Tidak salah dengar

Gavin melempar dengan kasar ponselnya ke kasur. Dia terlihat begitu frustasi dengan kondisinya saat itu. Tidak dia sangka, jika dirinya akan terjebak masalah dengan asisten rumah tangganya sendiri.

"Ckckkkk, sial!" umpatnya berkali kali sembari mengacak acak rambutnya dengan kasar. Malam itu Gavin dan Lala sama sama di buat gelisah, sehingga membuat mereka sulit memejamkan mata.

Hingga hari sudah benar benar larut, barulah mata keduanya bisa terpejam karena merasa lelah. Dan selang beberapa jam kemudian, hari sudah berganti pagi. Gavin mendengar bunyi alarm di ponselnya, sontak matanya pun terbuka dengan perlahan. Rasa kantuk masih melekat di netranya, tapi ketika dia teringat akan Lala, mendadak dia membuka kedua kelopak matanya lebar lebar.

Dia lekas bangun dan duduk di tepian ranjang. Sekali lagi dia mendengus kesal mengingat perintah Bundanya untuk menanyakan nomor ponsel Lala, apalagi Vina memintanya untuk tidak mengusir Lala. Gavin benar benar di buat kacau memikirkan masalah asistennya.

Sementara di ruang lain, Lala sudah bangun lebih awal. Dia hanya memejamkan mata selama tiga jam saja. Karena setelah itu, dia terbangun dengan sendirinya. Sama halnya yang di rasakan oleh Gavin, Lala juga di buat risau ketika mengingat perintah majikannya yang memintanya untuk segera pergi dari rumah tersebut.

Pagi itu, Lala sudah mengemas kembali pakaiannya. Dia tidak punya daya dan kuasa untuk melawan, karena memang dia sadar diri siapa dirinya di rumah itu. Seharusnya memang dia bersyukur sudah di beri tumpangan serta makan gratis selama beberapa hari di rumah Gavin. Urusan upah, saat itu Lala berpikir jika kerugian yang di tanggung oleh Gavin sudah cukup menjadi upah yang harusnya dia terima.

Lala sudah benar benar pasrah. Dia tidak menunggu dua puluh empat jam untuk pergi dari rumah Gavin. Dia merasa tidak enak hati karena sudah terlalu banyak membawa masalah untuk keluarga majikannya. Dengan berat langkah dan berjalan tertatih, Lala mulai keluar dari kamar sambil membawa tas berukuran sedang yang berisikan beberapa helai pakaian. Bersamaan dengan hal itu, Gavin juga tengah keluar kamarnya dengan rambut yang basah usai keramas dan hendak menuju ke meja makan untuk menyantap roti serta selai.

Ketika tiba di depan meja makan, keduanya saling menghentikan langkahnya masing masing. Lala diam tertunduk, sementara Gavin nampak terkejut dan sedikit panik karena melihat Lala sudah bersiap untuk pergi. Bibir Gavin terasa berat untuk menahan, tetapi jika dia ingat pesan dari Bundanya, dia sendiri juga tidak bisa berbuat apa apa untuk melawan. Setelah sempat saling mematung, Lala lah yang memulai bersuara lebih dahulu.

"Saya mau pamit Tuan. Sebelumnya, saya mau ucapkan terima yang sebanyak banyaknya karena sudah di beri tumpangan serta makan gratis di rumah ini. Maaf jika sudah banyak merugikan Tuan, saya benar benar tidak punya kemampuan untuk membayar kerugian yang Tuan sebutkan tadi malam," ujar Lala dengan nada penuh kesedihan. Dan hal itu semakin membuat Gavin gelisah. Dia tidak tahu harus berkata apa. Menahan? Tentu itu adalah hal yang sangat sulit dia lakukan. Melepaskan? Tentu dia akan mendapat masalah baru dengan Vina.

Gavin pun kembali berdecak kesal menghadapi situasi tersebut. Dia hembuskan nafas dengan kasar sambil berkali kali memijat pelipisnya untuk memikirkan sesuatu. Sementara Lala sama sekali tidak bisa membaca kegelisahan itu sama sekali karena pandangannya terus menunduk.

Merasa tidak mendapat tanggapan dari majikannya, Lala kembali melanjutkan langkahnya untuk pergi. Dia yakin, majikannya tersebut sudah tidak peduli lagi dengan dirinya. Namun, langkahnya mendadak terhenti, ketika dia mendengar suara majikannya.

"Heh, berhenti. Kamu tidak perlu pergi, kamu bisa tinggal di sini sampai Bunda kembali!"

Degh, mendadak jantung Lala berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Karena takut jika dirinya sedang berhalusinasi, Lala segera memutar tubuhnya lalu menanyakan kepada majikannya tentang kalimat yang baru saja dia dengar.

"Maaf Tuan, apa saya tidak salah dengar? Benarkah Tuan masih mengizinkan saya tinggal di sini?" tanya Lala dengan ragu. Pertanyaannya pun mendapat jawaban dari sang majikan.

"Saya rasa kamu belum tuli!" jawab Gavin seraya berlalu meninggalkan Lala yang masih tercengang. Tentu dia tidak ingin membuat asistennya itu merasa berbunga bunga dengan kata katanya. Sementara Lala yang sempat tercengang mematung, mendadak mengulas senyum malu dengan pipi merah ketika dia dengar majikannya menahannya untuk tidak pergi. Meski jawaban yang di berikan oleh Gavin tidak nyaman di dengar, tapi setidaknya nyaman untuk di cerna.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!