Riana membantu Bik Ijah menyiapkan makan malam. Bik Ijah sempat melarang, tetapi Riana memaksa untuk membantu dengan alasan karena Riana ingin berbakti pada ibu mertuanya. Bik Ijah tidak bisa menghalangi keinginan Riana lagi.
Sekitar jam 7 malam, Riana mencari Rio dan ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Dia menuju ke ruang kerja Rio, tetapi apa yang dia dengar membuatnya gugup.
"Yuda, belikan aku sarung, sajadah dan peci. Besok sore, semua harus sudah ada di ruang kerjaku ini," titah Rio pada asisten kepercayaannya itu.
"Untuk apa, apa Pak Rio ...?" tanya Yuda.
"Jangan banyak tanya," sahut Rio. "Hidup itu, harus ada kemajuan. Kalau nanti kamu sudah menikah, kamu akan tahu sendiri. Besok sore, temani aku juga bertemu dengan ustad Wahid."
"Pak Rio mau belajar agama, apa tidak terlambat?" tanya Yuda sedikit mengejek atasannya.
"Siapa bilang terlambat. Tidak ada kata terlambat untuk mencari ilmu. Pernah dengar tidak? Aku ingin belajar sholat agar bisa menjadi imam untuk Riana," kata Rio sambil menghela napas berat.
"Wah, cita-cita Pak Rio sangat mulia walaupun terlihat sederhana. Kalau begitu, kenapa tidak melanjutkan terapi. Kalau Pak Rio bisa berjalan normal lagi, Bu Riana pasti akan lebih bahagia lagi. Memiliki suami yang sempurna," ucap Yuda berusaha menumbuhkan keyakinan dan semangat Rio.
"Sekalipun aku bisa berjalan, dia tetap tidak akan menyukaiku. Bekas luka di wajahku ini, pasti akan membuatnya ketakutan," kata Rio sambil membuka topeng diwajahnya.
Riana sangat kaget melihat bekas luka itu tampak jelas. Sebuah goresan seperti bekas kena senjata tajam. Kalau kecelakaan, berarti luka itu karena pecahan kaca.
Suara pintu terdorong oleh tubuh Riana, membuat Rio dan Yuda kaget. Rio segera memberi isyarat pada Yuda untuk mencari tahu siapa yang menguping pembicaraannya di depan pintu. Riana bergegas pergi sebelum Yuda melihatnya.
"Yuda, siapa?" tanya Rio saat Yuda kembali.
"Tidak ada orang. Tapi aku sempat melihat sekelebat orang berlari ke arah dapur. Apa mungkin Bik Ijah?" tanya Yuda.
Rio terdiam. Semua orang di rumah ini sudah tahu tentang luka di wajahnya. Juga tentang kelumpuhannya. Dan hanya satu orang yang tidak tahu tentangnya, Riana. Rio kembali menutupi mukanya dengan topeng.
Rio akan berpura-pura tidak tahu jika Riana sudah tahu tentang lukanya. Sekalipun Riana akan merasa jijik melihatnya. Setidaknya selama dia masih berstatus istrinya, Riana tidak akan pernah meninggalkan dirinya.
Meskipun Riana bukan seorang yang ahli agama, tetapi dia berusaha tetap menjalankan syariah agamanya. Ditambah lagi dengan surat perjanjian setelah pernikahan. Ria masih merasa aman.
Sementara Riana yang sudah sangat ketakutan, meminta Bik Ijah untuk membantunya memanggil suaminya dan yang lainnya untuk makan bersama.
"Bik, nanti kalau Mas Rio atau Yuda bertanya tentang di mana aku, tolong jawab kalau Riana selalu di dapur bersama Bibik. Tolong ya Bik. Aku takut mereka marah, karena aku tadi mendengar mereka berbicara tentang luka diwajahnya, dan dia sepertinya tidak ingin aku tahu," pinta Riana sambil memohon.
"Bu Riana tidak perlu khawatir, Bibik pasti bantu. Bibik juga tidak mau melihat majikan Bibik berantem. Maunya Bibik, Pak Rio dan Bu Riana segera memiliki momongan. Supaya rumah ini menjadi ramai," ucap Bik Ijah sambil tersenyum.
"Anak, masih jauh, Bik. Riana dan Mas Rio belum memikirkannya," jawab Riana malu.
"Bibik akan panggil Pak Rio dan yang lainnya, Bu Riana duduk saja dulu sambil menunggu mereka," kata Bik Ijah.
Riana menatap kepergian Bik Ijah yang segera menghilang di balik pintu. Dia mencoba bersikap tenang dan mencoba seolah dia tidak pernah mendengar apa yang baru saja didengarnya.
Tidak berapa lama, Rio datang dengan kursi rodanya yang di dorong oleh Bik Ijah. Sedangkan Bu Elana dan Tiwi, mengikuti dari belakang. Riana merasakan suasana tampak tegang dan mencekam seperti sedang menghadapi sidang pembunuhan.
Riana terus diam dan menunduk. Dia tidak bisa berucap sepatah katapun agar tidak membuat kesalahan. Makanan yang ada di meja, masih utuh dan tertata dengan rapi.
"Ma, aku ambilkan untuk Mama," kata Rio memecah kecanggungan.
"Jangan, Kak. Biar Tiwi saja yang ambilkan untuk Mama," sela Tiwi.
Tiwi bergegas mengambilkan nasi untuk ibunya dan juga untuknya sendiri. Sedangkan Bu Elena menatap Riana yang diam mematung di tempat duduknya.
"Riana, apa perlu aku mengajarimu untuk belajar melayani suamimu? Aku pikir, kamu sudah dewasa dan sudah mengerti tugas dan kewajiban seorang istri. Bukannya kmu juga sudah pernah menikah? Beginikah cara kamu memperlakukan suamimu?" sindir Bu Elena.
Mendengar ucapan ibu mertuanya, membuat Riana tersindir. Dia agak sedikit kesal dan marah. Riana tidak menyangka, ibu mertuanya akan menyindirnya seperti itu. Bukannya dia tidak menyukainya?
Riana melihat ke arah ibu mertuanya lalu berganti ke arah Rio. Tatapan matanya yang tajam cukup membuat Rio mengerti jika Riana saat ini, merasa malu dan kesal.
"Riana, kamu tidak perlu mengambilkan aku makanan. Kamu makan saja, aku belum lapar," kata Rio untuk membuat Riana tidak merasa malu.
"Rio, tidak lapar bagaimana? Kamu belum makan, bagaimana bisa kenyang?" tanya ibunya panik.
"Rio tadi sudah makan, sebelum kembali ke rumah. Kalian tenang saja. Aku temani kalian makan," jawab Rio sambil tersenyum. Padahal Rio sama sekali belum makan.
Mereka bertiga makan tetapi pikiran mereka tertuju pada Rio. Sebenarnya, ibunya hanya ingin membantu Rio untuk membuat Riana menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Tetapi Riana merasa malu karena dianggap tidak layak sebagai menantu yang tidak dapat berbakti pada suami dan ibu mertuanya. Sedangkan Rio, hanya ingin membuat agar Riana bisa melakukannya secara ikhlas suatu hari nanti, tanpa perlu dipaksa atau diminta.
Selesai makan malam, Bu Elena meminta Riana untuk menemuinya pergi ke mall. Tentu saja Riana menolak. Dia tahu kalau ibu mertuanya pasti ingin mempermalukan dia di depan umum. Sebelum semua terjadi, Riana sudah berinisiatif berpura-pura sakit perut.
"Riana, jangan buat Mama marah. Dimana-mana, menantu itu pasti selalu patuh pada mertua. Mereka pasti ingin mengambil hati ibu mertua. Tapi kamu ini aneh, aku tahu kamu pura-pura sakit perut, ngaku saja," ucap Tiwi kesal.
Sejak tahu kebenarannya, Tiwi dan ibunya sudah berusaha bersikap baik pada Riana. Tetapi, Riana masih saja jual mahal.
"Sudahlah, Tiwi. Mungkin saja, dia benar sakit perut. Kita pergi berdua saja," kata ibunya.
"Apa kalian menganggap aku keluarga? Apa kamu menganggap aku kakak iparku? Apa Ibu menganggap aku menantu? Dari awal aku sudah berusaha memanggil Ibu, Mama, seperti Mas Rio. Tapi nyatanya aku nggak boleh panggil Mama. Terserah kalianlah, kalian anggap aku ini apa. Di mata kalian kalian, aku tetap barang murahan," jawab Riana kasar.
"Riana, ayo pergi bersama!" titah Rio.
Riana menatap Rio kaget. Riana teringat apa yang dia dengar tadi. Rio membutuhkan sarung, sajadah dan peci. Riana tersenyum, lalu menyetujui perintah Rio.
Akhirnya, Bu Elena menyadari jika, hanya perintah Rio yang Riana dengar. Sedangkan Rio menginginkan Riana jatuh cinta padanya tanpa paksaan.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Bzaa
buka dulu topeng mu, biar ku liat wajahmu, buka dulu topengmu😄🎤🎹
2023-10-14
0