4. Bara Api yang Terbakar

"Aku tidak menggodanya! Aku tidak tahu jika itu putramu." Wanita itu berusaha membela diri.

''Lantas jika bukan putraku. Kau bisa sesuka hati menjalin hubungan dengan pria lain, hah!" teriak Arnold dengan mata memerah, amarah pria itu telah naik ke ubun-ubun.

Serena terbungkam seketika. Dia kehabisan kata-kata untuk menjawab ataupun membela diri. Jalan satu-satunya hanya meminta maaf untuk mengamankan posisinya.

''Maafkan aku, Honey. Aku khilaf! Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Aku ... Aku merasa kesepian, kau lebih mementingkan istri tuamu dibandingkan aku. Maafkan aku," ucapnya dengan suara dibuat memelas.

Arnold memalingkan muka. Dia tidak ingin lagi terpengaruh oleh sandiwara wanita ini. Laporan Rosalind beberapa jam yang lalu selalu terngiang di telinga. Yang membuat emosinya semakin memuncak.

''Arnold, simpananmu menggoda putra kita."

''Kau pikir aku akan terpengaruh dengan bualanmu. Kau tidak menyukai Serena. Sehingga kau berusaha memperburuk citranya di depanku."

''Terserah jika kau tidak percaya! Asal kau tau aku punya buktinya." Kekesalan istri pertamanya terdengar jelas di telinga pria itu.

''Tunjukkan padaku!"

''Untuk apa? Bukannya kau tidak percaya."

''Tunjukkan padaku, Rosalind! Tidak usah banyak berkelit!"

''O-oke, sabar. Aku akan segera mengirimkannya."

Panggilan pun berakhir. Tak menunggu lama sederet potret kemesraan Serena dan Ernest masuk ke ponselnya.

''Aku akan menceraikanmu!"

Serena membelalak sempurna. Dia menggeleng keras menolak keputusan itu.

''Tidak! Aku tidak mau. Hubunganku dengannya sudah berakhir."

"Maafkan aku! Aku janji tidak akan bermain api di belakangmu lagi."

Wanita itu mengeluarkan jurus andalannya, yaitu mengiba dengan memeluk kedua kaki Arnold. Seolah tidak kapok, dia mempraktekkan cara yang sama seperti memohon pada Ernest. Jelas-Jelas cara itu tidak berhasil.

''Keputusanku bulat tidak bisa digugat. Secepatnya, aku akan mengurus semuanya!" Arnold melepas paksa belitan tangan lembut itu, lalu bergegas meninggalkan Serena yang masih mematung dengan posisi terduduk.

''Bersiaplah untuk menerima konsekuensinya!" ucap Arnold sebelum menghilang di balik pintu.

Serena menggeleng kuat masih dengan posisi yang sama. Arnold telah mengeluarkan ancaman yang itu berarti karirnya dipertaruhkan.

''Tidak! Aku tidak mau kehilangan semuanya!"

...----------------...

''Asli, Au, gue bingung. Si tua bangka itu ngancem bakal ceraiin gue. Loe tau sendiri ‘kan dampaknya gimana ke karir gue jika itu sampai terjadi?"

Serena terlihat sangat frustasi mengahadapi masalah yang menimpanya. Berberapa kali, wanita itu tampak meneguk cairan laknat berwarna kuning keemasan sebagai pelampiasan.

Aurel memutar matanya jengah mendengar keluh kesah sahabat sekaligus artisnya. Sejak awal dia berusaha memperingatkan agar tidak bermain-main dengan sebuah hubungan, terlebih menikah dengan pria beristri. Namun, Serena terlalu keras kepala. Dia selalu mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja demi karir, popularitas dan segala macam pembelaan serupa agar ambisinya terwujud. Akan tetapi lihatlah kini, masalah semakin runyam akibat ulah wanita itu sendiri.

''Jujur, gue gak ngerti sama jalan pikiran lo, Ser. Lu nikah sama Tuan Arnold aja udah kayak menggenggam bara api. Yang kapanpun bisa membakar diri loe sendiri. Ditambah loe selingkuhi dia. Ibarat loe itu sengaja nyiram bensin ke bara api yang loe genggam, Ser. Paham?!"

Serena memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut. Niatnya menemui Aurel untuk menceritakan masalah, malah mendapatkan ceramah. Sepertinya, dia salah tempat berkeluh kesah.

''Udah, ya, Au. Kepala gue makin pening dengerin siraman rohani dari lo. Lu kalo gak mau bantu, seenggaknya dengerin gue bukan malah nambah beban," ujarnya kesal seraya menyambar kasar tasnya, lalu berlalu keluar unit dengan membanting pintu.

Pikiran yang kalut membuat wanita itu mudah terpancing emosi. Bahkan nasehat sang sahabat terdengar sangat menyebalkan di telinga.

Aurel hanya menggeleng pelan melihat kelakuan sahabatnya. Begitulah Serena ketika dinasehati, akan selalu marah jika tidak sesuai dengan keinginannya.

Sebenarnya, dia wanita yang baik dan periang. Mereka berteman sejak masa sekolah dulu. Aurel sangat memahami sikap Serena yang keras kepala. Meskipun begitu, dia tidak lelah untuk selalu memberi nasehat. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin sahabatnya jatuh terlalu dalam ke dalam jurang yang ia buat sendiri.

Aurel menatap sendu pintu yang tertutup. Dia rindu Serena yang dulu. Serena yang berpenampilan apa adanya, meski dari kalangan borjuis. Tidak seperti sekarang, yang gila harta dan popularitas.

''Aku tahu, Ser. Sebenarnya hatimu juga gak menginginkan ini. Aku paham ambisimu hanya wujud pelampiasan atas apa yang menimpamu di masa lalu."

...----------------...

''Tambah satu lagi," ucap Serena pada seorang bartender seraya menyodorkan gelas yang telah kosong.

Si bartender hanya bisa menggeleng pelan. Wanita di depannya ini sudah terlihat mabuk, tetapi masih ingin menambah minuman.

Suara jedag-jedug yang memekakkan telinga seolah menjadi musik penenang bagi Serena. Dia mengabaikan hingar-bingar tempat hiburan malam yang semakin malam semakin ramai.

Setelah dari tempat sang manajer, wanita itu memutuskan untuk mengunjungi sebuah klub malam. Baginya itu adalah tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran.

Arnold tidak bisa dihubungi sejak siang tadi setelah mendatangi kediamannya. Begitu pula dengan Ernest. Ayah dan anak itu seolah bersekongkol tidak ingin diganggu.

Kebiasaan buruk Serena sejak menjadi publik figur ketika ada masalah dengan pekerjaan atau pribadi. Dia akan mendatangi klub malam dengan minum-minum hingga tak sadarkan diri. Tak jarang pula, dia mencari pria sewaan yang sengaja disewa untuk bersenang-senang hingga pagi menjelang.

''Kau sudah sangat mabuk, Nona. Sebaiknya, pulanglah!" Ronald—Si bartender berusaha menasehati.

''Ck, diamlah! Kau seperti tidak hafal kebiasaanku. Tambah lagi, cepat!" seru Serena yang masih setengah sadar.

Jika sudah mendapat bentakan seperti itu, tidak ada pilihan lagi bagi Ronald selain menurut. Pria itu segera menuangkan kembali minuman yang diminta pelanggannya.

Ketika baru menenggak habis cairan laknatnya, Serena tanpa sengaja melihat bayangan seseorang yang sangat dia kenal. Dia berusaha memicingkan mata untuk memperjelas pandangan. Akibat mabuk pandangan menjadi buram.

"Sialan!"

Setelah memastikan kebenaran orang dimaksud, Serena meletakkan kasar gelasnya hingga beradu nyaring pada meja bar. Dengan langkah sempoyongan, ia segera menghampiri tempat orang itu.

''Enyah kau, Wanita Murahan! Dia milikku!" Serena berteriak seraya mendorong kasar wanita yang menempel pada tubuh seorang pria.

Wanita berpenampilan seksi itu mengaduh kesakitan ketika pantatnya harus beradu dengan lantai.

''Apa yang kau lakukan?" Wanita itu berteriak tidak terima.

"Serena!"

"Kau menggelayuti tubuhnya, masih tanya kenapa?" Serena berteriak dengan menunjuk wajah wanita itu.

"Dasar murahan! Asal kau tau pria ini kekasihku. Kalau kau menggodanya, maka kau berurusan denganku." Serena berteriak seperti orang kesetanan seraya menjambak kuat rambut wanita berpakaian mini itu, bahkan tak segan menampar membabi buta mirip seorang istri yang tengah melabrak pelakor. Berbagai umpatan dan cacian turut keluar dari mulut wanita itu.

Keadaan yang sudah terpengaruh minuman keras membuat wanita itu tak terkendali.

Terpopuler

Comments

Rice Btamban

Rice Btamban

semangat

2023-06-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!