My Teacher Is My Husband
...Untuk menjadi kuat, kita punya dua pilihan. Menerima setiap apa yang di takdir kan untuk kita, atau memilih menciptakan takdir kita sendiri...
...🌺🌺🌺...
Namaku Citra Laila zanna, orang-orang memanggilku zanna. Lebih tepatnya teman-teman yang mau bergaul denganku.
Kenapa? Karena tidak banyak sih yang memanggilku karena aku bukan orang yang terkenal.
Aku punya orang tua yang sangat aku cintai, ayahku bernama Bara dan ibuku Vina, kami tinggal di kota kecil jauh dari ibu kota. Berada jauh dari ibu kota membuat kehidupan kami cukup sederhana.
Untungnya saya bukan orang yang suka jalan-jalan, ya ... aku hanya anak rumahan yang bahkan jarang bergaul dengan tetangga ataupun teman sebayaku, teman satu kelasku. Sedangkan orang tuaku punya toko sembako yang tidak besar tapi cukup untuk membiayai hidup kamu.
Layaknya anak pemilik toko, sudah terlihatlah bagaimana kehidupanku sehari-hari.
"Zanna, ada yang beli. Ibu lagi masak, tolong layani ya!" teriak ibuku membuat kegiatan mengkhayalky di kamar jadi terganggu lagi dan lagi. Ini buka. teraikan yang pertama, ini sudah yang ke sekian kalinya.
Heehhhhhhh
Hanya helaan nafas panjang dan langkah lunglai menuju ke toko kelontong ibuku menjadi pilihannya.
Itu adalah rutinitas pertamaku, rutinitas kedua, setiap hari sebelum berangat sekolah aku harus membantu ibuku menjual sayur matangnya jika aku mau mendapat uang saku. Aku bukan anak tunggal, adikku masih dua kecil-kecil dan untuk membantu merawat mereka saat ibu sedang repot sedangkan ayahku, setiap hari dia sibuk mencari tambahan pemasukan dengan memasok beberapa barang dari luar kota dan akan kembali satu Minggu sekali. Begitulah kata ibu, kalau jelasnya aku juga tidak tahu, yang penting aku cukup percaya saja.
"Zanna, itu adikmu mau makan, ibuk lagi repot." teriak ibuku, entah apa semua ibu hobi teriak-teriak ya? Aku rasa begitu. Anak tetangga juga sering mengeluhkan teriakan ibunya saat di suruh belanja.
"Bentar bu, aku matikan kompor dulu!" aku benar-benar sudah nampak seperti baby sitter bagi kedua adikku yang katanya masih untuk, tapi menurutku tidak. Mereka perusuh ....
Dua butir telur ceplok sudah jadi, aku tinggal menambahkan secentong nasi, bisa aku berikan untuk kedua adikku, sebenarnya tadi rencananya mau aku buat untuk makan sendiri untuk mengganjal perut sebelum ke sekolah.
Tapi ya sudahlah, apa boleh buat. Mereka lebih membutuhkan.
Hanya telur yang menjadi menu sarapan kami karena ibuku cukup sibuk di pagi hari, keluargaku bukan keluarga kaya yang bisa dengan mudah mendapatkan makanan enak setiap kali mau. Ibuku memang penjual sayur matang, tapi bukan ibu sendiri yang membuatnya. Ibu mengambil dari tetangga yang sengaja di titipkan di toko ibuk, karena setiap pagi pasti tetangga belanja keperluan dapur di toko kami.
Aku menghampiri kedua adik kembarnya yang sedang mengemasi bukunya,
"Sarapannya dek!" Aku meletakkan dua piring itu di atas meja yang ada di ruang makan, satu tempat dengan ruang belajar adik-adik ku yang masih SD itu.
Sengaja ibu dan ayah meletakkan meja belajar mereka di ruang makan karena kamar kami memang tidak luas, hanya berukuran tiga kali tiga meter yang hanya bisa dimasuki sebuah tempat tidur ukuran sedang dan satu lemari baju juga sebuah meja kecil.
Beberapa perabotan di rumah kami tidak di letakkan di tempatnya karena memang rumah kami cukup sempit untuk dihuni enam orang,
Oh iya hampir lupa, selain dua adik kembarnya, aku juga punya satu kakak laki-laki, tapi sayang hidupnya nggak jelas. Aku sering malu karena ulahnya. Mungkin orang tuaku juga sama tapi entahlah, mereka tidak pernah mengeluh.
Rumah yang kamu tempati adalah warisan dari orang tuan ibu. Walaupun begitu ibu terpaksa sudah menggadaikan sertifikasi untuk modal usaha, maka dari itu ibu, ayah dan mungkin aku harus bekerja keras untuk menebusnya.
Kakak laki-lakiku juga sudah tidak peduli lagi, aku malah lebih suka kalau dia tidak usah pulang karena setiap kali pulang selalu saja membuat ulah.
Dia sebenarnya sudah berkeluarga tapi tidak jarang ia meminta uang dari ibuku.
"Zanna, maafkan ibu ya, uang buat SPP kamu kepakek lagi, soalnya hari ini jatuh tempo pembayaran angsuran!" Ucap ibuku.
Hehhhhh
Dan lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas, karena hari ini juga jatuh tempo pembayaran SPP. Satu Minggu lagi ujian semester, jika tidak di bayarkan dalam satu Minggu terakhir maka aku akan terancam tidak bisa mengikuti ujian.
"Terserah lah Bu, zanna berangkat dulu!" ucapku kesal sambil meraih tangan ibuku dan mencium punggung tangannya berpamitan.
Bahkan untuk berkeluh kesah rasanya begitu berat kata itu keluar dari bibirku karena aku sudah tahu jawaban ibuku.
"Nanti ya, ibu pasti bayar, tapi bukan sekarang!!!" dan itu pun terus berulang.
"Kak, Rara sama Riri bareng ya!"
Hahhh, selalu ...., keluhku dalam hati, rasanya malas jika harus mampir ke sekolah mereka dulu, sudah pasti aku akan telat.
"Enggak, kakak terburu-buru." tolakku dengan cepat.
"Jangan begitu nak, lagian kalian kan searah. Nanti kalau adik mau sudah ibu belikan sepeda sendiri juga nggak akan nebeng kamu kan!"
Ya ampuuuunnn, ibu pembela....,
"Baiklah, baiklah. Ayo naik!" aku hanya bisa pasrah. sepeda miniku harus di tumpangi kedua adikku juga dan tahu apa imbasnya, aku harus sering turun dan mendorong sepedah dari pada menaikinya.
"Lain kali nggak usah nebeng kakak lagi, kakak capek tahu." keluku pada kedua adikku yang masih kelas dua SD.
Hahhh, bodoh sekali aku. Mana dia faham aku marah-marah pun mereka kira aku sedang becanda dengannya.
"Sudah sana masuk!"
Seperti kakak pada umumnya, meskipun mempunyai adik kehidupan kakak menjadi tergadaikan. Tetaplah aku seorang kakak yang mencintai kedua adikku.
Setelah memastikan mereka masuk ke dalam sekolah, aku pun bergegas untuk mengayuh sepedaku kembali. Sudah jam tujuh kurang lima, perjalanan menuju ke sekolah cukup jauh dan aku hanya menggunakan sepeda bututku, aku tidak puny kekuatan super yang bisa berpindah secepat kilat kan.
"Pak pak pak, jangan di tutup dulu gerbangnya!" teriaku pada pak satpam dan seperti biasa pak satpam sudah sangat hafal denganku
"Tunggu di situ, lima belas menit lagi baru boleh masuk ."
"Tapi pak, aku kan terlambatnya cuma lima_,"
"Lima belas menit!"
Hahhh terserah lah, lagi pula aku bisa beristirahat sebentar ....
Hari ini aku juga harus menambah catatan merah pada buku BP ku.
Terlambat, rasanya aku lupa bagaimana tidak terlambat.
Aku harus menunggu hingga gerbang itu di buka lagi dan menuju ke ruang BK.
"Kamu tuh sudah kelas tiga loh, harusnya tobat. Jangan telatan terus!" Gerutu pak satpam sambil membukakan pintu gerbang setelah lima belas menit membiarkanku di luar, aku memilih untuk tetap diam dan masuk ke halaman sekolah saat gerbang di buka, "Kalau kamu terlambat terus seperti ini, bisa jadi sekolah tidak akan meluluskan kamu!"
Aku hanya masih terus diam dan mengikuti langkah pak satpam. Di usia delapan belas tahun aku harus di tempa dengan kehidupan yang keras, kalaupun tidak lulus mungkin bukan hal yang berat buatku. Jika harus putus sekolah, aku rasa itu jauh lebih bagus. Aku bisa bekerja dan mengumpulkan uangku sendiri.
Tok tok tok
Pak satpam mengetuk pintu itu, pintu yang di atasnya ada tulisan ruang bimbingan konseling.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam.
Selagi pak satpam masuk aku memilih menunggu dan duduk di kursi panjang yang ada di teras ruang BK. Aku masih bisa mendengar percakapan mereka karena pintu tidak di tutup lagi.
"Selamat pagi pak Ardi, ini ada anak yang setiap hari terlambat!"
"Selamat pagi, mana anaknya?"
Aku merasa asing dengan suara guru BK, sepertinya dia bukan guru BK biasanya.
"Masuklah!" perintah pak satpam.
Aku terpaksa kembali berdiri, padahal kakiku masih terlalu capek untuk kembali di gerakkan, aku masuk menyusul pak satpam.
"Ini pak anaknya," tunjuk pak satpam padaku, aku masih menundukkan kepala.
"Saya tinggal dulu ya pak!"
"Iya, silahkan!"
Aku menundukkan kepalaku, berada di dalam satu ruangan dengan seorang pria membuat udara terasa sesak. Ingin rasanya segera pergi,
"Sebutkan namamu!" perintahnya, itu benar bukan suara pak Ramdan guru BK. Sekelebat aku bisa melihat pria di depanku itu, dengan baju keki khas guru dan sebuah gelang jam yang melingkar di tangannya yang di lipat di depan dada, ia berdiri dengan bersandar pada meja yang ada di depanku, tepat di depanku.
"Saya Zanna, pak!"
"Nama lengkap?"
"Citra Laila Zanna!"
Pria itu tampak merubah posisinya, ia berjalan mengitari meja dan duduk di bangkunya, mengambil salah satu map yang ada di tumpukan map, map paling atas.
Ia tampak membukanya,
"Citra Laila Zanna, sejak bulan juli, masuk semester pertama di kelas sebelas, kelas yang sama hingga saat ini, terhitung lima bulan, hanya ada tiga puluh hari kamu tidak terlambat, itu artinya satu banding lima, apa itu benar?"
Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku, memang benar itu kenyataannya. Dari pada bangun lebih pagi aku lebih suka berangkat dengan tergesa-gesa dan akhirnya terlambat. Sepertinya itu yang membuatku buruk.
"Kenapa terlambat?"
"Ya terlambat!"
"Alasannya apa?"
"Memang butuh ya alasan? Kalau aku pengen terlambat aja gimana?"
Hehhhh ...
Aku tau dia tengah mendengus kesal dan aku tersenyum karena berhasil membuatnya kesal.
"Baiklah, jika dengan hukuman biasanya tidak membuatmu jera, maka saya akan memberi hukuman yang berbeda!"
Bersambung
Jangan lupa untuk memberikan Like dan komentar nya ya kasih vote juga yang banyak hadiahnya juga ya biar tambah semangat nulisnya
Follow akun Ig aku ya
Ig @tri.ani5249
...Happy Reading 🥰🥰🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Kok bapaknya mencurigakan ya? Masa iya ngurus pemasukan harus pulang seminggu sekali, kesibukan bapaknya mengalahkan pak Camat,Tapi kehidupan ekonomi mereka Pas pasan gitu..Atau jangan2 bapaknya punya isteri lain di luar sana..🤔🤔
2025-02-09
0
Qaisaa Nazarudin
Harusnya punya toko sembako yg besar itu menguntungkan, Tapi kenapa hidup mereka seolah pas pasan?
2025-02-09
0
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Semangat terus thor, ceritamu bagus 💪💪👍👍
2023-07-13
0