Sabintang duduk di antara dua manusia yang tengah menginterogasi dirinya. Sabintang sudah menjelaskan semuanya kepada Jupiter dan Raina, Sabintang tidak kuat jika harus menanggung beban itu seorang diri. Biarkan Raina marah-marah atau mencakar wajahnya, Sabintang benar-benar tidak tahu harus bercerita kepada siapa lagi. Lia tidak dalam kondisi mendukung Sabintang, apalagi Sabinta, gadis itu sama terlibatnya dengan Sabintang.
"Bodoh" Maki Raina untuk yang ke sekian kalinya.
Jupiter hanya diam mendengarkan, lelaki itu tidak memaki atau menyudutkan Sabintang. Jupiter tahu kalau Sabintang hampir kehilangan kewarasan karena kehilangan Rembulan, Jupiter tahu bagaimana sahabatnya itu sangat mencintai Rembulan meskipun Sabintang sering menyangkal dan menyakiti gadis itu.
"Gue cinta sama Bulan. Gue tahu Gue bodoh banget karena sudah menyakiti dia. Tapi, apa enggak ada kesempatan buat Gue perbaiki semuanya? Gue ingin melindungi Bulan, Gue ingin berada di garis terdepan saat ada orang yang ingin mencelakai dia" Ujar Sabintang frustrasi.
Raina tidak lagi memaki Sabintang, gadis itu menghela nafas berat.
"Lo belum cerita kenapa nyokap Lo yang awalnya mendukung Lo malah berubah pikiran" Ujar Jupiter setelah terdiam cukup lama.
"Gue sama Rembulan ada di jalan takdir yang berbeda"
Jupiter menepuk pundak sahabatnya, "Kalau Lo yakin sama pilihan Lo, jangan menyerah dengan keadaan"
Raina sibuk dengan pikirannya sendiri, meskipun Raina adalah teman pertama Rembulan, tapi gadis itu tidak tahu menahu permasalahan hidup Rembulan. Rembulan tidak pernah menceritakan apa pun selain mendengarkan Raina, Raina merasa menjadi teman paling jahat karena tidak tahu apa pun.
"Gue bisa minta sesuatu sama kalian berdua?" Tanya Sabintang pelan.
Pikiran Raina ter alihkan, gadis itu menatap Sabintang tanpa kata.
"Gue minta kalian jangan meninggalkan Bulan, temani dia selagi Gue menjaga dia dari jauh"
"Tanpa Lo minta, Gue akan melakukan hal itu" Ujar Raina.
"Rembulan sekarang seperti orang asing yang enggak kita kenal, tapi Gue lupa kalau selama ini Gue enggak pernah benar-benar kenal sama Rembulan. Rembulan penuh misteri yang tidak mampu kita lampaui" Lanjut Raina.
"Soal Sabinta, apa dia masih mencintai lelaki itu?" Tanya Raina.
Sabintang menggeleng, "Gue enggak tahu. Sejak di mana Rembulan pergi, sejak itu pula Gue enggak pernah lagi menjadi pendengar buat Sabinta"
"Apa Lo enggak takut Sabinta cemburu terus mencelakai Rembulan?" Tanya Raina membuat Sabintang buru-buru menggeleng.
"Ngga mungkin. Kenapa Sabinta harus cemburu? Selama ini Gue terus menuruti apa mau dia sampai harus kehilangan Rembulan. Dan Sabinta, enggak mungkin senekat itu, Gue tahu betul bagaimana sikapnya" Ujar Sabintang yakin.
"Gue rasa apa yang di bilang Bintang benar, Sabinta enggak mungkin sampai senekat itu" Ujar Jupiter memberi pendapat.
Raina mengangguk pelan, "Sudah sore, Jup pulang yuk. Mak Gue sudah Wa nih dari tadi".
"Ya elah belum juga jam 7" Ujar Jupiter kesal.
"Lo mau di sunat lagi sama Mak Gue?" Tanya Raina sedikit mengancam.
Sabintang tertawa pelan melihat wajah Jupiter yang meringis ngeri.
"Seram Mak Lo Rai, kasihan nanti yang jadi mantunya" Ujar Jupiter.
"Kan Lo yang bakal jadi menantunya Jup" Ledek Sabintang membuat Jupiter buru-buru mengelus dada.
"Dih ogah Gue punya suami penakut kayak Lo" Cibir Raina.
"Gue juga ogah punya Istri dan Mertua galak kayak Lo" Balas Jupiter.
Setidaknya, keributan Jupiter dan Raina sedikit membuat pikiran Sabintang ter alihkan.
Di tempat yang berbeda, Sabinta diam mematung, terkejut melihat seseorang yang paling ia hindari untuk bertemu, setidaknya dalam waktu dekat ini. Berdiri di depannya dengan santai.
"Kita ketemu lagi, Sabinta" Orang di depan Sabinta tersenyum miring membuat tubuh Sabinta bergetar.
"La-langit?" Eja Sabinta terbata.
"Lo lupa sama Gue, Sabinta?" Tanya Langit dengan ekspresi berpura-pura sedih.
"Ngga menyangka bakal ketemu sama Gue lagi?" Tanya Langit sambil tersenyum miring.
Pikiran Sabinta mendadak kacau, kemunculan Rembulan kemarin sudah membuat Sabinta kalang kabut meskipun belum bertemu secara langsung, kini di tambah dengan kemunculan Langit. Sabinta merasa dunianya tidak akan lagi tenang seperti sebelumnya.
"Baru ketemu Gue saja Lo sudah langsung takut seperti ini, bagaimana jadinya kalau Gue-" Langit sengaja tidak melanjutkan kata-katanya, ingin melihat wajah ketakutan Sabinta.
Sabinta mengepalkan tangannya erat, "Gue sudah enggak ada urusan sama Lo"
Langit tersenyum miring, "Itu menurut Lo"
"Kasihan Sabintang, punya kembaran munafik" Lanjut Langit membuat Sabinta semakin emosi mendengarnya.
"Jaga mulut Lo! Gue enggak ada urusan sama Lo" Bentak Sabinta dengan wajah memerah.
"Lo yang memulai urusan itu sama Gue, Sabinta. Lo yang mulai! Sedikit pun Gue enggak pernah cinta sama Lo, Lo tahu alasannya?"
"Karena Lo enggak berhak atas itu"
Kepalan tangan Sabinta semakin mengetat, emosi bercampur sakit hati berbaur menjadikan kebencian mendalam kepada seseorang yang tidak seharusnya di benci, Rembulan.
"Oh satu lagi, yang harus Lo benci adalah diri Lo sendiri, bukan Rembulan. Dia enggak salah apa pun bahkan dia enggak tahu apa pun!" Ujar Langit penuh penekanan.
Pancaran mata Sabinta tidak lagi teduh seperti biasa.
"Tapi karena dia, Lo berubah Langit!" Ujar Sabinta lirih.
"Gue berubah karena sikap Lo, Sabinta. Lo bukan hanya menyakiti Rembulan, Lo juga menyakiti Sabintang kembaran Lo sendiri. Lo adalah orang egois yang pernah Gue kenal, dan Gue menyesal sudah kenal sama Lo"
Langit langsung pergi dari hadapan Sabinta. Sabinta terduduk dengan tangan yang masih mengepal keras. Matanya memerah tapi tidak ada air mata yang keluar, Sabinta sudah mati rasa atas hidupnya, dan mungkin rasa kemanusiaan gadis itu sudah hilang sejak Rembulan datang masuk ke dalam kehidupannya.
...****************...
Sabintang menatap heran ke arah Sabinta yang pulang dalam keadaan kacau, tidak biasanya gadis itu seperti ini. Untungnya Lia sedang tidak ada di rumah. Tangan Sabinta yang berdarah membuat Sabintang langsung menghentikan langkah kembarannya.
"Tangan Lo kenapa Sab?"
Sabinta menepis kasar tangan Sabintang membuat Sabintang kaget.
"Lo kenapa? Lagi ada masalah?" Tanya Sabintang lembut.
Sabinta menatap Sabintang dengan datar, "Telat"
Sabintang menatap Sabinta penuh keheranan, "Telat? Maksudnya?"
"Lo telat kalau bertanya keadaan Gue sekarang. Bertahun-tahun lalu, Lo ke mana saja?" Tanya Sabinta sinis.
"Sabinta, Gue enggak mengerti apa pun maksud Lo, Lo bisa jelaskan maksud Lo apa?"
Sabinta menggeleng di sertai senyum sinisnya. Setelah bertemu lagi dengan Langit, Sabinta tidak lagi bisa menahan diri. Apalagi dia di salahkan oleh semua orang.
"Gue benci sama semua orang" Ujar Sabinta penuh penekanan.
"Termasuk Gue?" Tanya Sabintang. Sabintang berharap Sabinta menjawab dengan gelengan kepala, tapi harapannya runtuh kala Sabinta mengangguk masih dengan senyum sinisnya.
"Gue benci lahir bareng-bareng sama Lo. Ah malah Gue benci di lahirkan di keluarga ini"
"SABINTA!" bentak Sabintang. Dada lelaki itu naik turun menahan emosi, tidak menyangka kalau Sabinta akan berkata seperti itu.
"Kenapa? Ucapan Gue salah ya?"
Tanpa pedulikan Sabintang, Sabinta masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan keras.
Sabintang memijit pelipisnya, bingung dengan perubahan sikap adiknya. Selama ini Sabintang selalu menuruti kemauan Sabinta sekalipun itu menyakiti Sabintang sendiri.
"Kenapa Lo, seperti bukan Sabinta yang Gue kenal lagi"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments