Kediaman Azzam.
Semua anggota keluarga tengah menikmati sarapan bersama. Keluarga kecil nan bahagia ini begitu menikmati makanan yang telah di pasak oleh Azzura.
Azzam, Azriel, Ibu Fatimah, Khanza, dan si gemoy batita Naufal juga ikutan menikmatinya.
"Makanan yang Azzura masak tidak pernah diragukan lagi, semakin enak di makan," kata Fatimah.
"Mama benar, aku semakin cinta saja kepada istriku ini. Dia pandai dalam segala hal," sahut Azzam memuji masakan istrinya yang tidak pernah gagal di Indra perasanya.
"Bunda emang terbaik," seru Khanza yang juga memuji Bundanya.
Wanita mana yang tidak senang mendapatkan pujian dari mertua, suami dan anak-anaknya. Semenjak menikah dengan Azzam, Azzura mendapatkan pujian dari semua orang. Hal yang sangat membuatnya bahagia meskipun hal kecil.
"Dari dulu masakan Bunda memang yang terbaik. Makanya aku jarang makan di luar karena jika sehari saja tidak memakan masakan Bunda, seperti ada yang kurang," kata Azriel ikut memuji masakan Bundanya.
"Ah kalian semua berlebihan, masakan Bunda tidak seenak masakan para koki. Hanya makanan biasa alakadarnya."
"Sudah, lebih baik kita nikmati sarapan bersama ini sebelum Azriel berangkat ke Kairo," kata Fatimah bangga akan keberhasilan cucunya dalam pelajaran.
"Iya, pokoknya kita harus menghabiskan waktu bersama sebelum kakak pergi. Kalau Kak Azriel sudah ada di Kairo, pastinya kita bakalan jarang berkumpul begini dan juga jarang menghabiskan waktu," kata Khanza.
"Tentu saja kita akan menghabiskan waktu bersama, pasti nanti Kakak akan kangen kamu, kangen Ayah dan Bunda, kangen Naufal sama kangen Nenek juga." Ada rasa sedih mengingat mereka bakalan berpisah sampai ajarilah lulus kuliah. Namun, ini adalah salah satu resiko yang harus ia hadapi ketika memutuskan kuliah di luar negeri.
"Ah Bunda jadi sedih," lirih Azzura yang juga sama-sama sedih harus berjauhan dengan putra sulungnya.
Untuk sesaat, mereka menghabiskan sarapan terlebih dulu. Setelah semuanya selesai sarapan, mereka kembali berkumpul di ruang keluarga untuk menikmati kebersamaan yang tercipta.
Si kecil Naufal berada di dalam gendongan sang kakak, Azriel. Batita berusia dua tahun itu begitu menggemaskan tengah tertawa duduk di atas perut sang Kakak.
"Apa Khanza juga bakalan sekolah di pondok pesantren?" tanya Fatimah.
"Khanza inginnya sekolah sambil mondok, ingin seperti Kak Azriel yang juga menuntut ilmu," jawab Khanza bergelayut manja di lengan bundanya.
"Emangnya Kamu yakin mau menginap di pondok? Kehidupan pondok tidak seperti kehidupan sehari-hari di rumah. Bangun harus tepat waktu, harus mengikuti kajian yang ada di pondok, harus menghafal setiap hafalan yang sudah ditentukan oleh pihak pesantren, hingga makan pun seadanya tidak seperti di rumah," kata Azzura yang sudah tahu kehidupan pondok bagaimana. Dia yang dulu pernah singgah di salah satu pondok pesantren milik umi Qulsum mengetahui kegiatan sehari-hari para santri dan juga mengetahui apa saja yang harus dilakukan di sana.
"Iya sayang, memangnya kamu bakalan betah? Tidur saja kadang masih mau ditemani Bunda, Ayah tidak yakin kamu akan betah di sana."
"Ayah, kalau kita tidak mau mencoba kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi di kehidupan kita. Selagi jalan yang Khanza pilih adalah jalan terbaik, masih di jalan yang lurus dan diridhoi allah, maka Khanza akan menempuhnya dengan senang hati. Insyaallah Khanza tidak akan mengeluh karena sebelumnya kanza sudah bertanya-tanya kepada orang-orang yang pernah mondok," jawab Khanza tidak ada kata tidak mau dalam menuntut ilmu yang di inginkannya.
Orangtuanya begitu bangga kepada sang putri yang ingin menuntut ilmu di pondok. Rasa haru menyelimuti relung hati Azzura dan Azzam yang dimana mereka tidak pernah menyangka kalau anak-anaknya begitu menginginkan belajar di sebuah pondok. Tentu saja mereka tidak akan melarang keinginan putra-putrinya.
"Sungguh dewasa sekali pikiran kamu. Nenek bangga sama kamu dan juga Azriel. Kalian berdua calon muda-mudi yang akan sukses baik dunia dan akhirat." Doa tulus Fatimah panjatkan untuk kedua cucunya.
"Aamiin, kami juga berharap sukses di dunia dan akhirat. Dan kami berharap kelak bisa membantu kalian masuk ke dalam surga-NYa," ucap Azriel sambil duduk memangku Naufal.
"Kalian berdua membuat Bunda terharu. Mata Bunda jadi berkaca-kaca gara-gara kalian." Azzura mengerjakan matanya tersenyum di balik cadarnya. Azzam yang ada di samping istrinya merangkul pundak sang istri dan mengusapnya secara lembut.
"Bukan cuma kamu sayang, aku juga terharu memiliki putra-putri yang Soleh dan shalihah. Ini semua berkat campur tangan kamu yang selalu mendidik putra-putri kita menjadi manusia yang taat kepada Tuhannya dan berguna kepada sesamanya."
"Iya, Azzam benar. Berkat didikan kamu juga mereka menjadi seperti ini," timpal Fatimah.
"Kok malah jadi mellow begini sih? Daripada sedih, bagaimana kalau kita jalan-jalan saja?" ucap Azzam menghibur suasana haru yang baru saja terjadi di sana.
"Setuju, aku mau." Khanza bersorak kencang nan gembira ketika ayahnya mengajak jalan-jalan.
"Apa Naufal mau jalan-jalan?" tanya Azriel pada adik bungsunya. Batita bertubuh gempal itu tersenyum lebar seraya bertepuk tangan.
"Yan ... Yan ... Yan ... yeeee ...." Naufal bersorak gembira membuat para orang tua tertawa bahagia.
Kebersamaan, kehangatan, ceria, canda dan tawa yang jarang tercipta didalam sebuah keluarga justru selalu tercipta di keluarga Azzam dan Azzura.
"Kalau begitu ayo kita siap-siap." Azzura mengambil Naufal di pangkuan Azriel.
"Hoyeee ...."
*****
Berbeda dengan kehidupan Naura yang sedang dilanda bencana. Bencana perpecahan antara ibu dan anak yang di sebabkan oleh orang ketiga. Naura yang memutuskan keluar dari rumah ibunya terluntang lantung di jalan mencari pekerjaan.
Gadis muda berparas cantik itu terus menyusuri setiap tempat jualan demi bisa mendapatkan pekerjaan.
"Permisi Bu, apa di sini ada lowongan kerja? Tidak apa-apa jadi pencuci piring juga asalkan bisa saya kerjakan," ucap Naura kepada ibu pemilik warung makan.
"Tidak ada, mendingan kau pergi dari sini! Pergi!" Ibu itu mengusir Naura karena memang tidak ada lowongan di sana.
Naura menghela nafas panjang. "Kemana lagi ku harus mencari pekerjaan untuk menghidupi kebutuhanku? Aku tidak mungkin lagi membebani ibuku."
Langkah Naura begitu lemas, ia tidak pantang menyerah dan terus berjalan dari satu tempat ke tempat lain demi mendapatkan pekerjaan. Dan Naura kembali mencoba bertanya ke restoran.
"Permisi ..." Belum juga selesai, Naura sudah diusir duluan oleh satpam yang ada di sana.
"Hei, kau mau apa kesini? Pengemis dilarang meminta-minta di area sekitar!" seru pak satpam.
"Pak, aku bukan pengemis."
"Saya tidak percaya, pergi kamu!" Pak satpam mendorong tubuh Naura.
"Maaf, Pak." Ingin rasanya Naura menangis meratapi nasibnya yang tidak tahu harus kemana. Keluar dari rumah tidak membawa uang sepeserpun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments