Gadis Rahasia Tuan Thesar
"Karena kamu, Clara Amanda."
Sebuah jawaban ambigu atas pertanyaan yang membelenggu hidup Clara selama dua belas tahun. Menjadi gadis yang dirahasiakan keberadaannya sejak berusia sepuluh tahun, tentu bukanlah sesuatu yang mudah dijalani.
Demi menjaga keselamatannya tetap terjaga, Clara harus menjadi sosok gadis manis, tidak banyak bicara, dan tentu patuh kepada seorang pria angkuh dingin yang mengurungnya. Pria itu biasa dia panggil Teshar.
“Kali ini aku tidak boleh gagal,” gumam Clara seraya mengepalkan jemarinya erat-erat.
Setelah melalui banyak hal selama berada di dalam ruangan rahasia tempat tinggal Teshar, malam ini Clara sudah membulatkan tekad untuk melarikan diri.
Rencana kabur malam ini bukan merupakan percobaan untuk kali pertama. Clara sudah tiga kali melakukannya dan berakhir dengan kegagalan yang menyesakkan dada. Tentu saja membuat Teshar murka.
Pria itu tidak pernah menyentuhnya. Gadis itu dinilai begitu kotor hingga berbicara dengannya saja merupakan sesuatu yang dihindari Teshar, meskipun hampir setiap hari pria itu mengunjunginya. Memastikan bahwa keadaannya sehat dan dilayani dengan baik oleh dua orang pelayan pilihan.
Malam ini suasana kediaman Teshar dan orang tuanya tidak seperti biasanya. Tampak ramai dengan banyaknya tamu undangan yang datang. Hal itu tidak luput dari pengamatan Clara. Ia telah memperkirakan sebelumnya setelah menguping pembicaraan dua pelayan pribadinya.
Gadis yang kini telah berusia dua puluh dua tahun tersebut kembali merancang aksi nekat untuk yang ke empat kalinya. Dia akan menyelinap di antara tamu undangan dan pergi tanpa ada yang mencurigai. Rencana kali ini lebih matang dari yang pernah dilakukan Clara sebelumnya.
Clara belum beranjak dari tempatnya, mengintip di balik tirai putih jendela kamar. Ia fokus mengamati jalannya acara yang mengusung tema pesta kebun, digelar di area taman samping yang menjadi pemisah dua kediaman milik keluarga Indira. Lahan luas itu terdiri dari dua bangunan utama milik Teshar dan satunya lagi milik orang tuanya. Meskipun dekat, tapi orang tua Teshar tidak pernah berkunjung ke rumah yang ditempatinya.
“Huh! Gaya busanaku sudah mirip seperti mereka yang datang, 'kan,” gumam Clara merasa lega setelah memastikan kostum para tamu wanita terlihat juga mengenakan gaun malam layaknya seorang putri.
Malam ini merupakan hari perayaan ulang tahun pernikahan orang tua Teshar yang ke-50 tahun. Semua orang tampak sibuk, pelayan maupun pengawal yang menjaga kediaman itu tidak berada di tempat biasanya. Semua fokus berjaga di lokasi pesta. Sebuah kondisi yang menguntungkan bagi kelancaran rencana Clara.
Angin malam masuk ke dalam kamar melalui celah jendela yang sedikit terbuka membuat tubuh Clara sedikit menggigil. Kulitnya yang putih pucat dengan urat ungu kebiruan tampak tercetak jelas. Gadis itu sampai lupa kapan terakhir kali mencium aroma matahari dan rasanya menginjak tanah. Hatinya diliputi kesedihan setiap kali membayangkan betapa berat hari-hari yang harus dilaluinya selama ini.
“Clara, bersabarlah.” Gadis itu mencoba menyemangati dirinya sendiri. “Dunia bebas sudah menanti."
Dia mengusapkan kedua belah telapak tangannya untuk mengurangi kegelisahan yang mulai melanda. Waktunya sangat sempit, ia sudah harus keluar dari ruangan ini dan bergabung dengan tamu sebelum acara selesai, atau kesempatan emas itu akan berakhir sia-sia.
Clara segera melangkah ke arah cermin yang menempel pada dinding sebelum keluar dari kamar. Mematut diri sambil mengatur napas untuk melenyapkan kecemasan. Gadis itu mengepalkan tangannya erat ketika melangkah menuju ke arah pintu.
Tangan gadis itu menggeser pelan sekat yang memisahkan antara kamarnya dengan sebuah ruangan luas berupa perpustakaan pribadi Teshar. Tampak berjajar rak tinggi berjumlah puluhan dengan ribuan koleksi buku di dalamnya. Satu-satunya jendela dunia bagi Clara untuk mengetahui dan mempelajari ilmu pengetahuan selama tinggal di ruangan itu.
Clara melangkah pelan, memilih untuk menenteng sepatunya untuk mengurangi suara benturan lantai marmer yang dipijak. Tangannya dengan perlahan membuka pintu yang tidak dikunci. Dua Pelayan pribadinya tidak lagi mengunci pintu setelah Clara bersikap baik dan tidak pernah membuat masalah selama satu tahun ini. Kondisi ini membuat hatinya lega.
Setelah mengamati koridor ruangan yang lengang tanpa ada satu pun pengawal berjaga, Clara segera keluar lalu menutup pintu pelan tanpa meninggalkan suara. Tidak ingin membuang banyak waktu, gadis itu melangkah cepat menyusuri koridor yang memiliki pilar-pilar kokoh sebagai penyangga.
“Aku harus memilih jalan yang mana ini?” gumamnya bingung.
Banyak jalur persimpangan yang membuatnya ragu dalam menentukan jalan mana yang benar menuju ke lantai bawah. Ruangan itu sangat besar seperti dalam kastel, banyak deretan pintu ruangan yang tertutup rapat. Clara tetap berlari kecil dengan pikiran semrawut.
“Harusnya peta bayangan yang sudah kubuat tidak membuatku tersesat.” Clara menggeram kesal dalam hati.
Gadis itu terus berlari menyusuri lantai marmer yang dingin dengan bertelanjang kaki, menjinjing gaun putih panjang yang ia kenakan. Napasnya tersengal karena seumur hidup baru kali ini ia berlari. Wajahnya yang putih pucat pun mulai memerah dengan butiran keringat membasahi dahi.
“Huh. Ada orang!” pekiknya terkejut ketika akan berbelok ke salah satu persimpangan terdapat dua pengawal sedang berjalan ke arahnya.
Clara pun segera memutar arah dengan panik, berusaha mencari tempat untuk bersembunyi sementara. Gadis itu kembali mundur dengan tangan terus mencoba untuk membuka satu persatu kenop pintu di sepanjang langkahnya.
“Tolong, Tuhan. Sisakan ruang tidak terkunci agar aku bisa bersembunyi,” pintanya penuh harap.
Lorong yang sunyi membuat jejak sepatu pengawal yang berjalan pun semakin terdengar mengintimidasi. Clara hanya bisa menahan napas penuh kecemasan, jantungnya berdebar kencang. Gadis itu memeluk sepatunya dengan satu tangan, sedangkan yang lain menggenggam gaun panjangnya agar leluasa dalam bergerak. Jujur saja, ia sangat membenci model gaun yang selalu dipakainya.
“Laki-laki menyebalkan itu suka sekali menyiksaku dengan memberikan pakaian jelek seperti ini.”
Clara menggerutu, masih terus berjalan tergesa untuk mencari tempat bersembunyi. Ia sangat berharap usahanya malam ini berhasil. Clara masih berupaya membuka pintu di sepanjang lorong Yang dilaluinya.
“Bagaimana ini. Pengawal itu semakin dekat,” bisiknya frustrasi.
Dia sangat berharap menemukan satu ruangan tidak terkunci karena tidak ada lagi tempat bersembunyi. Lorong yang dilaluinya panjang tanpa terdapat sekat.
Tepat ketika dua pengawal kediaman Teshar muncul di tengah persimpangan, Clara akhirnya berhasil membuka salah satu dari puluhan pintu yang berjajar di koridor tersebut. Buru-buru gadis itu masuk dan menutup dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Alangkah lega hatinya ketika berhasil lolos untuk ujian permulaan.
Clara memutar pandangan, segera menangkap suasana ruangan yang hangat, lampu redup. Sebuah kamar berisi ranjang yang besar, di sisi dinding sebelah kanan terdapat deretan lukisan dan foto-foto seorang anak kecil. Di sebelah kiri terdapat bufet, sofa, dan kursi malas menghadap ke arah jendela kaca yang lebar menampakkan gelap malam.
“Kamar siapa ini?”
Kepala gadis itu memutar arah, memindai ruangan. Ia menebak kalau kamar yang dimasukinya pasti ada penghuninya.
Sambil mengatur napas agar lebih tenang, Clara berkeliling lebih jauh ke dalam ruangan itu. Menilik beberapa barang yang tergeletak di atas nakas. Melangkah lagi mendekat ke arah ranjang di mana sebuah barang kotak persegi panjang tergeletak di sana. Tangannya pun terulur untuk meraih benda itu hingga bunyinya yang nyaring mengejutkan Clara. Gadis itu mundur tiga langkah, dadanya berdebar kencang.
“Apa itu yang namanya ponsel?” gumamnya ingin meraih benda itu. Namun, tanpa sengaja tangannya malah menjatuhkan sebuah remote control TV yang berada di sebelahnya hingga menimbulkan suara nyaring di lantai.
“Ops!” Secara spontan Clara membekap mulutnya dengan telapak tangan. Dia tidak menyadari satu sepatunya terlepas dari genggaman.
“Siapa itu di luar!” Suara teriakan dari dalam kamar mandi membuat Clara tersentak. Suara familier yang bisa dipastikan siapa pemiliknya.
Bola mata gadis itu membelalak, kepanikan segera menguasainya ketika kenop pintu tempat pria itu berada berputar hendak terbuka.
“Pelayan!” teriak pria itu seraya membuka pintu.
“Hah! B-benar 'kan, itu kak Teshar?” Clara terpekik kaget.
Buru-buru ia beringsut mundur, bergegas membuka pintu lalu keluar dari kamar. Ia berharap dua pengawal yang melintas di koridor sudah pergi dan tidak menemukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Raufaya Raisa Putri
𝗧𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮 𝗮𝗸 𝗯𝗿𝗼𝘁𝗵𝗲𝗿 𝘁𝗮𝘂 𝗮𝗱 𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮 𝗶𝗻𝗶...
2024-05-05
0
Hanipah Fitri
aku mampir thor
2024-01-24
0
Erna Sulastri
mampir kaka
2023-07-28
1