Savior Under The Rain
...** Cerita ini Fiktif dan penuh khayalan dari penulis. Masih banyak kekurangan di dalamnya, baik segi jalan cerita atau tulisan yang berantakan. Karena ini hanyalah amatiran. Terima Kasih **...
...🍀...
Ini bukan lagi yang pertama atau pun kedua. Namun sudah hampir dua puluh kali dan tidak ada hentinya sampai kesepuluh jarinya mengerut. Tidak lagi bisa dibiarkan. Perempuan itu membuatnya kesal setengah mati.
Perempuan itu melakukannya lagi dan lagi dengan sengaja untuk memantik api perseteruan. Terus saja diulang sampai membuat emosi Raina merayap hingga ubun-ubun dan timbullah rasa ingin menghajarnya.
"Nih, cuci lagi."
Brak! Tumpukan piring kotor menggunung lagi.
Tangan Raina terkepal. Hampir saja ia layangkan sebuah tinjuan jika ia tak memikirkan nasibnya sendiri yang masih membutuhkan pekerjaan.
"Di depan sedang ramai. Jadi, cepat selesaikan supaya piring ini bisa digunakan lagi."
Setelah berkata begitu, Marella kembali ke depan untuk melayani pelanggan.
Raina mendesah. Memang ini pekerjaannya, tapi sudah dua jam yang lalu seharusnya ia berhenti di jam istirahat. Bisa-bisanya Marella membuatnya tak bisa bernapas barang sejenak.
Dengan berat Raina meraih satu piring kotor untuk dicuci. Namun tangannya yang lemas dan basah membuat piring itu terlepas dari genggamannya.
TRANG!!
Raina terkesiap dan kaget saat piring itu pecah berantakan. Buru-buru Raina berjongkok dan mengambil salah satu serpihan kaca.
"Ayolah. Jangan masuk, ku mohon."
Berulang kali Raina melirik pintu, memohon agar tak ada yang masuk setelah mendengar suara piring pecah tadi.
Raina memejamkan mata, lalu mengumpulkan kekuatan untuk ia salurkan pada serpihan piring, dan...
"Kau memecahkan sesuatu??"
Raina menoleh ke arah pintu dan mendapati Marella masuk berjalan cepat ke arahnya.
"Tidak." Rai berdiri, menggenggam satu piring utuh di tangannya.
Marella memperhatikan sekitar. Dia yakin tadi mendengar suara keramik jatuh. Tapi tak ada apapun di lantai.
"Rai, kau sudah selesai?"
Lili masuk dan langkahnya melambat saat mendapati Marella juga disana. Tangan gadis itu terlipat di dada, dan wajah ketus itu membuat Lili tahu, Marella lagi-lagi mencari masalah.
"Jangan sembunyikan apapun. Cepat katakan, kau memecahkan sesuatu, kan?" Tuduh Marella.
"Tidak. Kau bisa lihat sendiri di sekitar sini." Jawab Raina dengan santai.
Marella justru menatap Rai dengan tatapan menyelidik. Dia mendengkus dan berlalu begitu saja saat memang tak menemukan apapun yang ia tuduhkan pada Raina.
"Dia memang gila." Bisik Lili dengan tatapan terus ke arah Marella sampai gadis itu menghilang dibalik pintu.
"Biarkan saja dia." Ucap Raina, kembali menuang sabun cair dan menggosok piring.
"Apa kau memang menjatuhkan piring?"
Raina mengangguk. "Iya. Tidak sengaja. Untung saja aku cepat memperbaikinya."
Gadis dengan rambut yang bergelombang itu mendekat, lalu berbisik pada Raina. "Kau menggunakan kekuatanmu?"
Raina menghela napas. "Terpaksa."
"Bagus, Rai. Kalau tidak, aku yakin Marella akan mengadukanmu pada tuan Adam. Oh, ya. Waktu istirahatku sudah terpakai. Aku akan pulang satu jam lebih cepat."
Raina berhenti dan menoleh kebelakang. "Apa boleh begitu?"
"Tentu. Aku akan bilang pada manager. Enak saja mereka, mau memakai waktu luangku secara gratis!" Gerutu Lili, sahabat Raina.
"Kau sudah mengisi energi?" Lili mengambil apel dalam kulkas, lalu menggigitnya.
"Belum. Kurasa sebentar lagi akan habis."
"Bulan depan akan masuk musim kemarau. Isilah energi banyak-banyak."
"Lalu kau, bagaimana?" Tanya Raina balik.
"Aku juga belum. Berhubung cara mengisi energi kita sama, bagaimana kalau malam ini?"
Raina menoleh ke jendela yang terbuka, memprediksi cuaca. "Malam ini? Sepertinya tidak akan hujan."
"Kita ke Densy. Disana dingin dan sering hujan."
Densy? Kota yang agak jauh dari tempat tinggalnya. Tapi dia butuh energi tambahan.
"Baiklah. Aku akan menunggumu di tempat biasa." Ucap Raina akhirnya.
Lili buru-buru membuang apel ke tempat sampah saat telinganya mendengar suara. "Hm.. sepertinya dia datang lagi dengan piring kotornya. Mau kubantu?"
Raina terbelalak. "Lagi? Ah..." Rasanya letih sekali. Dia mencuci tanpa henti sejak pagi.
"Biar aku saja." Ucap Lili sembari menggosok kedua tangannya dengan senyum jahil.
Ah, terserah saja. Sebab Raina tidak tahu bagaimana cara Lili membantunya.
"Kuhitung sampai tiga.." Lili sedikit berbisik. "Satu.. dua.... Happ!!"
PRANG!!!
Suara berisik membuat Raina terkesiap sementara Lili tertawa pelan.
Detik berikutnya, tuan Adam selaku penanggung jawab kafe pun datang dan berdiri di depan pintu dapur yang sudah penuh dengan pecahan kaca dari piring dan gelas kotor yang dibawa Marella dari depan.
"Astaga! Kenapa ini bisa terjadi??" Seru Adam.
"Aah. Anu, pak. Maaf, ada tali yang terpasang disini sampai kakiku tersandung." Jawab Marella terbata. Dia mencoba mencari tali yang ia maksud. Tapi tak ada apapun disana.
Raina melirik Lili yang kini tawanya mereda. Itu memang ulahnya.
"Bereskan ini dan segeralah ke ruanganku!" Adam melangkah pergi, sementara Marella terlihat gusar saat tak mendapati apapun yang menjadi penyebabnya terjatuh.
"Heii, kalian. Aku tahu ini ulah kalian!" Seru Marella kesal.
"Bicara apa kau, hah?" Lili menyenggol Raina dengan sikunya. "Cepat selesaikan. Aku menunggumu di belakang." Ucap Lili kemudian pergi melangkahkan kakinya melewati pecahan kaca.
"Hei, Raina! Cepat bantu aku membereskan semuanya!"
Raina mengibaskan kedua tangannya yang basah dan melepaskan apron dari tubuhnya.
"Maaf, pekerjaanku sudah selesai." Raina melenggang keluar dapur, membuat Marella mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Dasar jal*ng! Aku akan balas kalian!" Desisnya berang.
...🍀...
"HAHAHAHAHA!!"
Lili masih saja tertawa mengingat kejadian tadi. Dia merasa lucu dengan wajah Marella saat ternyata manager mereka datang memarahinya.
"Sudah, nanti kotak tertawamu habis."
Mendengar itu, Lili kontan diam. "Sial, kau percaya itu?"
Raina terkekeh. Dia berjalan sambil mendorong sepedanya.
"Tapi, kau tidak perlu melakukan itu, Li."
"Dia memang perlu dikasih pelajaran, tahu!" Lili membalikkan tubuh dan berjalan mundur menatap sahabatnya dibelakang.
"Ayolah, Raina. Sesekali balas saja dia. Aku ingin dia tahu kalau kau tidak lemah dan dia bisa Stop mengerjaimu."
"Untuk apa. Dia itu sudah sangat membenciku."
"Makanya, kasih dia pelajaran supaya dia berhenti mengganggumu. Tunjukkan kalau kau hebat."
Raina menghela napas perlahan. "Aku sedang tidak ingin menjadi jahat, Li."
"Aah! Itulah yang membuat mereka terus menindasmu!"
Melihat Raina tak bersuara lagi, Lili memutar bola matanya kesal. "Terserahlah. Aku duluan, kau hati-hatilah di jalan." Lili berlari kearah yang berbeda dari Raina.
Melihat temannya pergi, Raina menaiki sepedanya dan mulai mengayuh sampai ia tiba di rumahnya.
Gadis itu memarkirkan sepeda di depan rumah dan masuk kedalam.
"Aku pulang."
Rumah itu terasa sepi. Tak ada siapapun yang menyahut.
Raina masuk kedalam kamar ayahnya. Dia tertegun melihat sang ayah duduk diatas tempat tidur dengan tatapan kosong. Di bawah tempat tidur, terdapat beberapa botol alkohol.
"Ayah." Raina mendekat. Dipegangnya tangan sang ayah. "Sudah kubilang, jangan minum terus. Ayah tidak mau mendengarkanku."
Damian menatap tangan yang digenggam sang anak. Seketika tubuhnya merasa seperti ada aliran halus yang membuang energi buruk dalam dirinya. Mata sayu dan kesadaran yang sempat hilang karena alkohol pun perlahan lenyap.
"Raina.."
"Istirahatlah." Raina membantu ayahnya merebahkan tubuh, lalu menyelimutinya.
"Raina, jangan terus gunakan kemampuanmu untuk ayah. Berhematlah.."
"Aku mengerti." Raina melangkahkan kakinya menuju pintu. Sebelumnya, ia berhenti memperhatikan berkas yang tertumpuk diatas lantai.
"Raina."
Kembali gadis itu membalikkan badan menatap sang ayah.
"Ayah mohon. Bawalah berkas itu dan cari cucu mendiang tuan William. Anak itu pasti akan mengabulkan permintaan kakeknya."
Raina menghela napas. Sudah berapa kali sang ayah meminta hal yang sama.
"Ayah, itu perjanjian zaman dulu sekali. Dia tidak akan percaya, atau dia akan menolak sekalipun perjanjian itu asli dari kakeknya. Ayah pikir ada orang yang mau melaksanakan isi dari perjanjian itu?"
"Raina, bukan kita yang membutuhkan mereka. Tapi mereka yang membutuhkan kita. Setidaknya ayah ingin menepati janji ayah pada William."
Raina meraih kertas itu lalu menunjukkannya pada Damian. "Baiklah. Akan aku coba."
Damian tersenyum, walau ia tahu mungkin anaknya itu tidak bersungguh-sungguh.
Raina keluar dari kamar ayahnya. Dia duduk di sofa sambil membaca ulang isi perjanjian itu.
"Elian Givariel William.." Raina membaca nama cucu seorang William, orang yang selalu dipuja-puji oleh ayahnya.
"Dimana aku harus menemui pria tua bernama Elian ini?" Gumam Raina.
Tuk!
Raina mengutip sebuah foto yang terjatuh dari lembaran kertas yang ia pegang.
Dibacanya nama belakang di foto itu. Elian dan William. Oh. Inikah orangnya?
Raina membalikkan foto itu dan diperhatikannya dengan seksama gambaran seorang lelaki muda dengan setelan jas hitam.
Bukankah lelaki ini wajahnya familiar?
Raina terus menatap wajah anak muda yang ia yakini adalah Elian. Siapa, ya. Raina seperti pernah melihatnya.
Lalu pandangan Raina teralihkan pada tahun dimana foto itu diambil.
Sudah beberapa tahun berlalu sejak foto itu diambil. Jika saat itu lelaki ini berusia 17 tahun, artinya sekarang usianya sekitar 31 tahun.
Hah? Raina terkaget sendiri. Bagaimana jika di foto ini dia sudah 20 tahun? Atau 25, 27?
Raina terduduk lesu. Artinya pria ini sudah sangat tua. Dibanding dirinya yang baru 20an tahun, pria ini lebih cocok jadi pamannya.
Tapi, yah, cari dulu pria ini. Siapa tahu dia sudah menikah, maka Raina akan terbebas dari permintaan ayahnya.
...♡♥︎♡...
Makasih udah hadir di Novel terbaru akuu❤️
Semoga syukaaaa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
p by one
hakananwbbwbw
2024-03-02
1
Pandagabut🐼
kala bosan dengan hidup yg penuh realita, novel ini cocok untuk menyegarkan kembali pikiran, kadang berfantasi jg menyenangkan 🥰
2023-10-31
1
Mystera11
mampir pen, , lagi2 karyamu sllu memikat...awal bab sj sdh mnghipnotis utk lanjut mmbacanya...
2023-10-17
1