Tidak Sesuai Perjanjian

Langit cerah diikuti oleh angin yang berembus sepoy-sepoy, membuat suasana hati Alula begitu ceria. Sudah beberapa hari ini kondisi ayahnya semakin membaik setelah kembali ke rumah.

Mata pelajaran kali ini adalah Biologi, salah satu yang menjadi kesukaan Alula, meski kadang ia sedikit blank. Seperti saat ini, seorang guru baru saja mengakhiri penjelasannya seputar sistem reproduksi dan mempersilahkan kepada para siswa untuk mengajukan pertanyaan terkait.

Alula menjadi salah satu siswa yang begitu antusias mengajukan pertanyaan.

"Pak, kemarin praktek sistem pencernaan seru banget, kapan kita praktek sistem reproduksi?"

Semua siswa di dalam kelas itu sontak tertawa mendengar pertanyaan dari Alula. Hingga membuat gadis itu tersadar akan pertanyaannya.

"Astaga, sepertinya aku salah pertanyaan."

Alula memukul pelan mulutnya beberapa kali merutuki keceplosan yang kadang memang tak ia sadari.

"Sudah-sudah, kalau begitu bapak akhir pertemuan kita hari ini. Dan kamu Alula, praktek sistem reproduksinya ditunda dulu, nanti setelah kamu menikah baru dipraktekkan."

Lagi-lagi suara gelak tawa dari para siswa di kelas itu kembali terdengar, tak terkecuali Nanda, sahabat yang duduk di sampingnya.

"Ya ampun, La. Sepertinya kamu lupa minum deh, jadi ngeblank gitu."

Nanda kembali tertawa sambil sesekali memukul lengan Alula hingga membuat gadis itu meringis dan menatap tajam ke arahnya.

"Ooops, sorry," cicit Nanda seraya menarik kembali tangannya.

Bel tanda berakhirnya sekolah hari ini berbunyi, para siswa satu persatu keluar meninggalkan kelas, begitu pun dengan Alula dan Nanda. Kedua gadis remaja itu kini berjalan keluar dari kelas bersama, sambil bercerita.

Langkah kaki mereka terhenti saat melihat sosok pria dewasa yang begitu tampan sedang berdiri di depan pagar sekolah dengan sebuah mobil mewah berada di sampingnya.

"La, lihat Om itu, cakep banget yah," ujar Nanda begitu takjub, tapi berbeda dengan Alula yang justru tampak biasa-biasa saja.

"Cakep apanya? Udah tua gitu juga, lihat aja tuh jenggotnya yang menjalar sampai ke pipi, udah kayak semak belukar aja, ih geli aku lihatnya."

"Ya ampun, Lala. Itu namanya brewok, cowok seperti itu tuh yang banyak diincar cewek zaman sekarang, apalagi wajah Om itu mirip orang Timur Tengah, seleraku banget."

"Ya udah ambil aja sono."

Alula mendorong pelan tubuh Nanda lebih dulu saat jarak mereka dengan laki-laki itu sudah tidak jauh lagi

"Ish, apaan sih, La! Malu tahu."

Alula hanya tertawa melihat tingkah sahabatnya yang mulai salah tingkah dengan wajah yang merah merona. Puas sekali rasanya bisa menjahili sahabatnya itu. "Katanya selera kamu."

"Iya selera sih selera, tapi tidak gitu juga kali, La," bisik Nanda saat melewati laki-laki itu, berharap apa yang mereka bicarakan tidak terdengar olehnya.

"Kamu Alula, 'kan?"

Alula dan Nanda seketika menghentikan langkahnya dan saling menatap. Dalam hati, kedua gadis itu mengira jika laki-laki itu mendengar pembicaraan mereka.

"Kamu Alula, 'kan?" ulang laki-laki itu karena tak mendapat respon, membuat mereka langsung berbalik.

"I-iya, Om, maaf, tadi aku tidak bermaksud membicarakan Om, temanku hanya takjub dengan ketampanan Om yang paripurna meski dipenuhi semak belukar," ucap Alula cepat. Namun di detik berikutnya, Alula dengan cepat menutup mulutnya yang lagi-lagi keceplosan.

Begitu pun dengan Nanda yang mengusap kasar wajahnya karena sang sahabat menyeret namanya sebagai pelaku utama.

"Apa? semak belukar? Ya ampun anak ini, ingin kusumpal mulutnya biar aman."

"Masuk!" titah laki-laki itu dengan wajah datar, tangannya refleks memegang brewok miliknya yang selama ini ia rawat seperti anak sendiri usai dikatai semak belukar.

"Apa?" Kenapa?" tanya Alula mulai panik.

"Aku bilang masuk sekarang!" titahnya lagi dengan suara yang lebih tegas.

"Ampun, Om, jangan culik kami." Alula mengatupkan kedua tangannya di depan dada seolah sedang memohon, ia juga mulai membuat ancang-ancang untuk bisa melarikan diri dengan cepat.

"Ya ampun, ini yang aku tidak suka dari anak kecil, terlalu membuang-buang waktu."

Lelaki itu mulai mengeraskan rahangnya karena merasa kesal. "Om Amin memintaku untuk menjemputmu, jadi cepat masuk! Kamu sudah membuang waktu berhargaku secara percuma."

Mendengar nama sang ayah, Alula dengan patuh langsung berjalan mendekati mobil itu, diikuti oleh Nanda di belakangnya. Namun, langkah Nanda tertahan saat Lelaki itu memblokir jalan dengan menggunakan satu tangannya.

"Hanya Alula yang aku jemput," ujar laki-laki itu dengan wajah datar, lalu masuk ke dalam mobil. Nanda hanya bisa mendengus lalu mundur beberapa langkah sambil melihat sahabatnya yang sudah masuk lebih dulu kini melambaikan tangan ke arahnya.

"Keluar!"

"Loh, katanya tadi Om mau menjemputku, kenapa sekarang malah di suruh keluar?"

Alula menautkan kedua alisnya, ia begitu heran dengan sikap laki-laki yang duduk di depannya itu, seperti wanita yang sedang PMS yang sangat mudah marah, begitu pikirnya

"Kamu pikir aku supir kamu? Duduk di depan!"

Seolah mendapatkan ultimatum, Alula dengan cepat berpindah tempat duduk ke depan sambil tersenyum hambar ke arah laki-laki itu.

"Maaf, Om," cicitnya.

Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya jalan siang itu. Hingga dalam waktu beberapa menit mereka tiba di rumah sakit.

"Om, kok malah datang ke sini? Ini bukan rumahku."

Lelaki itu beberapa kali menghela napas agar tetap tenang dan sabar mendengar ocehan gadis itu, sejujurnya ia benar-benar benci dipanggil om, tapi mau bagaimana lagi, saat ini ia sedang tidak berselera untuk memperkenalkan diri.

"Jangan banyak tanya dan ikuti saja aku."

Laki-laki itu keluar dari mobil dan berjalan lebih dulu meninggalkan Alula. Merasa penasaran, akhirnya gadis itu mengikutinya berjalan di belakang.

Tok tok tok

Laki-laki itu mulai membuka pintu kamar di mana sosok yang sangat Alula kenali kembali berada di sana, bahkan dengan alat medis yang lebih banyak menempel di tubuhnya.

"Ayah!"

Alula segera berlari mendekati tempat tidur sang ayah yang terbaring lemah, air matanya luruh begitu saja tiap kali melihat sorot mata sayu dari netra laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu.

"Kenapa Ayah di sini lagi?" tanya gadis itu.

Tanpa menjawab, tangan yang mulai keriput itu terangkat dan mengusap lembut kepala sang putri yang tertutup hijab. Tanpa disadari, air matanya juga ikut mengalir hingga membasahi bantal.

"Maafkan ayah, Nak," ucapnya dengan suara pelan.

Laki-laki paruh baya itu kini melirik ke arah sahabatnya yang berdiri tidak jauh dari sana. Irwan yang mengerti akan maksud tatapan Amin pun langsung maju mendekat.

"Nak, ayahmu ingin kamu menikah saat ini juga."

Mata Alula seketika membulat menatap ke arah sahabat ayahnya itu. "Apa? Bukankah perjanjiannya setelah aku dewasa dan lulus sekolah? Aku masih di bawah umur Om, aku masih ingin bermain, masih ingin bebas," protes gadis itu dengan suara yang mulai terdengar bergetar.

"Maaf, Nak. Dokter baru saja memeriksa keadaan Ayahmu, dan kondisinya semakin memburuk, Ayahmu takut akan pergi lebih dulu sebelum menikahkanmu."

Alula kembali menoleh ke arah sang Ayah, air matanya mengalir kian deras setelah mendengar fakta akan kondisi sang ayah. "Tidak, Ayah jangan pergi, kalau Ayah pergi Lala sama siapa? Lala tidak mau kehilangan Ayah, kumohon Ayah jangan tinggalkan Lala."

Gadis itu terisak sambil memeluk sang ayah, ia benar-benar tidak sanggup jika harus kehilangan orang yang sangat ia cintai, orang yang selama ini selalu ada untuknya.

Cukup lama Irwan berusaha membujuk Alula, tapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Hingga akhirnya Arya yang mulai risih dengan sikap keras kepala gadis itu ikut angkat bicara.

"Kamu tahu? Menangis seperti itu akan semakin mengulur waktu, Alula. Ayahmu ingin kamu segera menikah, dengan begitu beliau bisa menjadi wali nikahmu dan bisa lebih tenang, bukankah memenuhi keinginan dan membahagiakan ayah adalah keinginanmu? Jadi tolong jangan menambah beban ayahmu sekarang."

Alula menghentikan tangisnya sesaat lalu menoleh ke arah laki-laki yang tadi menjemputnya di sekolah.

"Om siapa sebenarnya?" tanya Alula dengan suara yang mulai serak.

"Dia Arya, Nak. Calon suami kamu." Irwan dengan cepat menjawab pertanyaan Alula, ia takut Alula akan salah paham tentang putranya karena baru saja dipanggil om.

"Apa?"

Alula cukup terkejut saat mengetahui bahwa calon suaminya adalah laki-laki dewasa yang sejak tadi ia panggil om. Ia benar-benar tidak menyangka sang ayah akan menjodohkan dirinya dengan laki-laki yang jauh lebih tua darinya.

Alula mencengkram ujung seragamnya dengan begitu kuat hingga urat-urat di tangan putihnya lebih jelas terlihat. Ia menunduk dalam dengan mata yang terpejam. Tubuhnya mulai bergetar saat air mata kembali keluar melalui sela-sela kelopak matanya yang saling menutup.

Rasanya ia benar-benar tidak terima dijodohkan seperti ini, ingin sekali ia mengungkapkan isi hatinya jika ia sangat keberatan dengan perjodohan yang tidak sesuai perjanjian ini. Namun apa hendak di kata, menolak hanya akan membuat kondisi sang ayah semakin buruk.

-Bersambung-

Terpopuler

Comments

Neulis Saja

Neulis Saja

seiring berjalannya waktu cinta akan hadir diantara kalian

2024-03-14

0

bunda syifa

bunda syifa

jadi inget Malika Thor, " dirawat seperti anak sendiri" 😁😁

2023-09-17

1

bunda syifa

bunda syifa

baru Nemu ini Thor ada yg nyama'in brewok sama semak belukar 😅😅😅

2023-09-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!