Karena kaki kirinya tak berfungsi dengan baik, Furya hanya bisa berjalan pelan menuju parkiran motor.
Sambil mendorong Arthur alias motor kesayangannya, Furya yang sampai di parkiran akhirnya bisa bernafas lega.
“Huh ... akhirnya sampai, padahal hanya beberapa meter tapi rasanya lelah sekali.”
Setelah mengelap keringan yang bercucuran, Furya berjalan pelan menuju kelasnya.
Kelas IPS 2D. Itu adalah kelas Furya yang semua isinya hampir kebanyakan pria dan para brandalan.
Saat sampai di kelas, keadaan kelas yang ribut dan bising seperti sudah akrab dan Furya langsung berjalan menuju tempat duduknya.
Baru sesaat ia duduk, sahabat baiknya Jamal yang melihatnya berkeringat langsung menyapa Furya.
“Jir, kenapa kamu keringetan gitu?”
“Huh, diamlah aku capek dan mau tidur.”
Baru saja sampai di kursinya, Furya yang memang habis begadang mengerjakan beberapa pesanan motor di bengkel langsung duduk kalem dan tidur.
Seperti yang kita tau SMA di Indonesia seperti apa. Bahkan Sanjaya High Scholl dengan predikat sangat baik itu terlihat begitu bebas sampai seorang Furya bisa terlelap tidur dikala suara bising kelas seperti tak mengganggunya.
Dan benar saja, karena mata pelajaran jam pertama adalah IPS, Furya yang sudah hafal betul dengan kelakuan pak Bambang yang merupakan guru IPS langsung memilih tidur karena guru satu itu memang jarang masuk dan suka memberi tugas lewat buku.
Sampai tanpa terasa jam pelajaran IPS selesai dan guru fisika yaitu Buk Dewi langsung masuk dan pelajaran selanjutnya pun segera di mulai.
“Hoi bangun, buk Dewi dah masuk.” tegur Jamal sambil mendorong Furya yang tertidur pulas.
Di dorong teman baiknya jelas langsung menyadarkan Furya kembali dan di jam kedua ia mau tak mau harus bangun dan belajar.
Buk Dewi yang masih muda dan terkenal galak langsung memulai absen dan pelajaranpun di mulai.
~Ting...tong...teng...ting~
Setelah bel istirahat berbunyi, Jamal dan Furya yang sangat akrab langsung berjalan bersama menuju kantin.
Tak lupa diperjalanan mereka membahas hal yang berkaitan dengan dunia Teknology dan perwibuan.
“Cih, seriusan kamu, 'kan orang Jepang Fur, kok kamu gak tau soal Jepang sih?”
“Kan udah pernah ku bilang, aku lahir di Indonesia dan besar di Indonesia, mana tau aku soal pulau Hokkaido.”
“Hadeh, padahal banyak yang mau ku tanyain tapi yaudahlah ... dasar Jepang KW lu.”
Sambil berjalan ke kantin dua remaja itu terlihat saling bergurau dan merangkul.
Sesampainya di kantin, Jamal langsung mengantri dan memesan makanan terlebih dahulu.
“Sana amanin kursi, biar aku yang antri.”
“Oke, aku pesen kayak biasa.”
Karena tau sahabatnya itu pincang dan sulit berdiri, Jamal langsung mengantri dan menyuruh Furya duduk dan menunggu.
Meskipun perkataannya kadang kasar, Jamal jelas sangat peduli pada sahabatnya itu.
“Nih satu mangkuk soto Bude pesenanmu.”
“Wihhh, akhirnya makan juga.”
Dengan lahap Furya dan Jamal yang memang bernasib hampir sama yaitu miskin memakan pesanan mereka dengan cepat.
Tapi belum selesai makan, Joni yang merupakan kakak kelas mereka datang bersama rombongan besarnya dan menyuruh mereka pindah.
“Hoi Mal, sana bawa si pincang pindah ke meja lain, aku sama anak-anak mau makan di sini.”
Jamal dan Furya yang mendengar itu terlihat cuek dan lanjut makan.
Meskipun Joni kakak kelas di sekolah itu, senioritas tak terlalu berlaku dan di sekolah yang isinya sebagian besar pria, hukum rimba masih berlaku.
“Kampret nih anak, jangan pura-pura gak denger dan sana pindah sebelum...”
“Sebelum apa, gak liat kau aku lagi makan? Sana cari meja lain, disini udah ada yang make.” tegas Jamal sambil menatap Joni dan rombongannya.
Karena kondisi kantin yang kecil dan meja yang terbatas, memang sebagian siswa pasti tidak dapat meja makan.
Tapi balik lagi, seperti sudah menjadi tradisi. Siapa cepat dia dapat, itu adalah peraturan yang berlaku di kantin kedua alias untuk para gembel di Sanjaya International Scholl.
Furya yang melihat Joni dan rombongannya yang ada lima orang juga paham kalau meja mereka pas jika dipakai berenam.
Furya juga sebenarnya memilih meja yang sedikit besar itu karena saat itu hanya meja itu yang tersisa.
Karena tak ingin ribut dan makanannya juga sudah mau habis, Furya langsung melahap habis sisa sotonya dan pergi dari sana.
“Dah Mal ngalah aja, makanan kita juga dah abis.”
Jamal yang memesan nasi goreng juga sebenarnya tak ingin ribut.
Tapi ia paling anti di ganggu kalau lagi makan memang memiliki beberapa peraturan tersendiri.
Baginya waktu makan adalah saat-saat terindah dan karena itu ia sangat menikmati itu.
Tapi melihat Furya yang mengalah dan menatapnya, Jamal langsung menghabiskan makan siang dan dua sahabat itu langsung pergi.
“Ahh kenyang, dah yok cabut.” kata Jamal sambil meninggalkan meja bersama Furya.
Joni dan rombongannya juga hanya tersenyum dan langsung duduk di sana.
Memang anak-anak dari kelas 2D yang dipenuhi berandalan seperti sudah menjadi musuh bebuyutan kelas lain.
Di pertandingan olahraga sekolah juga kelas itu selalu bersaing ketat di final. Bisa dibilang memang kelebihan kelas 2D hanya dalam hal olahraga.
Furya yang selesai makan langsung pergi ke belakang perpus bersama Jamal. Sesampainya di sana tempat itu juga terlihat ramai dan dua sahabat itu langsung merokok sambil berdiri.
“Huh ... pengen ku hajar tuh muka mereka.”
“Hahaha, santai napa ... kita juga dah selesai makan jadi gak usah di perpanjang.”
“Iya aku tau, cuman kalo ngomong baik-baik pasti aku juga bakalan santai. Di tambah mereka pake bawa-bawa kekurangan kamu, gedek aku jadinya.”
“Udahlah, hal gak penting jangan di pikirin.”
Sambil ngudud, dua remaja itu mengobrol pajang lebar.
Setelah bermain game di hp, bel tanda jam istirahat berbunyi dan para berandalan yang ada di sana langsung cabut dan kembali ke kelas mereka masing-masing.
“Hadeh, cepet amat sih jam istirahat rasanya.”
“Udah woi, buk Dewi nih, telat dikit berdiri di kelas kita.” kata Furya sambil memasukkan hp ke kantong celana.
Meskipun cacat dan hidup pas-pasan, Furya sendiri sangat menikmati hidupnya.
Baginya yang sejak kecil dididik keras dan disiplin oleh ayahnya tau betul mana yang benar dan salah.
Meskipun nakal, tapi ia tau batasan-batasan yang tetap harus ia jaga.
Setelah lelah belajar, bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Semua murid juga langsung bubar barisan.
Jamal yang melihat Furya seperti buru-buru ingin pulang langsung mengajaknya nongkrong.
“Gak ikut nongkrong lagi siang nih sama anak-anak?”
“Gak bisa mal, aku siang nih ada perlu.”
“Yaudah nanti malem jangan gak datang lagi dong, dah lama gak ngumpul malam mingguan bareng kita.”
“Sep, nanti aku usahain dateng.”
Sebenarnya Furya sangat ingin menghabiskan waktu dan berkumpul bersama teman-temannya.
Tapi sudah dua bulan ini biaya rumah sakit sang ibu belum di bayar dan uang kompensasi juga sudah habis tak tersisa.
Meskipun mencoba hemat, tapi ia yang masihlah bocah 17 tahun bisa apa.
Karena kekurangan uang juga sudah dua bulan ini ia harus kerja banting tulang di bengkel padahal luka lamanya masih belum sembuh total.
Sambil berjalan ke parkiran, Furya yang mengecek kondisi Arthur bisa bernafas lega.
“Huh ... cuman lagi kumat aja berarti. Oke Arthur, hari ini kita bakalan jalan jauh jadi mohon kerjasamanya.”
Sambil mengendarai motor bututnya, Furya pergi menuju sebuah kantor yang terletak di pusat kota.
Ia berencana menemui orang yang sudah menabrak keluarganya waktu itu untuk membahas masalah kompensasi yang masih belum jelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Imam Sutoto Suro
lanjutkan gan seruuu
2024-10-18
0
jro sryani
kls IPS dunia Maya saja yg ada fisikanya...wk..wk..wk
2024-10-10
0
Naga Hitam
berhenti ngerokok la..katanya mau hemat..
2024-10-08
0