Pagi pun datang, sinar matahari nampak mulai menembus sela-sela tirai kamar itu. Praja meregangkan otot-ototnya yang terasa begitu kaku karena tidur semalaman dalam keadaan tengkurap.
Pria itu pun bangun dari tidurnya dan langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia keluar dari sana sudah dalam keadaaan segar. Matanya memandang ke arah ranjang dimana pakaian kerjanya selalu tertata meskipun ia tak pernah memakainya.
Kosong
Tak ada apapun di sana, ranjang itu pun kelihatan masih sangat kacau tanpa ada yang merapikannya seperti biasa. Ia pun tersenyum kemudian berjalan ke arah lemari mencari pakaiannya sendiri. Ia pikir Ardina pasti sudah menyerah dan tidak akan menyiapkan pakaiannya lagi seperti biasanya.
Sembari bersiul-siul kecil, ia pun mematut dirinya di depan cermin. Memandang dirinya dengan bangga bahwa ia masih Praja Wijaya yang dulu yang belum juga bisa melupakan Prilya Sofyan, cinta pertamanya.
Setelah selesai berpakaian, sekali lagi ekor matanya melihat ke arah sofa entah kenapa hatinya merasa sangat aneh. Ada yang berbeda di dalam ruangan itu tanpa kehadiran Ardina yang biasa duduk di sana menunggunya selesai berpakaian.
"Ah sudahlah, mungkin ia benar-benar telah menyerah setelah Tuhan memberinya sakit. Dan baru menyadari kesalahannya selama ini padaku."
Pria itu pun keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan. Sarapan pagi akan ia lakukan seperti biasa bersama dengan papa dan mamanya.
"Praja, gimana kabar Ardina? Semalam katanya sakit 'kan?" Alif Wijaya menyambutnya di ruang makan itu dengan sebuah pertanyaan.
Ia menarik sebuah kursi kemudian duduk dan mengangkat bahunya.
"Aku tidak tahu pa aku bahkan tak melihatnya pagi ini."
"Kok bisa?"
"Ya, aku pikir mungkin ia sedang berada di taman menata bunga-bunga mama seperti biasa," jawab Praja dengan wajah yang sangat santai. Ia pun mengisi piringnya dengan nasi goreng favorit buatan mamanya.
"Gak usah dipikirin pa. Ardina kalau pagi pastinya ada di taman nyiram bunga. Katanya sih bunga-bunga itu memberinya rasa bahagia, syukurlah kalau ia sudah senang dengan hanya bersama dengan bunga-bunga saja." Dewinta tersenyum samar. Ia berharap tukang kebun gratisnya itu akan selalu menata bunga-bunga kesayangannya supaya ia bisa tenang berada di luar rumah.
"Mama kenapa seperti itu sih? Apa gak merasa kalau kita ini sangat tidak adil pada menantu kita itu." Alif Wijaya berucap seraya memandang istri dan putranya itu secara bergantian.
Praja Wijaya terdiam, entah kenapa ia merasa tersindir dengan kata-kata sang papa. Akan tetapi rasa egonya masih menguasai perasaannya.
"Papa, Ardina melakukan kesalahan yang banyak padaku, dan ia pantas diberikan efek jera agar ia sadar diri," ujar Praja Wijaya membela sikapnya selama ini.
"Tidak bisakah kamu memaafkannya Praja? Ardina sekarang adalah istrimu. Dan bagaimana kalau kamu menitipkan sesuatu di dalam tubuhnya karena kesalahan satu malam itu?!"
Deg
Praja Wijaya langsung menaruh sendok yang sedang ia pegang. Ia menatap papanya dengan tatapan serius.
"Aku tidak melakukan apapun padanya Pa. Ia hanya melakukan sandiwara dan tipuan saja." Praja Wijaya menjawab dengan perasaan yang tiba-tiba sangat tidak nyaman.
"Ya sudah, kalau kamu tidak melakukan apapun padanya. Papa hanya berharap kamu memperbaiki hubungan kalian selama ini. Pernikahan itu sakral nak. Jangan sia-siakan hubungan yang sudah diikat oleh Allah, karena itu sangat tidak disukaiNya."
"Papa, Ardina itu bukan istri yang cocok untuk Praja. Ardina itu hanya cocok menjadi pelayan di rumah ini. Jadi kalau putra kita tidak ikhlas dengan pernikahan ini, sebaiknya kita sudahi sajalah."
"Mama!" Alif Wijaya langsung menatap tajam sang istri karena tidak suka dengan apa yang dikatakannya.
"Kenapa Pa? Pernikahan itu terjadi karena terpaksa dan karena untuk menutupi malu dan menjaga kehormatan kita. Dan lihat, sampai sekarang Ardina ternyata tidak hamil 'kan?"
Alif dan Praja Wijaya terdiam dengan pikiran masing-masing. Mereka memikirkan perkataan Dewinta dengan sudut pandang yang sama.
"Nah, kalau memang hubungan ini tidak bisa dipertahankan kenapa tidak disudahi saja?" lanjut Dewinta dengan senyum diwajahnya. Ia benar-benar berharap dua pria dewasa dihadapannya itu mengerti apa yang diinginkannya.
"Kita bebaskan Ardina kembali ke rumah orangtuanya. Dan kita berikan ia kesempatan untuk melanjutkan karirnya di Perusahaan seperti dulu, adil 'kan?"
Alif Wijaya tampak tidak setuju dengan pemikiran isterinya. Ia sangat menyayangi perempuan muda itu dan ia tidak mau kalau Ardina benar-benar keluar dari rumah itu.
"Kamu perempuan ma, bagaimana perasaanmu jika kehormatanmu direnggut oleh seseorang dan tidak ingin bertanggung jawab?!"
"Astaghfirullah papa. Kehormatan Ardina sama sekali tidak pernah direnggut oleh putra kita, lyyakan Praja? Mereka berdua hanya kedapatan berdua saja di sebuah kamar. Mereka tidak melakukan apapun. Hanya Ardina saja yang telah merencanakan itu untuk menjebak putra kita. Lalu kenapa Praja harus mempertanggung jawabkan sesuatu yang tidak dilakukannya?"
"Ma Pa, tolong jangan berdebat, aku ada pekerjaan penting hari ini di Perusahaan. Jadi kumohon untuk tidak membahas ini lagi." Praja Wijaya langsung berdiri dari duduknya dan segera meninggalkan meja makan itu.
Praja Wijaya kembali ke kamarnya untuk mengambil tas kerjanya. Ia benar-benar pusing dengan perdebatan kedua orang tuanya tentang hubungan pernikahannya dengan Ardina.
Tas yang berisi beberapa berkas penting dari perusahaan ia ambil di atas meja kerjanya dan kembali memperhatikan kondisi ranjangnya yang masih tampak sama dengan yang ia tinggalkan beberapa puluh menit yang lalu.
Entah kenapa ia merasa ada yang berbeda di dalam kamar itu. Ia menatap ke sekeliling ruangan dan tidak menemukan Ardina yang biasa tidur di sofa selama beberapa bulan ini. Ada perasaan heran dengan ketiadaan perempuan itu di tempat itu, tapi ia berusaha untuk tidak perduli.
"Kemana Ardina sampai jendela kamar pun belum ia buka," ujarnya dengan wajah kesal.
Ia pun membuka tirai itu agar matahari pagi bisa langsung masuk ke dalam kamar itu.
"Ah sudahlah, nanti juga kamarnya akan ia bersihkan setelah dari taman," ujarnya kemudian segera keluar dari kamar itu.
Ia harus segera berangkat ke Perusahaan untuk meninjau beberapa proyek yang sudah ia kerjakan di luar kota.
Sebelum ia naik ke atas mobilnya, ia sempat melihat ke arah taman yang biasa di rawat oleh istrinya itu untuk memastikan perempuan itu ada disana atau tidak.
Akan tetapi, ternyata tak ada orang di taman itu.
Tiba-tiba saja hatinya merasa sangat khawatir tapi ia berusaha untuk tidak peduli.
🌹🌹🌹
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like dan ketik komentar agar author semangat updatenya oke?
Nikmati alurnya dan happy reading 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 299 Episodes
Comments
Normah Basir
kebersamaan menimbulkan kebiasaan,yg terkadang dicari kalau orang SDH tidak ada
2024-08-07
0
Uya Suriya
sungguh aneh...tapi nyata...😁😁😃
2023-06-09
0
Mammeng
ada apa yaa...???
2023-06-07
1