Hujan perlahan mereda. Aku juga bisa merasakan perasaanku sudah mulai tenang sekarang. Meski aku masih merasakan nyeri yang luar biasa di sekujur tubuhku. Untung saja dengan sabar om Dana mau membantuku berdiri. Beliau memapahku untuk berjalan menuju mobilnya yang berada di pinggir jalan raya. Sebelum aku benar-benar meninggalkan pemakaman, sekali lagi aku mencium nisan papa dan mama secara bergantian.
"Sudahlah, ikhlaskan mereka pergi. Sekarang kamu harus menata hidup kamu lagi." Ucap om Dana sambil menepuk bahuku.
Aku mengangguk lemas. Sikap om Dana yang sabar dan lembut membuatku teringat akan sosok papa dulu.
"Kita ke rumah kamu dulu ya buat ambil barang-barang. Setelah itu kamu ikut om pulang ke rumah." ajak om Dana.
"Tapi apa nggak pa-pa kalo saya ikut dengan om? Bagaimana kalau istri dan anak om tidak bisa menerima saya nanti? Saya pasti bakalan nggak enak banget om."
Om Dana tersenyum tulus sambil mengelus rambutku. "Istri om justru bakalan seneng kalau kamu datang."
Aku sangat lega mendengar jawaban om Dana. Sejujurnya aku ingin hidup mandiri dan tidak ingin merepotkan siapapun. Setelah aku pikir-pikir mungkin lebih baik aku tinggal di rumahku sendiri daripada harus ikut tinggal di rumah om Dana. Namun om Dana selalu membujukku gar tidak menolak niat baiknya.
Akhirnya setelah setuju, om Dana langsung membawaku untuk memasuki mobilnya. Mobil hitam milik om Dana itu lalu melaju untuk membelah jalanan. Di sepanjang perjalanan aku hanya menatap kosong pemandangan dari kaca mobil. Aku selalu meyakinkan diriku sendiri dalam hati. Bahwa semua akan selalu baik-baik saja tanpa ada yang harus dikhawatirkan nantinya.
* * *
Pagi menjelang.
Matahari bersinar samar-samar hingga cahayanya bisa aku rasakan menembus tirai gorden putih yang berada di kamar yang ku tempati saat ini. Aku terbangun dengan malasnya. Mataku masih bengkak karna menangis semalaman. Namun jika terus menerus seperti ini kasihan om Dana dan tante Marisa yang mencemaskan kondisiku.
Ternyata kedatanganku kemarin disambut baik oleh tante Marisa. Istri om Dana yang masih terlihat cantik itu tidak kalah baik seperti suaminya. Aku benar-benar bersyukur karena bisa diterima dengan baik oleh mereka.
Tante Marisa dan om Dana juga menyurunya untuk menganggap mereka sebagai orang tua kandungku sendiri. Betapa leganya aku.
Saat seperti ini tiba-tiba aku merindukan sosok mama yang setiap pagi menjadi alaramku untuk bangun. Papa yang mengacak-acak rambutku saat sarapan. Aku rindu dengan semua tentang mereka. Tak sadar air mataku mengalir deras membasahi pipi kembali. Ternyata ikhals tak semudah yang ku pikirkan.
"Loh, kok belum siap-siap?"
Tiba-tiba tante Marisa muncul dan langsung duduk di sampingku. Dia mengelus rambut ku yang masih terurai berantakan. Aku langsung mengusap tangisku epat-cepat. Tapi tak bisa ku sembunyikan lagi. Tante Marisa sudah memergokiku menangis pagi ini.
"Ayolah sayang, jangan larut dalam kesedihan terus. Orang tuamu juga akan sedih jika melihat kamu seperti ini. Sekarang kamu mandi dan siap-siap ke sekolah. Tante tunggu di bawah ya. Jangan nangis lagi," ucap tante Marisa dengan wajah keibuannya.
Aku memandang kepergian tante Marisa hingga beliau hilang di balik pintu. Entah kenapa keluarga ini begitu menyayangiku dengan tulus. Padahal aku belum kenal akrab dengan mereka sebelumnya. Tapi mereka sudah memperlakukanku secara berlebihan melebihi tamu yang hanya numpang tinggal di rumah mereka.
Kembali aku melanjutkan aktifitasku lagi. Berangkat sekolah seperti biasa. Namun kali ini bedanya tidak ada yang memberikan ucapan semangat seperti sebelumnya.
Dengan suasana berbeda aku menuruni tangga menuju ruang makan. Awalnya aku agak canggung karna semua orang menatap ke arahku. Ditambah lagi ada seorang cowok yang duduk di sebelah om Dana.
Mataku tertuju pada cowok itu. Seperti tidak asing untuk dilihat. Seragamnya sama dengan yang aku kenakan. Itu tandanya dia satu sekolah denganku juga. Wajahnya memang familyar. Sekilas dia hampir mirip dengan most wanted di sekolah yang banyak di kagumi kalangan SMA Bhakti Mulya. Atau jangan-jangan memang orang yang sama?
"Kenapa cuma bengong? Sini ikut sarapan."
Teriakan tante Marisa membuatku tersadar. Aku berjalan menghampiri mereka yang menyantap sarapan dengan langkah ragu. Aku memilih duduk di depan cowok tadi dengan mata yang masih menyorot penasaran. Cowok itu sendiri justru hanya diam sambil menikmati rotinya yang hampir habis. Bahkan dia tidak melirikku sedikitpun saat aku duduk di depannya. Dia juga tidak mempertanyakan keberadaanku di rumah ini. Tipe cowok yang cuek dan kelewat batas dingin. Bisa-bisanya ada cewek asing di rumahnya dia hanya diam saja. Apa om Dana dan tante Marisa sudah menceritakanku pada cowok ini yang kemungkinan besar adalah putra mereka?
"Wah, ternyata kalian satu sekolah ya. Berarti udah saling kenal dong?"
Pertanyaan tante Marisa memecah kesunyian. Bersamaan dengan kalimat itu, cowok yang berada di depanku saat ini langsung mendongak tepat ke arahku. Aku bisa dengan jelas melihat wajahnya sekarang. Sorot matanya yang dingin dan tajam itu membuat ku takut untuk berlama-lama memandangnya. Dengan gugup aku langsung melempar tatapan ke tante Marisa. Aku menelan salivaku dengan susah payah karena rasa tak percaya.
Cowok ini beneran most wanted sekolah yang jadi perbincangan panas itu!
Akhirnya aku hanya menjawab pertanyaan tante Marisa dengan senyuman. Aku juga bingung harus menjawabnya bagaimana. Biarkan saja dia yang menjawab. Aku takut salah bicara karna aku hanya mengetahui cowok itu dari gosip simpang siur anak-anak. Namanya Bintang Pradana yang hobinya ngeband di sekolah. Kalau tidak salah dia sebagai vokalisnya. Harusnya yang namanya vokalis itu biasanya suka ngomong dan nggak suka diam, tapi berbeda dengannya.
"Bintang, dia ini Kejora, anak sahabat papa yang kemarin papa ceritain sama kamu. Mulai sekarang dia akan tinggal di rumah kita," ucap om Dana memperkenalkan.
Jadi bener kan dia ini Bintang. Demi apa aku bisa satu rumah sama cowok populer di sekolah?
"Oh iya, papa mau titip Kejora sama kamu. Selama dia di sekolah kamu harus menjaganya. Kalian harus berangkat dan pulang bersama, " pesan om Dana yang membuat Bintang berhenti mengunyah rotinya.
"Nggak bisa. Bintang banyak urusan."
Suara yang padat dan jelas itu keluar begitu dingin dari mulut cowok itu. Jawabanya bisa di tebak kalau Bintang nggak mau terbebani olehku. Lagian aku juga bisa jaga diri kok. Om Dana harusnya nggak usah bilang begitu supaya tidak merusak mood anaknya yang sekarang wajahnya berubah menjadi semakin menyeramkan.
"Om, saya naik taksi juga nggak pa-pa. Terima kasih om sudah perduli dengan saya, om berlebihan."
Aku mencoba menolak saran om Dana dengan sopan. Keberadaanku di sini sudah membuat om dan tante susah, aku nggak mau menambah susah anaknya lagi. Tapi mereka selalu bersikap manis di depanku tanpa aku tahu alasan mereka apa memperlakukanku seperti putri di rumah ini.
"Papa tidak menanyakan pendapatmu. Yang papa mau kamu menjaga Kejora, paham!"
Om Dana malah semakin memaksa kemauanya dan menganggap perkataanku angin lalu. Raut wajah Bintang berubah menegang. Mungkin dia kesal sampai membanting rotinya kepiring lagi. Ekspresinya membuatku semakin takut apalagi sekarang dia menatapku tajam sampai aku merasa risih dan lagi-lagi mengalihkan pandangan secepat mungkin.
Bintang pasti nggak mau kehilangan fansnya di sekolah karna memboncengku yang kelihatan biasa saja. Emang aku cuma cewek biasa yang nggak punya nilai plus di sekolah. Nggak seperti dia. Atau mungkin dia takut pacarnya cemburu padaku. Entahlah. Tapi sejauh yang aku tahu, Bintang tidak pernah dekat dengan siapapun di sekolah. Padahal banyak cewek yang ngantri ingin menjadi seseorang yang spesial di hatinya.
Setelah sarapan pagi selesai, aku duduk di kursi teras untuk menunggu Bintang yang masih di dalam untuk mengambil tasnya. Aku nggak tahu bagaimana jadinya jika aku harus berangkat sekolah bersama Bintang beneran. Apa mungkin aku menjadi bahan sasaran para fansnya nanti?
"Mau berangkat atau bengong terus di situ?" suara dingin Bintang membuyarkan lamunanku.
Aku tersentak kaget. Cukup lama aku terdiam sambil menetralkan degub jantungku yang mendadak berdetak hebat. Jika boleh jujur, sebenarnya aku lebih nyaman berangkat sendiri ke sekolah. Aku hanya belum siap jadi bahan gosip seantero sekolah. Sudah pasti. Tiba-tiba aku yang hanya cewek biasa bisa boncengan dengan Bintang most wanted sekolah. Kematian orang tuaku sudah membuatku terpukul. Aku belum siap rasanya jika menghadapi masalah baru lagi.
"Kalo lo keberatan gue bisa naik taksi kok. Lagian om Dana udah berangkat, dia nggak akan tahu."
"Bokap gue nggak mudah di bohongin. Lo naik atau gue tinggal sekarang!"
Ancaman Bintang membuatku tak berpikir panjang lagi. Aku langsung menaiki motor kawasaki merah miliknya. Ini pertama kalinya aku menaiki motor besar, jadi aku harus susah payah agar bisa duduk di belakang Bintang. Meski wajah Bintang masih memancarkan aura menyeramkan namun dia berusaha membantuku tanpa berkata apapun.
Bintang sangat lihai memakai motornya, menyalip beberapa mobil, meliuk-liuk untuk menerobos kemacetan jalan hingga beberapa menitpun kami sampai di parkiran sekolah.
Ternyata sekolah sudah ramai dipenuhi anak-anak yang lalu-lalang ingin menuju kelas mereka masing-masing. Aku yang berjalan di belakang Bintang dengan jarak beberapa meter memilih diam. Aku merasakan ada aura yang berbeda di sekolah ini. Banyak murid yang berbisik-bisik tidak jelas. Menatap dengan sorotan tak enak. Bukan kepada Bintang, tapi mereka menatapku.
Aku baru sadar kenapa mereka melemparkan tatapan mengintimidasi seperti itu. Apalagi alasannya kalau bukan karena aku berangkat sekolah bareng Bintang hari ini? Mereka pasti bertanya-tanya atau bahkan berpikiran yang tidak-tidak. Aku memberanikan diri untuk membalas tatapan sengit mereka sampai aku tidak menyadari ada seseorang yang berdiri di depanku. Reflek aku menubruk tubuh orang itu hingga aku bisa mencium bau parfumnya yang wangi.
"Sori. Gue nggak sengaja,"
Aku tidak menduga Bintang akan berhenti mendadak hingga aku harus menabraknya dan menciptakan jarak yang sedemikian dekat.
Bintang mencengkeram kedua bahuku dan mendorongku mundur. "Lo jalan tapi mata lo kemana-mana."
Seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya, aku hanya menunduk diam. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Bintang benar-benar membuatku gelagapan sendiri.
"Nanti pulang sekolah gue tunggu di parkiran." lanjutnya tanpa memperlihatkan keramahannya sedikitpun.
"Nggak usah. Gue mau ke makam. "
"Ya udah terserah."
Bintang sudah ingin berbalik dan pergi namun aku menahan lengannya cepat.
"Makasih ya, k-kak Bintang," ucapku gagap.
"Jangan panggil gue kak," jawabnya cuek dan berlalu untuk menaiki tangga menuju kelasnya.
Padahal Bintang duduk di kelas XII sedangkan aku masih duduk di kelas XI. Namun Bintang justru kelihatan tidak suka mendengar aku memanggilnya dengan embel-embel kakak.
Dengan wajah yang masih ogah-ogahan aku berjalan menuju kelas sampai bel masuk berbunyi. Tak lama bu Siska memasuki kelas dengan beberapa buku paket yang dia bawa. Beliau memang guru yang disiplin. Waktunya tak ingin terbuang begitu saja apalagi dia mengajar pelajaran yang banyak tak disukai para siswa. Pelajaran yang dibenci dari nenek moyang yang sudah turun temurun. Apalagi kalau bukan matematika.
"Ra, kok lo udah masuk sekolah? Gue ikut berduka cita ya atas musibah yang menimpa lo."
Keisha, teman sebangkuku berbisik lirih. Aku tersenyum kearahnya. Kuberikan senyum palsuku agar dia tahu aku sedang baik-baik saja. Samar-samar aku mendengar bisikan lain dari belakangku. Bisikan yang membuat telingaku memanas pagi ini. Tepatnya Lolita dan Alice sedang asyik mengosipkanku dengan Bintang yang bareng ke sekolah hari ini.
"Nggak nyangka ternyata selera kak Bintang dibawah standart ya."
"Eiiuw, nggak banget."
Kalimat itu terdengar jelas di telingaku meski mereka berbisik. Tanganku reflek mengepal di atas meja, seperti siap menghantam siapa saja yang membuat hatiku sakit termasuk dua ular berbisa itu. Serendah itukah aku di mata mereka? Bahkan mereka tahu aku baru saja kehilangan orang tuaku, bisa-bisanya mereka bicara seenak jidatnya. Apakah semua penghuni sekolah memiliki pemikiran sama seperti mereka? Bagaimana jika seantero sekolah tahu aku satu rumah dengan Bintang? Oh tidak, tepatnya numpang di rumah Bintang!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Syahria Ria
Sabar kejora.. mengahadapi cobaan yang bertubi tubi.. ikhlas kan kepergian orang tua mu. mulailah menata kembali hidup mu tanpa kedua orang tua 😔 jadilah gadis mandiri walau jalan nya akan susah 😔
2023-06-29
0