Bad Boy | Bab 18

“Udah gue bilang jangan kaget, Baangkee!”

Menikah bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan dengan mudah. Dia tidak pernah mendengar nama Naomi seperti yang diceritakan Brian sebelumnya. Apalagi, Brian menikah saat pergi dari rumah dan pasti tanpa persetujuan ayahnya. Tentu saja Iyan tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut dengan pengakuan Brian yang katanya sudah menikah.

“Ini di luar prediksi BMKG, Nyet! Lo emangnya ngapain sampai dituduh yang enggak-enggak?” tanya Iyan setelah menguasai diri dari keterkejutannya.

Brian membaringkan tubuh di kasur. Dia menatap langit-langit kamar sahabatnya itu dan mulai bercerita. Tentang pertemuan awal dengan Naomi, tentang fitnah yang diterimanya, juga tentang pernikahannya dengan Naomi yang tak bisa dielak lagi, semua Brian ceritakan.

Sementara Iyan yang sejak tadi mendengarkan, kini justru penasaran dengan rupa dan wujud Naomi yang baru dikenal Brian tapi langsung berubah status menjadi istrinya. Secantik apa Naomi sampai Brian pasrah saja menikahinya?

“Kenapa gue mikirnya Naomi itu cantik ya, Nyet? Nikah itu kan hubungan yang akan selalu ada jejaknya walau elo sembunyiin kayak apa pun. Nggak mungkin elo mau nikah kalau dia jelek, ‘kan?” tanya Iyan sembari menatap curiga pada sahabatnya itu.

Brian membayangkan wajah Naomi. Memang benar, meskipun judes dan cerewet, tapi Naomi memang asli cantik. Bahkan, saat tidur tanpa riasan wajah pun dia masih terlihat cantik.

“Ya begitu deh! Lo nggak usah tahu! Dia itu bini rahasia gue. Lo cukup tahu aja kalau gue udah nikah, tapi nggak usah tahu seberapa cantik istri gue!” balas Brian sembari tersenyum bangga. Setidaknya, meski menikah karena terpaksa, wajah Naomi tidak akan membuatnya malu kalau pernikahannya terungkap.

“Bokap lo tau?”

“Mungkin! Sejak kapan dia nggak ngawasin gue? Nggak mungkin gue beneran bebas, tapi sejauh ini belum ada tindakan apa-apa sih. Mungkin aja Jefri Atmaja diem-diem kasih restu karena bini gue cantik!”

Sementara itu, saat ini Naomi masih sibuk dengan pekerjaannya. Wanita cantik itu begitu fokus karena tidak mau membuat masalah dengan pemimpin perusahaan.

Sampai akhirnya jam makan siang tiba. Kebetulan di kantor itu sudah disediakan kantin gratis untuk karyawan. Hal tersebut tentu dimanfaatkan dengan baik oleh Naomi. Lumayan, bisa hemat. Maklumlah, anak kos memang begini.

“Hai Naomi, gimana kerja di sini? Ada kesulitan nggak?” tanya seorang pemuda saat melihat Naomi berjalan ke kantin dengan temannya.

Seperti biasa, Naomi akan tersenyum ramah membalas sapaan yang ditujukan untuknya. “Eh, Pak Rio. Sejauh ini masih bisa diatasi kok, Pak. Saya masih menyesuaikan diri,” jawab Naomi.

Pemuda bernama Rio itu seorang supervisor di bagian lain yang sudah lama menyukai Naomi. Mereka pernah bertemu beberapa kali di kantor cabang, sehingga kedatangan Naomi di kantor itu tentu menjadi kabar bahagia untuk Rio.

“Kalau butuh apa-apa, kamu bisa kasih tahu saya!” kata Rio sebelum masuk ke kantin yang dikhususkan untuk para petinggi perusahaan.

Naomi mengangguk, dan berpisah dengan Rio karena dia harus berjalan lagi ke kantin yang khusus karyawan seperti dirinya. Rupanya, Pak Jefri melihat Naomi yang berjalan ke kantin, kebetulan ayah Brian itu baru selesai makan di kantin yang sama dengan Rio.

“Naomi, Pak Rio itu kayaknya suka sama kamu deh. Kamu suka di chat nggak sama dia?” tanya Alma, teman Naomi yang juga pindahan sementara dari kantor Cabang.

“Apaan sih, Al? Kamu kan tahu, aku nggak mau pacaran lagi,” jawab Naomi sambil terus berjalan.

Kedua wanita itu terlalu asik mengobrol, sampai-sampai tidak menyadari adalah orang lain belakang mereka. Ya, laki-laki di belakang Naomi dan Alma adalah Pak Jefri. Dia tadinya akan ke kantin karyawan untuk mengecek situasi, tapi obrolan Naomi lebih menarik perhatiannya.

‘Jadi, Naomi ini masih jomblo. Sepertinya akan ada banyak kesempatan untuk mendekatinya. Dia gadis yang menarik dan membuatku penasaran. Sebenarnya dia ini siapa ya?’