Pagi itu, ketika Bima sudah berangkat kerja, Ira berpamitan untuk pergi ke pasar. Satu kegiatan rutin yang pasti dia lakukan setiap hari, setelah anak perempuannya yang bernama Jessi sudah berangkat sekolah bersama ayahnya. Gadis kecil itu masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar.
"Ira, ini daftar belanjaannya. Jangan lupa minta nota pada setiap pedagang yang kamu beli barangnya!" titah Ratna kepada menantunya.
Ira pun mengangguk, kemudian dia lekas mengambil secarik kertas yang berisi macam macam sayur, ikan serta bumbu bumbu dapur. Mertuanya memang selalu meminta nota kepada Ira acap kali pulang dari belanja di pasar. Jika sampai ada selisih seribu rupiah saja dari total belanjaan, maka itu akan menjadi masalah yang di besar besarkan oleh sang mertua.
Pagi itu Ira begitu bersemangat, dia tidak mempedulikan ocehan sang mertua ataupun sikap dingin suaminya yang selalu memeras kesabaran. Karena, selain ke pasar, pagi itu Ira hendak menuju ke suatu alamat yang sudah hampir sepuluh tahun tidak dia kunjungi. Tepatnya setelah dia memutuskan menikah dengan Bima.
Setelah turun dari angkutan kota yang biasa Ira tumpangi ketika ke pasar, istri Bima tersebut mencari ojek untuk menuju ke suatu tempat yang jaraknya masih lima ratus meter lagi dari tempatnya berdiri. Pagi itu dia membawa uang lebih dari tabungan putrinya. Jessi, putri semata wayangnya tahu jika ibunya tidak pernah memegang uang, sehingga dia sengaja menyisihkan uang jajannya setiap hari untuk dia berikan kepada sang ibu.
"Berhenti Pak," ujar Ira ketika tiba dia depan rumah mewah pinggir jalan raya. Ira memberikan lembaran uang sepuluh ribuan sebagai ongkos untuk tukang ojek tersebut.
Ira menarik nafas dalam ketika dirinya tengah berdiri di depan pintu gerbang rumah tersebut. Dia pandangi pemandangan sekitar rumah yang masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Hatinya bergetar hingga membuat tubuhnya sedikit gemetar. Muncul rasa kekhawatiran serta ketakutan di benak Ira, karena rumah mewah yang ada di hadapannya itu adalah rumah milik orang tua Ira yang selama ini tidak di ketahui oleh keluarga Bima, ataupun orang orang di sekitar kehidupan rumah tangganya dengan Bima.
Sepuluh tahun yang lalu, Ira memutuskan pergi dari rumah karena tidak mendapat restu dari keluarga untuk menikah dengan Bima. Dan konsekuensinya Ira akan terputus hubungan serta semua fasilitas dari orang tuanya. Bahkan, sang ayah dengan terang terangan tidak mau mengakui Ira anak jika tetap menikah dengan Bima. Pertengkaran hebat sepuluh tahun yang lalu itu menjadi akhir pertemuan Ira dengan kedua orang tuanya.
Tanpa terasa, air mata mulai mengguyur wajah Ira. Penyesalan yang terdalam muncul di hatinya. Lelaki yang sudah dia yakini akan menjadi keluarga baru yang akan memberikannya kebahagiaan, nyatanya lelaki itu hanya membawa luka di hatinya.
"Ayah, Bunda... Ira datang kembali. Ira harap, masih ada pintu maaf dari kalian untukku..." gumam Ira dalam hati.
Setelah berhasil mengumpulkan keberanian, perlahan Ira mulai melangkah lalu menekan bel yang ada di depan gerbang. Seorang lelaki paruh baya berlari menuju ke arah pagar untuk melihat siapa yang datang. Dia adalah, Pak Ali. Seseorang yang setia bekerja untuk keluarga Ira, sejak Ira masih kecil.
"Non Syakira," panggil Pak Ali yang dengan mudah mengenali wajah majikannya tersebut. Antara percaya dan tidak, Pak Ali bahkan mengulang ulang pertanyaannya.
"Ini beneran Non Syakira kan?" tanya Pak Ali sekali lagi, kemudian Ira pun mengangguk. Tentu saja dengan penjaga gerbang itu terkejut melihat penampilan majikannya yang lebih mirip seperti seorang pembantu. Mengenakan daster, sandal jepit dan membawa keranjang belanjaan. Bahkan wajahnya kusam tanpa make up.
"Mari Non, silahkan masuk." ujar Pak Ali. Namun, mendadak langkah Ira terhenti.
"Kenapa Non?" tanya Pak Ali.
"Ayah dan Bunda, apakah ada di rumah Pak?" tanya Ira.
"Tuan? Non mencari Tuan? Apa Non sedang bercanda? Atau memang tidak tahu?" tanya Pak Ali.
"Tahu tentang apa Pak?" Ira pun balik bertanya.
"Tuan, Tuan, Tuan sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat serangan jantung. Dan Nyonya, sekarang menderita stroke sejak kepergian Tuan..."
Dada Ira mendadak terasa sesak mendengar kabar mengenai orang tuanya. Lututnya terasa lemas dan tak mampu menopang tubuhnya. Bahkan, dengan sigap Pak Ali lekas menangkap tubuh Ira yang hampir terjatuh.
"Antar aku pada Bunda, Pak..." ujar Ira dengan bibir gemetar.
"Baik Non," jawab Pak Ali sembari menuntun Ira, berjalan masuk menuju ke rumah.
"Bunda......" teriak Ira ketika dia berhasil masuk ke dalam rumah, lalu dia dapati Bundanya tengah duduk di kursi roda dengan tubuh lemah tak berdaya.
Lain dari yang di perkirakan oleh Ira, ternyata Bundanya terlihat begitu antusias menyambutnya. Padahal, awalnya Ira mengira bahwa dirinya akan kesulitan memberi penjelasan serta meminta maaf kepada orang tuanya.
"Syakira putriku, kemari lah sayang.... Bunda rindu padamu," teriak wanita berusia lima puluh tahun tersebut. Sontak, Ira lekas mendekat lalu memeluk Bundanya dengan erat. Kedua kaki serta badan beliau memang mengalami kelumpuhan, tetapi beliau masih bisa berbicara.
Pertemuan haru itu mengisahkan cerita haru dari keduanya. Bunda Ira menceritakan kepedihan ketika kehilangan mendiang suami hingga menyebabkan beliau menderita stroke. Sementara Ira sendiri juga menceritakan kepedihan rumah tangga yang dia alami dengan Bima.
"Bunda tidak rela Nak, kamu di perlakukan seperti itu. Lebih baik kamu segera menggugat cerai suamimu, lalu kembalilah ke rumah ini. Semua aset keluarga kita adalah milikmu, karena kamu adalah pewaris tunggal." ungkap Bunda Ira yang bernama Novi, kepada putrinya sembari menyeka air mata.
"Terima kasih Bun, Bunda masih menerima Ira di keluarga ini. Tetapi, tidak semudah itu Ira menggugat cerai. Karena, Ira ingin melihat kehancuran Mas Bima sebelum aku resmi menjanda."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Wirda Lubis
lanjut
2023-10-19
1
andi hastutty
diusir karena tidak direstui dan ayahnya meninggal tidak tau dan tidak ada yg mengabari
2023-10-08
1