"Ya ampun kasihan sekali kamu. Ini ada sedikit uang untuk beli makan!"
Beberapa orang yang melintas di depan bekas pabrik gula, menatap iba sosok lelaki yang sedang duduk bersimpuh di sana. Lelaki dengan pakaian kumuh dan kumal, berambut gondrong dan juga jambang yang sudah mulai melebat. Sembari membungkukkan tubuh, lelaki itu memberikan sebuah isyarat jika ia berterima kasih atas uang yang dilemparkan ke arahnya.
Lelaki itu tersenyum tipis kala melihat pundi-pundi rupiah mulai terkumpul. Akhirnya di hari ini, ia tidak perlu kesusahan mendapatkan uang untuk membeli makan. Setelah dirasa cukup untuk membeli nasi, ia bangkit dari posisi duduknya.
Raga yang terasa begitu lelah. Tulang dan sendi yang terasa begitu lemah, tetap ia paksa untuk berdiri tegap. Menyusuri jalanan mencari warung nasi untuk mengisi perutnya yang sudah terdengar keroncongan. Setelah berjalan sekitar lima ratus meter, akhirnya ia menemukan warung makan yang berada di pinggir jalan.
"Hei, ngapain kamu di sini?! Pergi, pergi! Bikin warungku jorok saja!"
Baru saja lelaki itu ingin menyampaikan niatnya untuk membeli sebungkus nasi, namun sudah mendapatkan penolakan dari pemilik warung. Seorang wanita paruh baya dengan badan sedikit tambun berkacak pinggang, berdiri dengan angkuh mengusir lelaki berpenampilan kumuh dan juga kumal ini.
"Aku ingin beli nasi bungkus, Bu!"
"Apa, beli nasi? Memang punya uang berapa kamu?" tanya ibu penjual nasi dengan ketus.
Lelaki itu kemudian memperlihatkan uang recehan yang ada di dalam genggaman tangan. "Ini Bu, tujuh ribu."
"Ckkckkckk, tujuh ribu? Dapat apa tujuh ribu? Yang beli di sini minimal lima belas ribu," decak si ibu penjual dengan kesal. "Sudah, sudah, lebih baik kamu segera pergi dari sini. Pakaianmu kumal sekali dan tubuhmu juga bau. Hoooeeekkkk," sambung si ibu dengan menjapit hidung miliknya menggunakan telunjuk dan juga jempolnya.
Si lelaki kumal hanya bisa pasrah mendapatkan penolakan dari ibu penjual nasi. Dengan langkah gontai, ia kembali menyusuri jalanan, berupaya untuk mencari makan. Baru beberapa meter melangkah, ia menghentikan langkah kakinya kala melihat ada sebuah pos kamling. Sorot matanya langsung tertuju pada botol air mineral yang terlihat masih ada isinya. Gegas, lelaki itu menenggak sisa air yang masih tersisa untuk membasahi kerongkongannya yang sudah kering kerontang.
Lelaki itu mengusap peluh yang membasahi dahi. Kepalanya mendongak, terlihat matahari sudah berada tepat di atas kepalanya. Terasa begitu panas seperti turut membakar kulit.
"Aku tidak bisa terus-terusan berada di jalanan yang pasti justru akan membahayakan keselamatanku. Bisa saja polisi menangkapku jika aku tetap berkeliaran di jalanan seperti ini. Tapi, aku harus kemana?"
Lelaki itu bermonolog lirih seraya mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Otaknya juga berpikir keras untuk mencari jalan keluar. Hingga pandangannya tertuju pada sebuah komplek perumahan yang letaknya tidak jauh dari tempatnya terduduk saat ini. Sejenak, ia terdiam hingga senyum itu terbit di bibir manisnya.
"Aku harus bisa segera mendapatkan tempat untuk bersembunyi. Bagaimanapun caranya aku harus mendapatkannya. Mungkin, salah satu rumah di komplek perumahan itu, bisa aku jadikan tempat singgah."
Dengan sisa kekuatan yang ada, lelaki itu kembali mengayunkan tungkai kakinya. Menyusuri jalanan yang akan mengantarkannya ke sebuah komplek perumahan yang berada tak jauh dari pos kamling. Dengan sisa harapan pula, ia juga berharap bisa menemukan tempat untuk berteduh.
Senyum mengembang di bibir lelaki itu kala melihat pos security komplek yang kosong tak ada satupun penjaganya. Dengan begini, ia bisa dengan bebas berkeliling di area komplek. Kakinya terus melangkah. Pandangannya mengedar ke arah sekitar, mencari tempat yang paling pas untuk berteduh.
Gaya dan gestur lelaki itu sudah persis seperti seseorang yang sedang kebingungan mencari rumah yang ingin ia beli. Padahal lelaki itu tidak lebih dari seorang tunawisma yang sedang berupaya mencari tempat tinggal secara geratis.
Hampir setengah jam ia mengitari area komplek perumahan, hingga akhirnya ia menemukan sebuah rumah yang berada di pojok.
Rumah ini terlihat sedikit berbeda dengan rumah-rumah yang lainnya. Ukuran rumah yang jauh lebih besar dan memiliki halaman yang cukup luas. Bahkan di halaman rumah ini ada dua pohon mangga yang cukup rimbun.
Nasib baik seakan berpihak pada lelaki berpakaian kumal itu. Di rumah yang ia temukan ini ada semacam loteng di mana terdapat dahan pohon mangga yang menjuntai ke sana. Seketika di dalam benak lelaki kumal ini muncul sebuah ide untuk bisa masuk ke loteng melalui pohon mangga ini.
Dengan mengendap-endap, si lelaki kumal memasuki halaman rumah besar. Beruntung suasana komplek terlihat begitu sepi jadi tidak ada satupun yang mencurigai. Hal ini sejatinya merupakan hal yang wajar karena biasanya para penghuni komplek perumahan merupakan orang-orang yang setiap harinya sibuk bekerja. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya lelaki berpakaian kumal itu tiba di bawah pohon mangga.
"Aku harus memanjat pohon mangga ini untuk bisa sampai di atas genting. Setelah itu aku akan masuk ke loteng itu dengan membuka beberapa genting yang ada di sana."
Tak ingin membuang banyak waktu, lelaki berpakaian kumal itu bergegas memanjat pohon mangga. Tiba di sebuah dahan, ia hentikan sejenak pergerakannya kala melihat ada buah mangga yang sudah matang.
"Terima kasih Tuhan, Engkau memberiku rezeki berupa buah mangga ini. Lumayan untuk mengganjal perutku yang sejak tadi sudah keroncongan."
Tangan lelaki itu terulur untuk memetik buah mangga yang sudah matang dan nampak menggoda. Saking laparnya, tanpa mencuci terlebih dahulu dan juga di kupas, si lelaki kumal langsung menggigit buah yang ia petik. Dengan lahap ia menikmati mangga itu.
"Aaaahhhh .... Akhirnya terisi juga perutku. Meskipun hanya buah mangga tapi lumayan lah buat ganjal perut."
Lelaki kumal itu menikmati buah mangga yang ia petik dengan penuh syukur. Tak cukup satu buah saja. Setelah buah pertama habis dengan hanya menyisakan kulit dan juga bijinya, ia memetik lagi lagi untuk kedua, ketiga, keempat dan kelima kalinya.
"Haiiikkkkk ...."
Lelaki itu bersendawa seakan mengisyaratkan jika perutnya sudah teramat kenyang tiada terkira. Kenyang karena sudah lima buah mangga yang masuk ke dalam perut yang sudah dua hari kosong melompong tak terisi oleh apapun selain angin dan air kran masjid yang berada di pinggir jalan.
"Haaaahhhh ... Kenyangnya ... Hoaaaaaammmm..."
Perut yang terasa kenyang oleh buah mangga membuat lelaki kumal itu tiba-tiba didera oleh rasa kantuk yang begitu luar biasa. Ia berkali-kali menguap sembari mengusap-usap perutnya. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus dan menerpa wajah, membuat lelaki itu tidak bisa menahan rasa kantuknya.
Kelopak mata yang sebelumnya terbuka lebar, perlahan terkatup. Kesadaran yang sebelumnya menguasai raga, perlahan juga menghilang entah kemana. Dan pada akhirnya lelaki kumal itu tertidur pulas di sela-sela dahan pohon mangga.
***
Pluk... Pluk...
Tubuh lelaki kumal yang tengah terlelap di atas pohon itu bergeliat kala merasakan sesuatu yang terasa hangat tiba-tiba mengenai wajah. Kelopak mata yang sebelumnya terkatup kini perlahan terbuka. Ia mengerjapkan mata, berupaya meraih kesadarannya. Ia mengusap dahi yang terasa sedikit aneh. Ada sensasi rasa hangat di sana.
"Apa ini??" pekik lelaki kumal itu setelah melihat jari telunjuknya.
"Hoooeeeekkk .... Ini sih kotoran burung." Lelaki itu mendongakkan kepala. Terlihat ada dua burung gereja yang bertengger di dahan yang berada di atasnya. "Dasar kurang ajar. Apa tidak tahu kalau ada orang di sini? Buang kotoran sembarangan. Lihat nih, kena wajahku!"
Cuit... Cuit... Cuit...
Dua burung gereja itu bercicit. Sekilas mereka melempar pandangan ke arah si lelaki kumal sembari menggoyang bokongnya. Mereka seakan mengolok-olok si lelaki kumal yang terlihat mengenaskan.
"Eh, malah ngeledek ya kalian??" Lelaki itu mematahkan satu ranting dan kemudian ia lempar ke arah dua burung gereja itu. "Rasakan ini. Pergi sana. Ganggu orang tidur saja."
Pada akhirnya dua burung gereja itu kembali terbang setelah berhasil membuang hajat tepat di wajah si lelaki kumal. Mereka seakan begitu puas karena mendapatkan tempat pembuangan yang begitu spesial.
"Dasar burung tidak ada akhlak!" oceh si lelaki kumal sembari membersihkan sisa-sisa hajat dua burung gereja yang masih ada di dahi. "Apa mereka tidak tahu jika wajahku ini teramat tampan dan tidak pantas untuk menjadi tempat pembuangan?"
Lelaki kumal itu masih saja mengumpat meskipun dua burung gereja itu sudah tidak lagi nampak di penglihatannya. Lelap tidurnya benar-benar terusik kala mendapatkan kotoran dari dua burung gereja itu.
"Astaga ... Mengapa aku sampai lupa jika aku harus segera masuk ke loteng itu? Si lelaki kumal melihat ke arah bawah di mana situasi masih aman terkendali. "Aman. Aku harus segera masuk ke loteng itu."
Dengan gerak cepat, lelaki kumal itu menuju di atas genting. Bak seorang pencuri yang biasa menyatroni rumah-rumah kosong, ia terlihat begitu piawai dalam menjalankan misinya. Setelah menggeser beberapa genting, akhirnya ia bisa masuk ke dalam loteng.
"Haaahhhh ... Akhirnya aku bisa masuk ke dalam sini!"
Lelaki kumal itu membuang napas penuh kelegaan saat dirinya berhasil masuk ke dalam loteng. Ia mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling dan lelaki itu dipenuhi oleh rasa takjub yang luar biasa.
Loteng ini didominasi oleh warna putih. Terdapat sebuah ranjang dan sofa berukuran sedang yang juga didominasi oleh warna putih. Terdapat rak-rak buku juga di sisi kanan kiri dinding.
"Gilaaa ... Keren banget pemilik loteng kamar ini. Dia benar-benar bisa menata ruangan ini menjadi tempat yang nyaman."
Lelaki itu berjalan mengitari loteng kamar ini sembari menikmati segala pesona yang ditawarkan. Sampai tubuhnya terhenti di depan nakas yang di atasnya terdapat sebuah bingkai foto. Lelaki itu menyunggingkan senyum kala melihat tiga orang yang ada di dalam foto itu.
"Anak perempuan yang diapit ini pasti pemilik loteng kamar ini!"
Senyum yang tersungging di bibir lelaki kumal mendadak sirna kala tiba-tiba perutnya terasa begitu melilit.
"Adudududuh ... Perutku sakit sekali. Ini pasti gegara aku terlalu banyak makan buah mangga."
Si lelaki kumal mencoba mencari kamar mandi. Ia melihat ada sebuah tangga yang langsung menghubungkan dengan kamar yang ada di bawah loteng. Ia yakin di bawah loteng ini merupakan kamar pribadi perempuan yang ia lihat di bingkai foto tadi.
Lagi-lagi nasib baik berpihak pada si lelaki kumal. Ia menemukan kamar mandi yang ada di kamar ini. Gegas, ia masuk ke dalam sana dan segera menuntaskan hajatnya.
Kriieeettttt....
Tap... Tap... Tap...
Sedang santai membuang hajat, tubuh lelaki sedikit terperanjat kala mendengar suara pintu yang terbuka dan disertai oleh derap langkah kaki seseorang. Kedua bola matanya terbelalak lebar.
"Gawat, ada orang!!!"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trussemangat
2023-07-08
0
Devii Arga
doyan apa cemana bang? kok smp 2 3 4 5 gitu😂😂
2023-06-18
1
Devii Arga
eh, kok tiba tiba diriku jadi pingin mkn mangga juga yah😂😂😂
2023-06-18
0