Di luar sana, langit masih gelap dan udara dini hari masih terasa dingin menusuk tulang. Orang-orang masih terlelap dan terlena di atas pembaringan yang empuk, dengan selimut tebal menutupi seluruh bagian tubuh untuk mengusir rasa dingin. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Thalia yang sudah terbiasa bangun lebih awal untuk memulai aktifitas. Wanita cantik itu tetap beranjak dari pembaringan meskipun rasa dingin melenakan.
Thalia meninggalkan sang putri yang masih terlelap di kasur lantai tempat mereka berdua mengistirahatkan tubuh untuk memulai hari mencari nafkah, demi menghidupi diri dan sang putri. Begitu hendak ke kamar mandi, Thalia langsung teringat dengan alat tes kehamilan yang dia beli kemarin sore. Thalia bergegas menyambar benda pipih tersebut dari atas meja kecil dan kemudian membawanya menuju kamar mandi sempit untuk membuktikan dugaannya.
Setelah alat tersebut dicelupkan sebentar ke dalam wadah yang berisi air seni, Thalia kemudian menyandarkan punggung di dinding kamar mandi yang dingin. Berdebar Thalia menanti hasil. Dia memejamkan mata seraya berdoa, semoga apa yang dia khawatirkan tidak terjadi.
Tiga puluh detik berlalu. Thalia lalu memberanikan diri membuka mata. Dengan seksama, dia memperhatikan benda pipih di telapak tangan yang kini telah menunjukkan dua garis merah.
Thalia menangis dalam diam. Dia remas benda pipih yang tadinya berwarna putih bersih, tetapi kini memiliki noda dua garis merah itu dengan tangan bergetar. Remuk, seperti itulah gambaran hatinya sekarang.
"Maafkan aku yang tidak bisa menjaga diriku sendiri, Ale. Maaf ..." Tangis Thalia pecah di sana, seiring dengan tubuhnya yang luruh dan merosot di lantai kamar mandi yang lembab. Dia terus menangis seraya meminta maaf pada Alexander yang hingga kini belum diketahuinya secara pasti, kabar tentang kematiannya.
Beberapa menit berlalu, Thalia masih saja menangis. Hatinya hancur dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akankah dia meminta pertanggungjawaban ayah dari janin yang tumbuh di rahimnya sekarang?
Thalia menggeleng kuat. "Tidak, aku bisa merawat anak ini sendiri!" Thalia menyeka air matanya dengan kasar dan kemudian segera bangkit untuk melanjutkan aktifitas. Hidup harus terus berjalan, begitulah prinsip yang selalu dia pegang karena dia hidup sendirian dan tidak memiliki sandaran.
Thalia tentu tidak mau menemui mantan bosnya. Membayangkan tentang ayah dari janin yang tumbuh di rahimnya saja, dia enggan. Apalagi jika harus menemui Moohan dan meminta pertanggungjawaban dari pria yang telah melukai hati Thalia begitu dalam.
'Aku tidak mau dia menghina dan menuduhku bahwa aku mengada-ada serta mengambil keuntungan dari kejadian kala itu! Aku tidak sudi dianggap mengemis dan meminta untuk dikasihani dengan mengaku-aku mengandung anaknya! Dia pasti akan menganggapku tidak lebih seperti kebanyakan teman-teman kencannya yang dengan begitu mudah diajak tidur oleh sembarang pria! Tidak, aku tidak akan membiarkan diriku dan anak-anakku bertemu dengannya lagi!'
Thalia terus menyibukkan diri dengan aktifitas yang sudah dua minggu ini dia lakoni. Membuat aneka kue basah untuk kemudian dia jual di kiosnya yang sempit. Tanpa terasa, semua kue telah matang dan siap untuk dipindahkan ke dalam etalase kaca.
Wanita muda itu bekerja dengan sangat cepat. Thalia tidak ingin ketika sang putri terbangun, pekerjaannya belum selesai karena tentu dia akan kerepotan sendiri nantinya. Lagipula, kasihan dengan Aletha yang akan merasa diabaikan jika dia masih bekerja ketika putrinya itu sudah membuka mata.
Setelah menata kue-kue di dalam etalase kaca, Thalia bergegas mandi dan kemudian menyiapkan susu formula untuk sang putri. Ya, sejak kemarin siang, Aletha tidak mau lagi menyusu padanya karena mungkin rasa Asinya tidak lagi enak, efek dari kehamilan yang baru berusia dua minggu itu. Akhirnya, Thalia berinisiatif untuk memberi sang putri susu kemasan karena sang putri belum saatnya untuk mendapatkan makanan tambahan.
Tepat di saat Thalia selesai membuat susu, suara kecil Aletha yang sudah mulai ngoceh terdengar menggemaskan. Thalia bergegas menghampiri putri kecilnya dan kemudian memberikan susu formula tersebut pada sang putri. Wanita cantik itu memandangi wajah cantik Aletha, dengan lekat.
'Kamu masih terlalu kecil untuk memiliki seorang adik, Nak, tapi dia telah hadir di antara kita dan mommy tidak bisa mencegahnya. Bagaimanapun cara dia hadir, dia tetaplah anugerah yang harus kita terima. Semoga kamu juga bisa ikhlas menerima hadirnya dan berbagi cinta dan perhatian dengan adikmu nanti, Sayang.'
Setetes air mata Thalia jatuh dan menimpa pipi lembut sang putri. Aletha tiba-tiba membuka mulut dan melepaskan botol minumnya. Bayi mungil itu kembali mengoceh sambil menggapai-gapai wajah sang mommy yang begitu dekat. Thalia kemudian tersenyum pada sang putri dan mencium tangan kecil putrinya.
Bayi itu lalu menggerakkan tangan seperti mengusap air mata sang mommy masih sambil berceloteh. Seolah, berbicara pada mommynya bahwa dia akan menjadi kakak yang baik. Kakak yang akan ikut menjaga sang adik nantinya.
Nun jauh disana, di sebuah kota yang berjarak ratusan mil dari kota kecil tempat Thalia menetap sekarang, Moohan tiba-tiba terbangun dan langsung berlari menuju kamar mandi. Pria tampan itu merasakan mual yang luar biasa di perutnya dan serasa ingin memuntahkan semua yang ada di dalam perut. Benar saja, sesampainya di kamar mandi, Moohan langsung memuntahkan semua isi perut hingga tanpa sisa.
"Apa aku salah makan?" gumam Moohan pada diri sendiri sambil menatap wajahnya yang memerah, pada cermin besar yang menempel di salah satu sisi dinding kamar mandi.
Moohan mengerutkan dahi, mengingat-ingat apa saja yang dia makan semalam. Sedetik kemudian, dia menggeleng. 'Tidak, aku tidak makan yang aneh-aneh kemarin. Makan pedas pun tidak, tapi mengapa perutku bisa tiba-tiba mual?' Moohan menggeleng dan kemudian bergegas kembali ke tempat tidur karena matahari baru saja muncul.
Pria tampan itu masih ingin bermalas-malasan, seperti satu minggu terakhir sepulang Moohan dari tempat sang mama. Dia tidak lagi memiliki gairah untuk bekerja setelah kepergian Thalia. Lagipula, dia juga tidak perlu ke kantor tepat waktu karena sudah ada Zack yang selalu bisa diandalkan.
Moohan baru saja memejamkan mata ketika rasa mual kembali hadir. Bos TMC itu bergegas beranjak dan berlari kecil kembali ke kamar mandi. Di sana, Moohan kembali memuntahkan isi perut yang hanya berupa cairan karena semua isi perutnya telah dia muntahkan tadi.
Pria tampan itu menyandarkan punggung pada dinding. Rasa lemas menjalari seluruh tubuh dan kepalanya tiba-tiba terasa pening. Moohan memejamkan mata di sana untuk beberapa saat.
"Aku harus panggil dokter," gumamnya seraya berjalan tertatih, kembali ke ranjang dengan keringat dingin yang bercucuran.
Moohan segera meraih ponsel dan kemudian menelepon sang asisten. Setelah memberikan perintah pada Zack, bos TMC itu melempar dengan asal ponselnya di atas ranjang dan kemudian dia pun merebahkan diri di sana. Tidak perlu menunggu lama, dokter keluarga yang tinggal tidak jauh dari masion miliknya, masuk ke dalam kamar yang diiringi oleh Zack.
"Apa yang Anda keluhkan Tuan Muda Moohan?" tanya pria berkacamata itu setelah berada di samping ranjang Moohan.
"Dia sedang merindukan seseorang, Dok," sahut Zack yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari sang bos.
☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕ tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Hafifah Hafifah
simoohan lagi terkena syndrom simpatik nih kayaknya
2023-10-20
4
Yoyok Yoyok
biar saja mohan merasakan ngidam
2023-10-14
2
Dewi Zahra
semangat kak
2023-10-12
0