“Karin,” panggil Wicaksono pada asistennya yang sedang menunggu taksi di pinggir jalan.
“Pak Wicaksono, bapak belum pulang?” ujar Karina yang terkejut saat bos besarnya menghampiri dirinya.
“Ini baru mau pulang, saya ingin berbicara sesuatu dengan kamu mari ikut saya sekalian kita makan malam bersama.”
Karina mengangguk dan mengikuti bosnya yang masuk ke dalam mobil. Mobil mewah berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah restoran chinese food tempat favorit Wicaksono sedari dulu.
Wicaksono memesan banyak makanan untuk dirinya dan juga Karina pada seorang pelayan yang menghampirinya dan pergi setelah mencatat pesanan pelanggannya.
“Pak, bapak harus ingat jangan terlalu banyak makan daging merah itu tidak baik untuk kesehatan anda,” tutur Karina mengingatkan bosnya untuk menjaga pola makan di usianya yang sudah tidak muda lagi.
Wicaksono terkekeh dengan perhatian yang diberikan oleh Karina terhadapnya. “ Kamu memang selalu perhatian Karin, seandainya saya masih muda mungkin saya sudah menikahi kamu tapi sayang saya sudah tua dan tidak pantas untuk kamu,” kata Wicaksono yang membuat Karina tertawa kecil.
“Anda bisa menjadi ayah saya, Pak,” jawab Karina yang mendapatkan respon bagus dari Wicaksono.
“Oh ya, bapak mau bicara apa sama saya?” tanya Karin mengingatkan bosnya yang ingin membahas sesuatu dengannya.
“Astaga saya sampai lupa gara-gara terlalu senang bisa menjadi ayah kamu,” kekeh Wicaksono. “Begini Karin, saya ingin membicarakan soal ucapan Farida yang meminta kamu untuk menikah dengan Julian di depan orang-orang. Saya berharap kamu tidak ambil hati dengan ucapannya yang telah membuat kamu malu,” sambung Wicaksono berbicara dengan serius.
Karina tersenyum dan menanggapi pembicaraan bosnya dengan nada santai. “ Bapak tidak perlu khawatir, saya tidak apa-apa kok dan saya juga hanya menganggap perkataan nyonya Farida sebagai candaan biasa saja.”
“Kamu memang berhati baik Karin, saya tidak menyesal karena sudah memposisikan kamu sebagai asisten saya … tapi--.” Wicaksono menjeda ucapannya membuat Karin menautkan kedua alisnya menunggu bosnya menyelesaikan kalimatnya.
“Tapi apa, Pak?”
“Saya juga berharap Julian akan menyukai kamu dan kamu mau menjadi istrinya,” cetus Wicaksono.
Karina tersentak mendengar penuturan bosnya yang juga memiliki keinginan sama dengan sang menantu, kok bisa sih Wicaksono berbicara seperti itu? Apa yang kurang dari Farida sehingga dia ikut-ikutan ingin menjadikan Karina sebagai istri dari putranya.
“Loh kenapa bapak juga ingin saya menjadi istrinya Pak Julian? Pak Juliankan sudah memiliki istri lebih cantik dari saya lagi.”
“Ya saya tahu, tapi saya mengatakan ini bukan tanpa alasan. Farida tidak bisa memberi saya cucu, maka dari itu saya juga ingin kamu menikah dengan putra saya tapi kamu tidak perlu khawatir saya tidak akan memaksa kamu atau pun Julian saya hanya akan mendukung jika Julian mau menuruti keinginan istrinya untuk menikahi kamu,” tutur Wicaksono.
“Maaf pak sebelumnya, kenapa nyonya Farida tidak bisa memiliki anak? Dan kenapa kalian memilih saya untuk jadi istri Pak Julian kenapa tidak mencari wanita lain saja?”
“Farida sakit dan didiagnosis tidak akan pernah bisa memiliki anak dan alasan saya memilih kamu karena saya yakin kamu adalah wanita yang cocok untuk Julian yang bisa memberi saya seorang cucu untuk meneruskan perusahaan.”
Karina diam sesaat, dia berpikir ada apa dengan hari ini. Mendadak sekali dua orang berbicara padanya dan meminta dirinya untuk menikah dengan pria yang baru saja dia kenal selama lima menit itu. Mungkin jika pria yang di sodorkan kepadanya masih single dia tidak akan menolak, sebab siapa sih yang tidak mau menikah dengan pria kaya raya seperti Julian yang akan menjamin kehidupannya sampai sepuluh turunan, tapi masalahnya Julian sudah memiliki istri jelas saja Karina tidak akan mau menerimanya.
Karina tidak ingin menghancurkan rumah tangga orang lain walaupun Farida sendiri yang memintanya dan Karina juga tidak mau menjadi istri kedua dari pria yang tidak mencintainya, terlebih lagi dia tidak ingin jadi bahan gunjingan orang-orang karena akan menganggapnya sebagai pelakor yang hanya menginginkan harta kekayaan keluarga Wicaksono saja.
Dia berpikir akan lebih baik hidup menjomblo seumur hidup daripada harus menjadi madu wanita lain dan apapun alasan yang Wicaksono dan Farida berikan padanya Karina tidak akan pernah mau menikah dengan pria yang sudah memiliki istri seperti Julian.
“Karin, tidak perlu di pikirkan saya tidak akan memaksa kamu untuk melakukan hal yang tidak kamu sukai,” kata Wicaksono yang sadar jika mantan asistennya sedang tertekan.
Karina hanya tersenyum sambil mengangguk. Dia menikmati makanannya dan melupakan keinginan Wicaksono yang lagi-lagi Karina anggap hanya sebagai bualan.
.
.
.
.
****
Keesokan Harinya.
Hari ini adalah hari pertama bagi Julian masuk kerja dan menyandang jabatan sebagai Ceo di perusahaan ayahnya. Didampingi oleh manajer Fadel yang merupakan sahabatnya sedari kecil, Julian masuk ke ruangan barunya dan langsung terkesima pada suasana ruangan yang sesuai dengan kriterianya.
Julian mengedarkan pandangannya pada setiap sudut ruang kerjanya yang memiliki interior dengan gaya klasik serta warna cat putih dipadu padankan dengan warna coklat yang berasal dari kayu yang mendominasi dinding serta mebel yang mengisi ruangan tersebut.
“Waw, ruangannya sangat sesuai dengan seleraku,” puji Julian yang puas dengan ruangan kerja barunya.
“Syukurlah kalau kamu suka, ini semua ide Karina bahkan dia sendiri yang turun tangan untuk menata ruangan ini,” ujar Fadel yang ikut berkeliling untuk melihat ruangan tersebut yang terasa begitu nyaman.
“Dia punya selera bagus rupanya,” cetus Julian yang tanpa sengaja melihat secangkir kopi americano kesukaannya yang masih mengepul di atas mejanya.
“Tidak hanya selera, dia juga berbakat dalam segala bidang,” puji Fadel.
“Hei, kau tersenyum saat memujinya apa kau menyukainya?” goda Julian saat melihat sahabatnya menyunggingkan sudut bibirnya ketika memuji asistennya.
Fadel hanya tersenyum, dia tidak menjawab iya maupun tidak saat Julian menggodanya menyukai Karina.
“Kalau kau menyukainya, kenapa kamu tidak ajak nikah saja dia,” cetus Julian yang mendaratkan bokongnya di atas kursi kebesarannya sambil meraih cangkir kopi dan menikmati aroma pahit dari minuman tersebut.
“Pengennya sih begitu, tapi saingannya berat sampai satu kantor pada ngejar dia,” beber Fadel yang seolah tidak memiliki kesempatan untuk mengutarakan cintanya pada Karina.
“Oh ya? Kasihan sekali kamu ya.” Julian meledek Fadel tapi dengan ekspresinya yang datar
“Tidak perlu mengasihaniku, aku akan tetap berjuang sampai titik darah penghabisan,” kata Fadel mendramatisir nada bicaranya.
“Hm, aku akan mendukungmu sahabatku,” ujar Julian yang kembali menyesap kopinya yang terasa nikmat beda dari kopi lain yang pernah ia cicipi.
Disaat kedua pria itu sedang berbincang, Karina datang dengan setumpuk berkas di tangannya.
“Eh, maaf pak saya pikir bapak belum datang,” ucap Karina yang masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.
“Tidak apa-apa,” jawab Julian seraya menoleh pada sahabatnya yang sedang menatap Karina tanpa berkedip.
“Oh iya pak ini file-file yang belum sempat Pak Wicaksono kerjakan, beliau memerintahkan agar bapak menyelesaikannya.” Karina menyimpan tumpukan file tersebut di atas meja kerja Julian, kemudian menyapa Fadel yang baru kembali dari belanda.
.
.
.
.
.
. Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments