanya Hanifah merasa sedikit heran karena tidak biasnya kakaknya itu datang tanpa mengucapkan salam, malah raut wajahnya juga terlihat sangat sedih.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Hanifah, Teh Bilqis langsung memeluk adiknya dan menangis dalam dekapan adik kesayangannya itu. Hal ini tentu saja membuat Hanifah terkejut, baginya Bilqis adalah wanita paling kuat yang pernah ada di hidupnya, tapi kenapa saat ini dia terlihat sangat rapuh?
“Ada apa Teh, kenapa Teteh nangis? Siapa yang udah bikin Teteh kayak gini?”
Hanifah memang sangat menyayangi kakaknya karena sejak orang tua mereka meninggal, Bilqis lah yang merawat Hanifah dengan sangat baik.
“Apa karena Azizah lagi?” tanya Hanifah yang membuat Bilqis melepaskan pelukannya dan menatap Hanifah masih dengan derai air mata.
“Tadi teteh liat Azizah digendong sama Ustadz Farhan, teteh tahu itu hak mereka karena mereka sudah menjadi suami istri, tapi teteh tetep enggak rela, Hani, teteh ngerasa dunia ini enggak adil, kamu juga tahu kan kalau teteh suka sama ustadz Farhan pas teteh baru masuk ke pesantren, tapi kenapa malah orang lain yang menikah dengannya? Kenapa harus orang lain? Kenapa bukan teteh aja Hani, kenapa? Apa karena kita miskin dan enggak punya orang tua?”
Hanifah menggelengkan kepalanya, ia kembali menarik bahu sang kakak dan memeluknya erat. “Enggak boleh ngomong kayak gitu, Teh. Bukannya Teteh bilang kalau kita bisa merebut ustadz Farhan dari Azizah? Hani bisa bantu Teteh, kita akan mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan, Hani janji akan melakukan apapun supaya kalian bisa bersama.”
“Really?” tanya Teh Bilqis masih sesenggukan.
“Eummm … bilang aja Hani harus ngapain, nanti Hani bantu Teteh.”
Bilqis tersenyum lebar, ia mengusap air matanya lantas menatap Hanifah dengan senyum yang sulit untuk diartikan, sampai setelah beberapa detik, mereka tertawa bersama.
** ** **
Keesokan harinya, Azizah memilih untuk tidak sekolah, alasannya tentu saja bukan karena sakit melainkan hari ini suaminya tidak ada jadwal mengajar di sekolah, dan dia juga terlalu malas untuk mengikuti upacara bendera. Sangat membosankan dan itu terlalu melelahkan untuk Azizah.
“Mas udah bilang tinggal aja di rumah kalau enggak enak badan, kenapa harus ikut ke pesantren, lagipula saya mengajar juga bukan ilmu yang seharusnya bisa kamu pahami dengan keilmuan mu yang sekarang, fokus pada hafalan mu saja!”
Kan … perempuan itu sama sekali tidak memiliki sopan santun yang baik, Ustadz Farhan masih berbicara tapi dia malah sudah mengambil sandalnya dan keluar dari rumah tanpa memperdulikan omelan dari sang suami.
“Astagfirullah, apa boleh sebatu ini?” gumam ustadz Farhan tapi ia tetap mengikuti istrinya dari belakang.
“Dek!”
“Ai!”
“Sayang!”
Azizah langsung berbalik, menatap suaminya tajam seraya menaruh jari telunjuknya di atas bibir.
“Bukannya sudah setuju? Adek enggak akan nolak apapun yang mas lakuin, itu perjanjian kita kan?”
Azizah dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Jangan panggil seperti itu di tempat umum! Hubungan kita itu cuma hubungan kontrak di atas lisan, enggak usah berlebihan.”
Bukannya tersinggung ustadz Farhan malah tersenyum, terserah istrinya lah mau berbicara seperti apa, baginya sekarang, membuat Azizah jatuh cinta lebih penting daripada harus mendebat kalimat-kalimat menyakitkan dari mulut perempuan itu.
“Saya cuma mau bilang kalau sekarang saya ngajar di kelas khusus Ikhwan, kamu masih mau ikut?”
“Ha?” cengo Azizah tidak percaya. Ia langsung menghentikan langkahnya dan kembali berbalik. “Kalau gitu aku pulang aja.”
Kembali suaminya itu tersenyum. “ Kalau mau, ikut kelas Ustadzah Alina. Ada di pojok bangunan yang itu!” tunjuk ustadz Farhan yang diangguki oleh Azizah. Perempuan itu pun pergi seperti biasanya, ngeloyor tanpa mengatakan apapun.
Dalam langkah-langkahnya menuju kelas ustadzah Alina, Azizah terus tersenyum, perempuan itu tidak dapat menyembunyikan raut bahagianya, dia melewati lorong dengan kepala tertunduk dalam. Tidak melihat ke depan sampai pada akhirnya Azizah tidak sengaja menyenggol seseorang.
Brukk!!
“Akhhh!” Teh Bilqis jatuh dengan buku-buku yang dibawa di tangannya. Azizah tentu sangat terkejut.
“Astagfirullah, maaf Ustadzah. Saya enggak lihat, saya enggak sengaja, Ustadzah enggak papa?”
Azizah membantu Bilqis untuk berdiri, dia terlihat sangat panik tapi Azizah sama sekali tidak melihat senyum tersembunyi dari wajah perempuan itu.
“Saya enggak papa, jangan panggil saya ustadzah, saya hanya staf keuangan, Dek.”
Azizah mengangguk, ia kembali berjongkok untuk mengambil beberapa buku dan barang-barang milik Bilqis. “Terus saya harus panggil apa?”
“Anak-anak di sini, biasanya panggil saya Teteh, Teh Bilqis.”
Azizah kembali mengangguk. “Kalau begitu saya antar Teh Bilqis dulu, Teteh mau ke mana, biar ini saya yang bawakan?’
“Apa enggak papa?” tanya Bilqis basa-basi.
Azizah menggelengkan kepalanya. “Enggak apa-apa, Teh, saya harus bertanggung jawab.”
“Ya sudah, kalau begitu ke ruangan saya saja ya!”
Azizah mengangguk dan mengikuti langkah Bilqis di samping perempuan itu, sepanjang perjalanan yang tidak terlalu jauh itu mereka banyak mengobrol, sebenarnya Bilqis yang banyak menceritakan Ustadz Farhan dan itu membuat Azizah merasa kurang nyaman. Bilqis terlalu banyak bicara, dan terlalu banyak mengetahui hal-hal tentang ustadz Farhan yang dia sendiri pun tidak mengetahui hal tersebut.
“Saya simpan di sini ya Teh,” kata Azizah masih berusaha untuk tersenyum meskipun sebenarnya dia sangat enggan.
“Baiklah, terima kasih, ya! Lain kali kita harus bertemu lagi untuk mengobrol.”
Azizah kembali mengangguk, ia membungkuk sedikit kemudian berbalik. Namun, baru ingin melangkah keluar dari pintu, Azizah dibuat kembali berbalik karena keributan yang ditimbulkan oleh Bilqis.
“Loh, cincin saya ke mana? Tadi ada di sini?” katanya sambal mengacak-acak barang yang tadi Azizah bawakan.
“Kenapa Teh?” tanya Azizah yang kembali masuk.
Bilqis terlihat semakin panik, perempuan itu membuka kotak pensil transparan miliknya. “Saya menaruh cincin peninggalan almarhumah ibu saya di dalam sini, tadi. Tapi kenapa enggak ada.”
“Mungkin lupa naronya Teh, coba cari di tempat lain!” Azizah sudah akan ikut membantu tapi tiba-tiba Bilqis mendongak, menatapnya dengan tatapan tajam.
“Saya tidak mungkin lupa, Azizah. Saya menaruh cincin saya di dalam sini, tadi kamu yang bawa semua barang-barang saya, apa kamu yang mengambilnya?”
“Hah, saya? Teteh nuduh saya yang ngambil cincin Teteh?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments