Martin dan Marlina melambaikan tangannya ketika mobil yang dikemudikan Reyn dan keluarganya meninggalkan kediaman mereka siang itu.
Sepasang suami isteri itu menunda niatnya untuk masuk kerumah saat melihat Steven berdiri didepan pagar rumah mereka memohon untuk masuk.
"Benarkan kata Ayah, anak muda itu pasti datang lagi untuk menemui putri kita," timpal Martin.
"Udahlah Yah, acuhkan saja. Bunda kan sudah bilang semalam, supaya dia tidak perlu menemui Rose lagi." Marlina yang terlanjur sakit hati pada ibu Steven langsung bergegas,, namun Martin menahan tangan isterinya supaya tetap berdiri diposisi semula.
"Bunda, kita tunggu saja sampai anak itu mendekat, kasihan juga bila kita mengacuhkannya. Ingat, mengacuhkan tamu sangat tidak sopan, apalagi disini Ayah adalah seorang ketua RT,".ucap Martin, ia memberi isyarat supaya Steven datang mendekat.
"Selamat siang Om, Tante," Sapa Steven, begitu dirinya telah berdiri dihadapan kedua orang tua Rose.
"Selamat siang juga Steven. Ayo duduk dulu," Martin mempersilahkan Steven duduk pada kursi berbahan kayu diteras rumah.
Steven tersenyum sopan. "Terima Om, Tante." Ia melangkah mengikuti Martin dan Marlina menuju kursi teras yang ditunjuk. Sejenak ia memperhatikan suasana rumah Rose yang nampak tenang dan asri, ditumbuhi berbagai tanaman hias dan beberapa pohon buah-buahan yang dicangkok membuat rumah itu tetap terasa sejuk walau disiang hari yang terik.
"Mau minum apa Steven?" tanya Marlina menawarkan, berusaha menampilkan senyum ramah pada tamunya.
"Tidak usah repot-repot Tan, saya sebentar saja," tolaknya halus.
"Walau sebentar, kau harus tetap minum Steven. Peraturan dirumah ini, tamu tidak boleh pulang sebelum minum segelas air." Martin turut menawarkan.
"Baiklah, apa saja Om, saya akan minum," sahut Steven menyetujui.
"Bibi Ara!" panggil Marlina.
"Iya Bu," terdengar suara bi Ara dari dalam, wanita paruh baya itu tergopoh-gopoh menghampiri majikannya.
"Tolong buatkan tiga gelas es lemon tea ya Bi," pinta Marlina.
"Baik Bu," begitu mendapat pesanan, bibi Ara bergegas ke belakang, menyiapkan permintaan sang majikan.
"Ada keperluan apa kau kemari Steven?" tanya Martin kemudian
"Saya kebetulan pulang dari Universitas, mendapftarkan kuliah Om. Sejak semalam saya menelpon dan mengirim pesan, tidak satupun diangkat atau dijawab Rose sampai siang ini. Jujur saja saya khawatir, karena semalam Rose sakit ketika pulang bersama Om dan Tante," Steven menghentikan ucapannya beberapa detik hanya untuk mengambil napas sebelum melanjutkan perkataannya.
Martin dan Marlina terlihat menyimak setiap ucapan Steven.
"Tadi, saya sempat bertemu Rose didepan, ketika ia pulang dengan bus sekolah. Semalam, hubungan kami baik-baik saja. Tapi siang ini, Rose seperti marah pada saya dan meminta saya menjauhinya," Pemuda itu kembali menjedah ucapannya, seolah ada beban berat yang mengganjal didadanya.
"Tante," Steven memandang wajah Marlina yang duduk berdampingan dengan Martin dihadapannya.
"Apa benar kata Rose, kalau Mami bilang ke Tante, kalau Mami tidak merestui hubungan Steven dengan Rose? Dan Mami sampai mengatakan tentang bibit, bobot, dan bebet?" cecar pemuda itu dengan raut penuh tanya.
Marlina dan Martin saling berpandangan. Bagimana Rose bisa tahu? Batin Marlina, seingatnya, saat ia berkisah dengan suaminya dikamar, mereka terlebih dahulu memeriksa kamar Rose, dan putri mereka itu sudah tertidur.
"Apa benar begitu Tan?" tanya Steven lagi. Ia memandang wanita itu yang masih tergugu dan saling berpandangan dengan suaminya.
"Semalam, ibumu memanggil Tante secara pribadi ke ruangan yang berada di lorong menuju toilet," ucap Marlina mengingat tempat ia berbicara dengan ibu Steven.
"Tante juga tidak tahu, kenapa Rose bisa tahu cerita ini. Tapi yang jelas, apa yang dikatakan Rose padamu itu, itulah yang disampaikan ibumu pada Tante tadi malam," sahut Marlina menatap pemuda dihadapannya.
"Karena hal itulah Tante berpesan padamu sesaat sebelum kami pulang, supaya kau dan Rose jangan saling bertemu lagi, kau harus kuliah dengan baik, karena itulah yang diinginkan ibumu. Lagi pula ibumu benar, kalian berdua sama-sama terlalu muda untuk membina hubungan yang lebih serius, dan juga sangat rentan dengan bahaya bila dibiarkan. Tante harap kau mengerti Steven, ini semua juga untuk kebaikan kau dan Rose," sambung Marlina.
Steven duduk membisu, dirinya masih belum bisa percaya bila ibunya berkata demikian, karena dihadapannya ibunya sangat mendukung hubungannya dengan Rose sampai-sampai memaksa dirinya harus mengajak Rose datang ke pesta semalam. Tapi tidak mungkin Rose dan ibunya berbohong, Steven masih bergulat dengan fikirannya sendiri.
"Bu, ini minumannya," bibi Ara datang dengan membawa tiga gelas minuman dingin didalam nampan lalu menyajikannya diatas meja.
"Terima kasih Bi," ucap Marlina.
"Sama-sama Bu," bi Ara kembali meninggalkan tempat itu.
"Steven, diminum dulu," Martin membuyarkan lamunan Steven.
"I-iya Om, terima kasih," Steven mengambil minuman dihadapannya dan meneguknya. Terasa dingin dan menyegarkan disiang terik itu, tapi hatinya masih saja kusut, memikirkan apa yang baru saja ia dengar.
...⚘️⚘️⚘️...
"Bun, beneran pak Reyn itu anaknya paman Haswan dan bibi Sarina?" tanya Rose penasaran.
"Iya beneran, kenapa?" Marlina balik bertanya, ia meraih gelas jus dan memberikannya pada suaminya yang baru menyelesaikan makan malamnya. Sementara Rose sibuk mengupas buah duku dan memasukannya kedalam mulutnya.
"Nggak mirip sama sekali, apa pak Reyn anak pungut?" timpalnya asal.
"Hush! Asal aja kalau ngomong," tegur Marlina dengan jari telunjuk menempel diujung mulutnya yang seketika memancung mendengar perkataan putrinya.
"Lha bener "kan? Gak ada mirip-miripnya, bo'ong aja kalau ada yang bilang mirip," ucap Rose masih membahas.
"Memangnya harus mirip? Kakakmu Bram saja tidak mirip sama Ayah dan Bunda kok, tapi Bram tetap anak kami, iyakan Bun?" Marlina langsung mengangguk mengiyakan.
"Hanya kamu yang sedikit mirip Ayah dan banyak mengikuti wajah Bundamu, tapi sikap manjamu itu sangat berlawanan dengan Bundamu yang mandiri, dan malas bangun pagi, dan tidak bisa masak, dan--"
"Stop Ayah!" Rose buru-buru menghentikan ayahnya dengan tangan mengembang diudara. "Rose sudah tahu, nggak perlu dirinci satu-satu kekurangan Rose, bikin sakit telinga Rose aja," ucap gadis itu dengan wajah manyun tidak suka.
"Rose mau kekamar, mau belajar," gadis itu bergegas bangkit dengan wajah berubah kesal.
"Belajar?" Martin nampak heran. "Bukankah besok terima Raport kenaikan kelas? Setahu Ayah, semesteran saja kau malas belajar apalagi udah mau libur?" jujur Martin.
Rose nampak berfikir mendengar ucapan ayahnya, seketika ia duduk kembali. "Ayah benar, kebahagian terbesar Rose adalah saat datangnya musim libur, karena Rose terbebas dari BE-LA-JAR" ejanya lalu tertawa senang. Martin dan Marlina hanya menggeleng, hal itu memang bukan rahasia lagi.
"Bun, Rose gak pernah ngeliat sama sekali pak Reyn di rumah atau gerai orang tuanya waktu kita berkunjung kesana?" tanya Rose lagi, ia nampaknya masih penasaraan tentang gurunya yang tau-tau adalah anak dari orang yang ia kenal juga.
"Rose juga belum bisa percaya kalau orang seramah paman Haswan dan bibi Sarina bisa punya anak seperti pak Rey yang dingin, dan ngomongnya suka nyelekit," ucap Rose, mengingat beberapa kali dirinya pernah menerima ucapan tidak mengenakan dari gurunya itu.
"Reyn itu sekolahnya di Jogja karena dia anak yang pintar dan mandiri, dan kalau liburan dia pulang ke Samarinda membantu orang tuanya mengurus beberapa gerai milik mereka, dia anak yang rajin juga cerdas, tidak seperti dirimu Rose, malas," pungkas ayahnya lagi yang menjawab mendahului ibunya.
"Kenapa sih Ayah malam ini ngeselin! Nyebelin! Kaya si artis Jeng'Kelin itu." serobot Rose kesal, lalu berdiri dan bergegas pergi.
Bersambung...👉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Harusnya potoin aja Steven setiap kali dia menganggu Rose,Dan kasih ke mommy nya,Biar mommy nya tau siapa yg menganggu siapa..
2024-10-25
1
auliasiamatir
kkkkk rose kena trlerus.. makanya yang rajin rose
2023-10-20
1
auliasiamatir
sebenar nya steve anak yang baik sih
2023-10-20
1