10 : Istri Saya

Chole sudah lebih dulu bangun sebelum Helios membangunkannya. Langkah pria itu yang keras seperti kerasukan arwah pemarah lah penyebabnya.

Ditatap takut oleh Chole yang memang takut kepadanya, membuat mulut Helios refleks bertanya, “Kamu masih takut ke aku?”

Chole mengangguk-angguk. “Masih, Mas. Aku masih takut ke Mas, meski sekarang aku memang lebih takut tanpa Mas.” Chole tidak berani menatap Helios.

“Kenapa begitu? Jawab sambil tatap aku!” galak Helios, tapi Chole tetap menunduk kemudian menggeleng.

“Aku enggak berani menatap Mas lama-lama, Mas.”

“Baiklah ....”

“Mas enggak tanya kenapa aku enggak berani menatap Mas?” tanya Chole mematahkan tanggapan pasrah seorang Helios beberapa saat lalu.

“Aku sadar diri! Sudah begitu saja! PUAS!” kesal Helios.

“Ya enggak gitu ih, Mas. Alasan aku enggak mau menatap Mas lama-lama karena aku takut Mas jatuh cinta ke aku. Bahaya kan kalau orang kayak Mas jatuh cinta ke wanita yang bertubi-tubu Mas benci?” ucap Chole yang kemudian tersenyum ceria ke Helios. Lihat lah Helios sudah langsung salah tingkah. “Oh, sekarang aku tahu cara buat jinakin mas Helios!” batin Chole sudah langsung bersemangat.

“Enggak jelas!” cibir Helios yang kemudian berkata, “Cepat siap-siap. Kita ke rumah orang tua kamu sekarang juga!”

Mendengar akan dipulangkan, Chole langsung menangis. “Mas aku mohon, aku enggak mau. Aku mau jadi istri Mas. Aku mau sama-sama Mas sampai akhir. Sampai di kehidupan selanjutnya juga enggak apa-apa. Asal Mas enggak galak-galak ....”

Kenyataan Chole yang tersedu-sedu, membuat Helios yang baru membuka lemari pakaiannya, merasa muak. Ia refleks menghela napas dalam kemudian berkecak pinggang.

“Dua detik lag kamu masih nangis, aku enggak segan buang kamu dari balkon!”

“Tapi aku enggak mau pisah dari Mas. Tolong kasih aku kesempatan, Mas! Masalah uang ganti rugi buat Mas, aku yakin meski enggak bisa sekaligus, mantanku sanggup menebus.”

“Masalahnya, membiarkan Mas terus begini, membiarkan Mas menjadi Helios ... aku enggak bisa. Aku ingin Mas jadi mas Heri karena Mas berhak bahagia!” Chole meledak-ledak.

Kesabaran Helios yang tidak lebih dari sehelai tisu kering dibagi-bagi kemudian tersiram air, membuat pria itu langsung emosional. Helios menutup secara bersamaan kedua pintu lemari yang baru saja ia buka, sekuat tenaga.

“Ini yang kamu mau!” teriak Helios.

Hantaman akibat pintu lemari yang ditutup saja sudah membuat Chole terkejut. Ditambah Helios yang sampai berteriak dan berakhir terbatuk-batuk.

Chole yang walau kesal sekaligus takut, berangsur beranjak. Ia mengambil sebotol air mineral stok miliknya. Ia membuka tutup botol air mineral tersebut kemudian memberikannya kepada Helios.

Helios menolak, memilih meninggalkan Chole dan bermaksud keluar dari kamar. Namun, jemari tangan Chole mendadak menahan sekaligus menggenggam jemari tangan kirinya.

“Enggak usah gengsi, Mas! Sudah minum biar Mas bisa marah-marah sambil teriak lagi!” ucap Chole.

Namun, walau Helios menerima air mineralnya, pria itu malah menggunakannya untuk mengguyur lantai.

“Sabar ... sabar!” batin Chole memilih meninggalkan Helios. Ia kembali ke sajadahnya, dan sudah memutuskan untuk tetap di sana walau Helios mengusirnya.

“Kenapa dia begitu keras kepala? Benarkah alasannya begitu karena dia tulus kepadaku?” pikir Helios yang menjadi menyesal karena bukannya meminum air mineral pemberian Chole, ia malah membuangnya.

Helios pergi tanpa menutup pintunya. Chole sudah langsung menatap pedih kenyataan tersebut. Terlebih tak lama setelah itu, Chole mendengar langkah pelan khas pak Mul. Segera Chole meraih cadarnya kemudian memakainya.

“Jangan takut, Chole, lawan! Jangan sampai kamu maupun wanita lainnya jadi korban. Bayangkan, ke kamu yang istrinya bos saja dia berani, apalagi ke pekerja di rumah ini bahkan di rumahmu nanti andai pak Mul sampai main ke rumah orang tuamu?!” Hati kecil Chole menyemangati Chole yang sudah melangkah lebar. Chole bermaksud menemui sekaligus memberi pak Mul pelajaran.

“Pak Mul, kenapa Anda ke situ-situ? Saya perhatikan, Anda jadi sering berkeliaran di depan kamar saya. Anda tahu istri saya syari, tapi Anda dengan berani berdiri di depan pintu kamar kami! Anda mau masuk kamar kami?!”

Suara Helios yang marah-marah barusan sudah langsung mematahkan langkah sekaligus tekad Chole. Chole segera menepi, membiarkan punggungnya menempel ke dinding sebelah pintu. Ia terlonjak kaget karena pintu ditutup keras oleh seseorang dari luar. Chole yakin itu Helios yang memang tidak bisa kalau tidak kasar. Namun, ... ini benar-benar membuat Chole tak percaya. Chole sampai merinding sekaligus menitikkan air mata bahagia. Tadi, ... tadi Helios menyebutnya sebagai istri!

“Kok sweet, ya? Tuh orang sebenarnya maunya apa, sih? Mau disayang kali, ya? Kan sudah aku jelasin, aku mau sayang, cinta dia. Asal dia jangan galak-galak. Soalnya di dunia ini enggak ada yang jual stok nyawa!” batin Chole tersedu-sedu. Namun alasannya begitu karena ia terlalu bahagia.

“Saya enggak mau pak Mul berkeliaran di sekitar kamar saya apalagi kalau istri saya sedang di dalam, ya! Kalau enggak, sudah, Pak Mul enggak usah kerja ke saya!”

Sekali lagi, Chole yang sengaja menguping pembicaraan di depan, menjadi makin terenyuh. “Ternyata Mas Helios bisa bikin gemes juga!” batinnya.

Jebred!

Suara terbukanya pintu yang langsung ditutup dengan terbanting, juga dibarengi dengan Helios yang langsung terlonjak kaget. Ia mengira Chole yang masih memakai mukena lengkap dengan cadar, sebagai penampakan. Ditambah lagi, suasana kamar mereka masih remang-remang.

“Masa iya, mafia, anaknya kyai, takut hantu! Enggak lucu!” cibir Chole sambil menggeleng tak habis pikir.

Chole segera pergi, mengambil sebotol air minum kemudian memberikannya kepada Helios yang masih batuk-batuk. Chole yakin, Helios yang awalnya berniat mengambil minum di luar, jadi tidak jadi gara-gara pria itu malah memergoki pak Mul.

“Kalau Mas berani menolak, berarti Mas cinta ke aku!” Chole sengaja menantang Helios, mafia kejam yang gengsinya lebih besar dari gaban.

Seperti yang Chole harapkan, Helios langsung menenggak habis air minumnya sesaat ia menyindir pria itu untuk minum sambil duduk. “Nah gitu, minumnya sambil duduk sesuai sunah. Kan jadi kelihatan manusianya.”

“Kapan-kapan, aku juga mau dikenalin dengan orang tua Mas. Mas juga jangan lupa, sebagai anak, Mas wajib kirim doa buat mereka. Syukur-syukur, Mas sampai bangun pondok baru. Pondoknya gratis, kan Mas saja sudah punya banyak uang. Kalau perlu, nanti aku bantu galang dana ke teman-teman,” ucap Chole yang masih berdiri di depan pintu.

Helios yang masih duduk di pinggir tempat tidur, menjadi sibuk berdeham.

“Deham gitu maksudnya hati Mas tersentuh, kan? Iya, kan?” tuding Chole terus memojokkan Helios yang tentu saja tidak akan pernah mau mengaku.

“Mas, ... aku mau melamar Mas. Aku ingin ajak Mas mengenal bahagia. Biar Mas enggak marah-marah terus. Mas beneran enggak usah jadi orang lain. Enggak usah jadi mas Heri maupun mas Helios. Mas cukup jadi diri Mas yang bisa membebaskan diri Mas buat bahagia,” lembut Chole sambil menatap dalam seorang Helios. Ia hanya ingin menyirami Helios dengan cinta dan kasih sayang yang selama ini tidak pernah pria itu rasakan.

Detik itu juga, Helios teringat kata-kata Excel. Bahwa dirinya akan sangat rugi jika sampai menolak Chole yang Excel ibaratkan sebagai berlian.

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***