Sudut kantin seorang diri, kini dihadapan Zhaza sudah ada semangkuk bakso dan segelas es teh. Suasana kantin setiap istirahat memang selalu ramai, seluruh meja bahkan sudah terisi penuh anak-anak yang sedang makan atau minum di sini. Tetapi, hanya meja Zhaza yang hanya diisi oleh dirinya sendiri. Lebih tepatnya tidak ada yang mau duduk dengannya. Zhaza hanya mengaduk-aduk baksonya tanpa semangat.
“Hai, gue boleh duduk di sini?” sapa seorang anak perempuan dengan membawa satu buah mangkuk dan segelas es jeruk. Zhaza mendongakkan kepala dan langsung mengangguk senang.
“Eh, lo Alice 'kan? Yang kemarin nggak sengaja ketabrak,” lanjut gadis itu dan duduk di depan Zhaza.
“Iya, kamu Monik 'kan?” Kali ini Zhaza memastikan.
“Iya, kok lo sendirian?”
“Ehem, iya."
Akhirnya mereka berdua menikmati makanan masing-masing dengan diiringi obrolan yang terkadang tidak jelas juga tidak penting. Terkadang mereka tertawa bersama, sehingga membuat seisi kantin memperhatikan Monik dan Zhaza.
“Mir, gue boleh duduk di sini?” tanya seseorang tiba-tiba menghentikan tawa mereka. Zhaza dan Monik menoleh kearah suara itu, seketika wajah Monik jutek.
“Emang nggak ada meja lain ya? Ganggu orang aja,” jawab Monik jutek.
“Udah penuh semua, Amir.”
“Eh Getuk, lo mau duduk sini tapi ngeledek mulu. Mau lo apa sih?”
“Ya elah, gitu aja marah. Ehm, lo Alice 'kan? Gue boleh duduk sini 'kan?” pinta Satrio menaik-turunkan alisnya. Zhaza hanya mengangguk, alhasil Satrio langsung duduk disebelah Monik.
“Ngapain lo duduk disebelah gue? 'Kan mejanya masih luas.”
“Sensi amat lo, Alice aja kagak masalah.”
Zhaza hanya tersenyum melihat kelakuan kedua orang didepannya ini. Ternyata tidak semua orang disini membencinya, buktinya Zhaza mempunyai teman-teman baru yang dapat menghiburnya.
Sepulang sekolah, Zhaza menuju sebuah ruangan untuk ekskul fotografi. Tempatnya adalah di belakang gedung sekolahnya. Ternyata banyak juga yang mengikuti seleksi dan juga yang ikut ekskul ini. Zhaza memang memiliki kesamaan dengan Sakti, sama-sama menyukai seni. Walau Zhaza masih awam dalam dunia seni, tidak seperti Kakaknya yang sudah ahli dalam bidang seni.
“Oke, adik-adik. Kali ini tugasnya adalah memotret keadaan sekitar dan nanti kalian akan didampingi oleh seorang pendamping dari Kakak-Kakak kelas tiga dan dua. Apa kalian membawa kamera sendiri?” tanya ketua ekskul.
“Bawa!” koor anak-anak semangat tidak terkecuali Zhaza. Walau sedaritadi dirinya dilirik anak-anak yang lain, Zhaza tetap fokus pada kegiatannya.
“Baik, kalian boleh mulai sekarang!”
Anak-anak pun mulai menghampiri para pendamping, dan sebagian anak sudah memiliki seorang pendamping. Zhaza menatap sekitarnya, bingung. Apakah dirinya juga harus ada pendamping? Karena Zhaza bukan anak kelas sepuluh.
“Kenapa lo masih di sini?” tanya ketua ekskul, karena yang tersisa tinggal mereka berdua yaitu Zhaza dan si ketua ekskul.
“Ehm, belum punya pendamping,” jawab Zhaza ragu.
“Lo Alice yang itu 'kan?”
Alice mengangguk ragu, sepertinya memang kini seluruh penghuni sekolah mengenalnya. Bagaimana tidak? Berita tentang mamanya bahkan masuk media massa.
“Kalo gitu gue temenin lo. Lo baru masuk ekskul fotografi 'kan? Sebelumnya lo ikut ekskul apa?” tanya anak itu, "Oh ya, gue Leo. Kelas 11 IPS 2"
"Iya, belum pernah ikut ekskul apapun," jawab Zhaza lirih.
Akhirnya mereka berdua pun memilih tempat dan objek untuk mangambil gambar. Dan pilihan Zhaza jatuh pada lapangan basket yang sedang dipakai untuk ekskul taekwondo. Leo hanya berjalan dibelakang Zhaza sambil memperhatikan gerak-gerik Zhaza, sebenarnya dia sedikit heran karena anak-anak yang lain memilih taman belakang sekolah maupun taman di depan. Tapi, Zhaza malah memilih lapangan basket yang tengah ramai oleh anak-anak Taekwondo. Zhaza mulai mengatur kamera dan menentukan objek, objeknya tentu saja anak-anak yang sedang berlatih.
Zhaza melihat ada Monik di situ dan juga Satrio yang sedang mengobrol berdua. Tidak lama kemudian Monik terlihat sedang bertarung dengan Satrio, lalu mereka berdua dipisahkan oleh seorang anak. Sepertinya ketua ekskul taekwondo, Zhaza mengabadikan setiap gerakan Monik dan Satrio juga anak-anak yang lain.
Akhirnya Monik dan Satrio berlari mengelilingi lapangan basket hanya berdua, sedangkan yang lainnya kembali melanjutkan latihannya. Kalau tidak salah menduga pasti Monik dan Satrio sedang dihukum. Setelah puas, Zhaza menghampiri Leo yang tengah duduk di pinggir lapangan basket ada sebuah bangku di sana.
“Udah selesai?” tanya Leo. Zhaza hanya mengangguk.
“Kenapa ikut ekskul fotografi?" tanya Leo yang kini sudah mulai akrab dengan Zhaza. Ternyata Leo tidak seperti anak-anak yang lain. Dia anak yang ramah.
“Ehm, hobiku fotografi.”
“Oh, kalau udah. Ayo balik lagi ke ruang ekskul,” ajak Leo dan berjalan terlebih dahulu, lalu diikuti Zhaza dibelakangnya.
Sesampainya di ruang ekskul, ternyata banyak anak-anak yang sudah kembali lagi. Mereka tengah mengobrol dengan pendamping masing-masing. Zhaza pun duduk dan kembali melihat hasil jepretannya, tidak terlalu buruk.
“Mana gue lihat hasilnya?” pinta Leo. Zhaza pun memberikan kamera tersebut. Leo terlihat asyik sendiri melihat hasil bidikkan Zhaza, sedangkan Zhaza memperhatikan sekelilingnya.
“Menurut gue lebih bagus yang ini deh! Tapi, yang barusan lo ambil juga nggak jelek-jelek amat,” komentar Leo sambil mengembalikan kameranya. Saat melihat di layar kamera, seketika mata Zhaza membulat.
“Eh? Ini bukan hasil bidikkanku,” kata Zhaza. Ia lupa, ini kamera milik Sakti.
“Terus punya siapa?”
“Ehm, punya Kakak. Soalnya tadi malam aku nyari kamera nggak ketemu, jadi Kakak minjemin ini kamera,” jelas Zhaza.
“Kakak lo seorang fotografer?”
“Hmm, nggak juga sih. Cuma dia memang suka potret-potret.”
Leo membulatkan mulutnya dan ia berdiri untuk memberikan pengumuman kepada seluruh peserta yang mengikuti seleksi. Anak-anak kembali berbaris seperti tadi.
“Hasil seleksinya adalah... semuanya lolos. Ekskul fotografi diadakan setiap hari Rabu sepulang sekolah,” kata Leo.
Anak-anak bersorak gembira, setelah selesai semua anak-anak diperbolehkan pulang.
...🏡🏡🏡...
Sesampainya di rumah, Zhaza langsung menuju kamarnya untuk mandi dan beristirahat. Saat masuk kamar, ada sebuah kotak diatas kasurnya. Karena penasaran, Zhaza mengambil kotak itu dan menerka- nerka apa isi kotak itu. Dibukanya kotak itu, ternyata isinya adalah kamera DSLR. Namun, Zhaza tidak menemukan pesan didalam kotak itu.
“Mungkin dari Kak Sakti,” pikir Zhaza. Lalu ia memutuskan untuk mengembalikan kamera Sakti dan mengucapkan terima kasih pada Kakaknya itu.
Tetapi, Sakti sedang tidak berada di rumah. Jadi, Zhaza berniat menunggu Kakaknya sampai pulang untuk mengucapkan terima kasih secara langsung.
Namun, sampai larut malam Sakti belum juga pulang ke rumah. Bahkan, saat papanya pulang Sakti juga belum ada tanda-tanda pulang.
“Kok belum tidur, Zha!” tegur Dhani yang baru pulang sekitar pukul sepuluh malam.
“Nunggu Kak Sakti, Pa,” jawab Zhaza yang tadi tengah duduk di sofa ruang tamu.
“Memangnya belum pulang?” tanya Dhani, Zhaza hanya menggeleng. Lalu Dhani masuk ke dalam untuk beristirahat, karena besok harus berangkat pagi.
Zhaza masih terus menunggu Sakti sampai akhirnya ia ketiduran di sofa. Sakti pulang sekitar pukul satu dini hari. Dia melihat Zhaza tertidur di sofa menjadi kasihan. Sakti berniat mengambilkan selimut untuk adiknya itu. Setelah menyelimuti Zhaza dan memberikan bantal tanpa sepengetahuan Zhaza tentunya, Sakti langsung masuk kamar menguncinya rapat-rapat dan tidur. Namun tanpa diketahuinya, ada sepasang mata yang melihat gerak-gerik Sakti dari balik dinding.
...🏡🏡🏡...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
renaivyl'🍫_
mampir ni kak, semangat^_^
2021-06-23
3
Om Rudi
Aduh ada Monic, ingat mantan di SMK
Rajinlah berkunjung ke PENDEKAR SANGGANA
2020-11-30
1
ARSY ALFAZZA
sambungan likes
2020-10-13
1