“Nona Floe, kamu baik-baik saya?” tanya Bagas yang melihat Floe hanya mematung di tempatnya.
Floe tidak menghiraukan Bagas yang terus memangil. Tatapannya terus tertuju pada pria yang duduk di sisi lain ruangan tersebut. Entah berapa kali Bagas memanggil, tapi tak diindahkan.
Bagas mengikuti arah pandang Floe dan ia melihat jika wanita itu tengah memperhatikan seseorang di sofa lain. Entah wanita atau pria di sana.
“Nona Floe, ada apa?” Bagas menepuk pelan lengan dan membuat wanita itu mengerjap.
“Ah. Ti-tidak ada apa-apa,” elak Floe sembari menggeleng, lalu tersenyum pada pria itu. Berusaha meyakinkan Bagas jika ia baik-baik saja.
“Kamu kenal mereka?” tanya Bagas lagi.
Bukannya menjawab, mendapat pertanyaan seperti itu membuat Floe kembali mengalihkan pandangannya pada seseorang yang sangat diingatnya.
Seketika ingatannya berputar pada kejadian malam itu. Sebuah ide pun terbersit dalam benak Floe. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya membuat sebuah lengkungan.
“Nona Floe, Anda baik-baik saja?” Kembali Bagas mengguncang pelan lengan Floe.
Sikap wanita itu membuat bulu kuduk Bagas merinding.
Floe yang semula bengong seperti melihat sesuatu, tiba-tiba sekarang tersenyum dan wanita itu melakukan itu tanpa ia sadari.
“Aku baik-baik saja.” Floe memutar badannya dan ia mengajak Bagas ke sisi lain ruangan, di mana pria yang berada di sebelah kiri tidak bisa melihatnya.
“Kalau sudah selesai, sebaiknya Anda pulang, Nona Floe. Anda tidak boleh kelelahan,” ucap Bagas mengingatkan.
Meskipun pernikahan mereka kelak hanyalah sebuah pernikahan kontrak, tetapi Bagas tidak ingin wanita yang sudah membantu biaya Rumah Sakit ibunya itu sampai jatuh sakit. Apalagi ia tahu jika wanita yang dianggap adalah bosnya tersebut sedang hamil.
Bagas tidak pernah mengusik ataupun menanyakan perihal siapa sebenarnya ayah biologis dari bayi dalam kandungan wanita itu karena sadar jika itu adalah sebuah privasi.
Ia takut itu terkesan lancang. Lagipula wanita itu sudah membantu biaya pengobatan ibunya dan juga harus menjalankan pekerjaannya dengan baik. Jangan sampai kebohongan mereka diketahui oleh kedua orang tua wanita itu
“Kita di sini sebentar saja lagi, ya. Kamu tidak keberatan, bukan?” tanya Floe. Ia menatap dan memohon pada pria yang duduk di sampingnya. “Aku sedang menghindari seseorang,” imbuhnya memberi jawaban atas sorot mata Bagas.
“Pria dan wanita yang di sana?”
“Heem.” Floe mengangguk. Ia kemudian meneguk air mineral yang ada di atas meja.
Floe mencoba menenangkan pikiran dan memutar otak apakah ia akan menemui pria itu dan mengatakan yang sebenarnya.
‘Semoga pria itu tidak melihatku.' Floe membatin.
Floe kembali meneguk air mineral itu hingga nyaris menghabiskan isi dari botol tersebut. Ia butuh menyejukkan pikiran agar tidak salah dalam mengambil langkah.
Ia merasa ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk dirinya meminta pertanggung jawaban pada ayah dari bayi yang ada dalam kandungannya.
Bukanlah hal yang mudah untuk menemukan pria asing tersebut dan inilah kesempatan emas bagi Floe. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan datang untuk kedua kali.
Dengan meminta pertanggungjawaban dari pria yang tidur dengannya di hotel, Floe tidak perlu menikah dengan Bagas dan terlibat dalam kehidupannya yang rumit.
Mengenai biaya pengobatan ibu Bagas, Floe akan tetap menanggungnya. Itu ia lakukan sebagai bentuk rasa terima kasihnya pada pria itu karena sudah mau membatu rencana yang awalnya ia susun.
‘Ya. Aku harus bicara dengan pria itu dan mengatakan yang sebenarnya.’ Kembali Floe membatin.
Namun, keraguan menghinggapi kembali saat Floe akan beranjak dari tempat duduknya. Ia teringat dengan wanita yang duduk di samping pria yang sudah bercinta dengannya. Muncul dalam benaknya sebuah pertanyaan.
Siapa wanita itu?
Floe tidak peduli jika wanita itu adalah kekasih pria itu sekali pun. Ia hanya ingin pertanggungjawaban pria itu dan mereka harus menikah.
Entah siapa yang harus disalahkan dalam kekacauan yang terjadi. Mereka sama-sama tidak tahu jika saling mencari satu sama lain. Hanya saja, mereka mempunyai tujuan yang berbeda dalam pencarian tersebut.
Floe masih menimbang. Apakah ia akan menemui pria itu atau tetap melanjutkan rencana awalnya untuk menikah dengan Bagas?
“Nona Floe ….”
Floe menoleh pada pria di sampingnya.
“Aku tidak tahu apa yang sedang Anda pikirkan dan apa itu suatu masalah yang berat, tapi, tolong perhatikan kondisi kesehatanmu. Ingat, saat ini ada nyawa yang harus dijaga di dalam sana,” imbuh Bagas mengingatkan.
Beberapa kali Bagas melihat Floe yang melamun dan kurang fokus dengan sekitarnya.
Lihat saja, wanita itu bahkan sepertinya lupa jika saat ini masih mengenakan gaun pengantin yang dicobanya.
“Jika Anda ragu dengan apa yang ada dalam pikiranmu, maka ikuti saja kata hati. Bagaimana hasil akhirnya, setidaknya sudah mencoba,” pungkas Bagas.
Floe menatap pria di sampingnya. Bagas mengucapkan kalimat itu dengan lembut.
Pria itu seolah-olah tahu apa yang sedang ia pikirkan. Floe berharap Bagas benar-benar tulus mengucapkan itu. Ia kini terlihat kembali berpikir. Menimang antara nalar dan hatinya.
“Baiklah. Aku tahu apa yang harus kulakukan,” imbuh Floe bangkit dari duduknya dan beranjak dari sana.
“Nona Floe, gaunnya,” ucap Bagas tertahan karena wanita dengan gaun pengantin itu sudah pergi lebih dulu. Ia hanya bisa menghela napas sembari menggeleng.
Floe sudah yakin dengan keputusannya. Ia tidak perduli jika wanita itu adalah kekasih pria yang telah bercinta dengannya.
Ia hanya butuh tanggung jawab pria itu untuk menikahinya. Jantung Floe terpacu lebih cepat saat berjalan menghampiri pria tersebut.
Floe sempat ragu dan mematung dari jarak beberapa meter. Beruntung pria itu belum menyadari kehadirannya karena Floe berdiri di belakang pria yang sedang berbincang cukup akrab dengan wanita yang duduk di sampingnya tersebut.
Dari tempatnya berdiri, Floe bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka.
“Kamu enggak usah aneh-aneh, deh. Kamu pikir buat gaun pengantin itu mudah? Kamu seenaknya aja mau ganti modelnya dan ganti konsep pernikahan. Ingat ini tinggal satu minggu lagi,” omel Erland.
‘Menikah? Satu minggu lagi?’ batin Floe
Floe bisa mendengar rengekan manja dari wanita itu yang sedang berusaha membujuk dan meminta pria itu untuk mengatur ulang konsep pernikahan yang diinginkan.
Darah Floe tiba-tiba mendidih mendengar pembicaraan pria tersebut. Floe tidak terima jika pria yang menghamilinya menikah dengan wanita lain.
Bukan karena ia mencintai pria tersebut. Itu tidak mungkin, karena tidak mengenalnya, tetapi pria itu harus bertanggung jawab dengan janin dalam kandungannya.
Floe tidak mau menanggung beban itu seorang diri. Ia selama ini terus memutar otak untuk mengembalikan kekacauan yang terjadi, sementara pria itu malah sedang mempersiapkan pernikahan dengan wanita lain.
Tidak. Floe tidak akan membiarkan itu terjadi. Pria itu harus tahu semuanya dan bertanggung jawab. Dengan jiwa yang terpantik amarah, Floe berjalan mendekat ke arah pasangan kekasih itu. Ia bisa melihat jika wanita itu sedang bergelayut manja membujuk.
"Dasar, berengsek!"
Kehadiran Floe yang tiba-tiba cukup mengusik kedua orang itu dan sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi wanita yang sedang duduk bersama Erland.
Baik Erland maupun wanita itu sama-sama membulatkan mata karena sangat terkejut.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Kenapa Floe nampar cewek itu?? Harusnya Erland yg dia tampar,, Astaga, 🤦🏻♀️🤦🏻♀️🤦🏻♀️
2023-07-15
0
dee_an
blm tentu itu pacarnya woy...bs aja itu adeknya
2023-07-08
0
Rini Musrini
main tampar aja kamu floy
2023-06-16
1