"Aku dimana?" Naura memperhatikan sekeliling tempat. Ia yang baru saja sadar dari tidur panjangnya masih merasakan kaku di sekujur tubuhnya.
"Kak, aku panggilkan dokter dulu. Kakak ini baru sadar dan harus di periksa dulu." Khanza senang orang yang ia tunggu akhirnya bangun juga. Khanza yang biasanya tidak begitu dekat dengan orang baru, begitu sulit beradaptasi dengan orang baru, tapi dengan Naura berbeda. Khanza bersikap lebih dewasa dari usinya dan mudah sekali mau merawat orang yang tidak di kenalnya.
"Iya, cepat buruan panggilkan dokter." Azriel juga ingin tahu kondisinya. Khanza mengangguk, kemudian berlalu dari sana.
"Kamu jangan banyak gerak dulu, kamu baru sadar setelah sekian lama terbaring." Azriel mencegah Naura yang hendak bangun.
"Berapa lama?" Suara Naura begitu pelan dan bicaranya pun masih terbata. Mulutnya terasa kaku dengan wajah terlihat masih pucat.
"Satu Minggu, selama itu kamu tidur. Dan sekarang Allah memberi kamu kesempatan kedua."
Naura berpikir selama itu ia terbaring tidak sadarkan diri. Selama itu pula dia terbaring lemah tidak sadarkan diri, tapi apa selama itu ada yang menjenguknya?
"Apa ada yang mencari ku?" lirih Naura dengan suara tercekat menahan tangis. Ia teringat ibunya dan hanya satu orang yang ia miliki, ibunya.
"Tidak ada. Kami juga tidak bisa menemukan keluarga kamu dan selama itu pula tidak ada yang mencarimu. Mungkin kamu bisa bilang alamat rumah ibumu, nanti aku coba mencarinya."
"Apa tidak merepotkan kamu? Sudah banyak bantuan yang kamu dan keluarga mu lakukan." Naura tidak enak hati.
"Tidak sama sekali. Aku justru senang membantu mu."
Setelah di desak, Naura bilang alamat rumah ibunya dengan harapan sang ibu mau menjenguknya.
Naura memejamkan matanya, ia memaksa tersenyum untuk menahan sesak yang rasa. Di saat begini tidak ada satupun yang mencarinya. Lalu ibunya?
"Ibu, apa ibu tidak merindukan aku? Apa ibu melupakan aku sampai tidak mencari ku? Segitu tidak pedulinya sama aku dan segitu marahnya sama aku?" batin Naura begitu sesak. Dan air mata pun menetes begitu saja.
"Kamu menangis?" Azriel mendadak panik.
"Tolong periksa keadaannya, Dokter." Khanza sudah masuk bersama seorang dokter. Azriel menyingkir dulu membiarkan dokternya memeriksa keadaan Naura.
"Saya periksa dulu keadaan kamu, ya." Dokternya mulai memeriksa Naura. Beberapa saat kemudian, Dokter itu sudah memeriksa keadaan Naura.
"Semuanya normal, tidak ada luka serius yang kamu alami. Ini mukjizat karena sebelumnya kami merasa tidak ada harapan untuk mu hidup. Dan besok pun kamu bisa pulang."
Ada rasa lega di hati Naura mendengar dirinya baik-baik saja, namun juga ada rasa kecewa karena ibunya tidak memikirkan dia. Jika pulang pun, kemana harus pulang? Tidak punya rumah, tidak punya sanak saudara, dan tidak punya siapa-siapa. Balik ke rumah Melinda tidak mau karena tidak ingin terjebak lagi oleh orang-orang seperti Sisil dan Joanna.
"Ini berkah dari ayat-ayat Alquran dan juga berkat kuasa Allah, yang tadinya mustahil menjadi mustahil," kata Khanza.
"Kamu benar, Khanza. Ini adalah kuasa Allah. Bersyukurlah pada yang maha kuasa karena berkatnya kamu bisa kembali sadar," kata Azriel pada Naura.
"Kalau begitu saya tinggal dulu. Kamu sudah boleh pulang besok karena tidak ada hal yang serius." Dokternya juga takjub oleh kuasa tuhan yang menunjukan kekuasaannya. Segala macam pemeriksaan sudah di lakukan dan Naura tidak mengalami hal yang serius, mungkin hanya lecet biasa saja.
"Alhamdulillah." Ucap syukur Azriel, Khanza, dan Naura ucapkan atas kuasa Allah.
"Kalau kita percaya adanya Allah, pasti semuanya akan baik-baik saja." Khanza duduk di dekat Naura.
"Kamu siapa?" Tanya Naura.
"Aku Khanza, Kak. Adiknya Kak Azriel. Ini kakak aku." Khanza menunjuk kakak laki-lakinya.
"Kalian yang menolongku?"
"Sebenarnya para warga, tapi kami bantu membawa kamu kesini. Karena tidak ada sanak saudara yang menjenguknya, kita menunggu kamu hingga sadar," kata Azriel dan diangguki oleh Khanza.
Naura semakin berkaca-kaca. Di saat seperti ini orang lainlah yang membantunya, bukan orangtuanya.
"Kenapa kalian mau menolongku? Aku ini orang lain, tapi kalian malah bersedia membantuku."
"Sesama manusia harus saling tolong menolong. Kita makhluk Allah dan digariskan untuk saling membantu. Aku dan adikku juga sangat senang bisa membantu kamu."
"Iya, Kak. Makanya kita bantu tungguin kakak sampai sadar," sahut Khanza.
"Lalu siapa yang memasangkan aku kerudung?" ya, sejak bangun dari tidur panjangnya, kepala Naura sudah terbalut kerudung.
"Itu Bunda yang memasangkan. Kata Bunda, aurat Kakak tidak boleh di lihat orang yang bukan mahramnya. Berhubung kak Azriel juga suka menunggu, jadinya Bunda berinisiatif menutup aurat kakak," jelas Khanza membuat Naura semakin terenyuh ada keluarga yang tidak ia kenal mau membantunya.
"Ya Allah, di saat seperti ini aku di pertemukan dengan keluarga yang sangat baik dan mau merawat ku."
"Apa kamu lapar? Aku belikan sesuatu dulu."
"Aku juga lapar, Kak. Tolong belikan Khanza makanan ya."
"Ye ... kamu mau makan terus. Gak lihat perut kamu sudah buncit isinya makanan terus."
Khanza menggembungkan pipinya. "Sama adik sendiri pelit."
Azriel tersenyum. "Iya, kakak belikan makanan buat kamu. Kamu tunggu di sini, ya."
"Terima kasih," ucap Naura tulus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Chintiya Mins
𝚖𝚊𝚊𝚏 𝚝𝚑𝚘𝚛, 𝚖𝚞'𝚓𝚒𝚣𝚊𝚝 𝚒𝚝𝚞 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚗𝚊𝚋𝚒 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐3 𝚋𝚒𝚊𝚜𝚊 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚛𝚝𝚒 𝚔𝚒𝚝𝚊2 𝚒𝚗𝚒
2023-07-04
1