Hari yang telah direncanakan kini tiba waktunya. Aretha sudah menyiapkan buah tangan orang tua Sadewa. Meskipun Sadewa melarangnya karena biar dia sendiri yang membelinya. Namun, Aretha merasa tidak enak hati jika segala sesuatunya mengandalkan Sadewa terus.
Kini wanita cantik yang memiliki tahi lalat di sudut atas kelopak matanya itu, terlihat bertambah anggun dengan gamis yang dipakainya. Sadewa yang datang untuk menjemputnya, dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya oleh pesona janda sahabatnya itu.
"Cantik," gumam Sadewa dengan senyum yang merekah.
Blush!
Kedua pipi Aretha bersemu merah seketika. Meskipun itu hal biasa di dengarnya, tapi saat Sadewa yang mengatakan itu. Bunga cinta yang sempat layu di hatinya, kini bermekaran dan dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu.
"Bang, mau berangkat sekarang apa istirahat dulu?" tanya Aretha secepat mungkin menetralkan perasaannya.
"Langsung saja, biar sampai sana tidak terlalu sore. Kita bisa main dulu ke pantai yang tidak jauh dari rumah Ibu."
"Baik, Bang! Aku ambil tas dulu," sahut Aretha, kemudian berlalu pergi ke dalam kontrakannya. Setelah dia memastikan alat elektronik dan kompor aman untuk ditinggalkan, Aretha pun segera kembali menemui Sadewa.
"Sudah siap?" tanya Sadewa.
"Sudah, Bang." Aretha segera mengunci pintu kontrakannya. Bersamaan dengan pemilik kontrakan lewat di depannya.
"Mbak Aretha mau ke mana?" tanya Om Joni, pemilik kontrakan yang Aretha tempati.
"Mau pulang kampung dulu, Om. Titip kontrakan ya, Om."
"Oh iya, hati-hati saja di jalannya."
"Iya, Om. Aku berangkat dulu, Om!" pamit Aretha seraya tersenyum. Begitu juga dengan Sadewa yang ikut tersenyum ramah pada pemilik kontrakan itu. Sebagai tamu di sana, tentu Sadewa berusaha untuk selalu menjaga sopan santun.
Setelah cukup berbasa-basi, Aretha dan Sadewa pun segera berangkat menuju ke daerah pinggiran kota Jakarta. Selama perjalanan, Aretha terlihat cemas. Dia terus saja melihat ke luar jendela dengan tangan yang saling bertautan.
Tidak bisa dia pungkiri, ada kekhawatiran di hatinya jika nanti ibunya Sadewa akan menolak kehadirannya. Sadewa yang melihat sekilas apa yang terjadi pada Aretha, dia pun akhirnya membuka suaranya.
"Retha, kamu kenapa diam saja? Apa kamu baik-baik saja?"
"Tidak apa kho, Bang! Aku ... aku hanya takut jika nanti ibunya Abang tidak suka kalau aku akan jadi menantunya."
Mendengar jawaban dari wanita yang dicintainya, Sadewa pun melihat ke arah Aretha. Satu tangannya terulur menggenggam tangan Aretha yang terasa dingin. Dia mengerti, pasti wanita cantik itu takut kalau ibunya akan seperti mertuanya dulu.
"Retha, tidak semua ibu mertua akan seperti ibunya Ringgo. Bukan aku mau membela ibuku, tapi ibu tidak suka ikut campur dalam rumah tangga anak-anaknya. Karena yang terpenting bagi ibu, kebahagiaan anak-anaknya. Ibu tidak pernah mempermasalahkan dengan siapa anak-anaknya harus bersanding ataupun memaksa anak-anaknya harus menikah dengan pilihannya. Dia hany memberi wejangan sebelum kami menentukan pilihan."
"Beruntung sekali Abang memiliki ibu yang seperti ibu Abang. Seandainya saja, semua ibu mertua seperti ibu Abang."
"Mungkin kamu tidak akan pernah pergi ke rumah keluarga aku dan memperkenalkan diri sebagai pasangan aku," tukas Sadewa langsung kembali ke posisi semula. Dia memilih fokus dengan jalan raya dan tidak bersuara lagi.
"Maafkan aku, Bang. Kalau aku salah bicara." Aretha menatap sendu pada Sadewa yang terlihat sedikit kesal dengan ucapannya.
"Tidak apa, Abang hanya minta agar kamu mengikhlaskan semuanya. Mungkin itu susah jalan Tuhan agar kita bisa bersama. Apa mungkin, kamu masih belum bisa menerima di hati kamu?"
"Bukan seperti itu, Bang. Aku mengikhlaskan semuanya, tapi setiap teringat semua kejadian saat di kampung Mas Ringgo, sakitnya masih terasa. Aku harap Abang mengerti," ucap Aretha dengan menundukkan kepalanya.
"Maafkan Abang juga, kalau sudah tersinggung tidak jelas. Ayo kita sama-sama membuka lembaran baru. Hanya ada kita dan anak-anak kita nanti."
"Iya, Bang. Terima kasih sudah menerima aku apa adanya."
Sadewa hanya tersenyum dan menggenggam tangan Aretha kembali. Dia mencium genggaman tangan Aretha dengan mata yang tidak lepas dari jalan raya. Perjalanan yang memakan waktu lumayan lama, terasa singkat jika hati sedang berbunga-bunga.
Sampai akhirnya mobil Sadewa memasuki sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Rumah model jaman Belanda dulu, terlihat asri dengan taman bunga di depannya. Keduanya pun langsung turun dari mobil dengan saling melempar senyum.
"Assalamu'alaikum," ucap Sadewa seraya mengetuk pintu rumahnya.
"Wa'alaikumsalam." Terdengar suara seorang wanita yang membalas ucapan salam Sadewa.
Sadewa langsung mencium tangan ibunya saat seorang wanita yang sudah memasuki usia senja membuka pintu rumah itu. Nampak Ibu Saraswati, ibunya Sadewa terkejut melihat kedatangan anaknya.
"Ya Allah Dewa, kenapa tidak memberi tahu ibu kalau mau pulang? Ayo masuk!"
"Ibu, kenalkan ini Aretha. Dia, calon istri aku."
"Aretha, Bu." Wanita cantik itu tersenyum pada Bu Saras. Dia langsung mencium punggung tangan Bu Saras yang terlihat mematung di tempatnya.
"Ibu, kenapa bengong?" tegur Sadewa menyadarkan Bu Saras dari keterkejutannya.
"Iya, maaf. Tadi siapa namanya?"
"Aretha, Bu."
"Iya maaf Nak Retha. Ibu kaget karena baru sekarang Sadewa membawa pulang seorang wanita cantik ke rumah Ibu. Ayo masuk! Pasti lelah sudah perjalanan jauh."
"Makasih, Bu." Aretha tersenyum ramah pada calon ibu mertuanya. Dia pun mengikuti Sadewa yang masuk ke dalam rumah yang terasa sejuk. Meskipun udara di luar rumah lumayan panas.
"Istirahatlah! Ibu ke dapur dulu, kalian pasti haus." Tanpa menunggu sahutan dari Sadewa dan Aretha, Bu Saras langsung pergi menuju ke dapur.
"Retha, Abang ke toilet dulu ya! Apa kamu juga ingin ikut ke toilet?"
"Tidak, Bang! Aku menunggu di sini saja."
Sadewa langsung berlalu pergi menyusul ibunya ke dapur. Jarak dari ruang tamu ke dapur yang lumayan jauh, membuat Sadewa yakin kalau Aretha tidak akan mendengar pembicaraan dia dengan ibunya. Hingga setibanya di dapur, Sadewa langsung mendekat ke arah Bu Saras.
"Ibu, tolong jangan bahas soal Raina di depan Aretha!" pinta Sadewa.
"Dewa, apa kamu sudah berpisah dengan istrimu?"
"Tidak, Bu. Tapi Raina sudah enam bulan tidak pulang. Dia lebih memilih karirnya dibandingkan dengan suaminya sendiri. Aku sudah berkali-kali menyuruh dia untuk berhenti dari dunia entertainment. Tapi dia selalu menolaknya," ucap Sadewa seraya menghela napas dalam, "aku ingin segera punya keturunan, tapi Raina tidak mau memiliki anak dalam waktu dekat. Lalu sampai kapan aku menunggu dia siap untuk punya anak? Sementara umurku terus bertambah."
"Kalau kamu mau menikah dengan gadis itu, kenapa kamu tidak menceraikan Raina terlebih dahulu? Apa kamu akan bisa berbuat adil pada kedua istrimu nanti?"
"Aku tidak bisa menceraikan dia, karena Raina adik ipar Andrea. Aku tidak mau perceraian aku dan Raina akan mempengaruhi karir aku. Lagipula, Raina jarang pulang. Dia tidak perlu tahu kalau aku menikah lagi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
JIAHHH, TRNYATA DEWA SDH PNY ISTRI YG MNTINGKN KARIR...
2023-12-28
1
auliasiamatir
asstaga dewa tak sebaik yang ku kira 🥺
2023-10-04
3
Ning Gedeona
wahhh...payah lho dewa...
2023-09-02
0