01. Laurine Jung

08:45 AM. TJ Group Office.

Seorang wanita bergaya elegan nan modis tengah duduk di kursi yang mengarah langsung pada layar besar berjarak sekitar beberapa langkah di hadapannya.

Mata bulat cantik namun terkesan tajamnya membidik tampilan grafik yang tertampil di sebrang sana. Tidak lupa juga dengan sorot wajah dingin yang membuat orang-orang di sekitar terlihat begitu menyeganinya.

Menyimak serius rapat dan pertemuan merupakan hal yang biasa Laurine lakukan selama lima tahun belakangan ini. Tugas Chief Executive Officer bersifat konseptual dan terkadang juga dituntut untuk memiliki praktik yang bagus dalam teknis. Usianya memang masih tergolong muda untuk memegang jabatan tinggi seperti ini, terlebih lagi Laurine juga seorang wanita. Tapi, sebenarnya usia dan gender bukanlah halangan serius.

Selama ini kecantikan wanita seakan berkiblat pada seberapa indah paras. Sampai kemudian lupa, ada kepintaran yang juga memainkan peranan penting pada definisi seorang wanita cantik.

Karena kecantikan pada hakikatnya tidak selalu dikaitkan dengan sesuatu yang terdapat pada fisik semata. Ada juga kecantikan yang bisa dirasakan dari pola pemikirannya.

Laurine memang suka merias diri seperti wanita lain pada umumnya, namun Laurine juga tidak lupa untuk menunjukan bakatnya dalam berbisnis.

"Pembangunan mal cabang baru sudah mencapai enam puluh lima persen" kata karyawan pria paruh baya yang bernama Harvey dan Laurine mengangguk-nganggukan kepalanya mengerti.

"Oke. Pastikan pembangunannya segera selesai. Aku tidak ingin ada kesalahan apapun. Terus awasi mereka semua yang bekerja untuk proyek mal itu dan pastikan tidak ada yang memakan gaji buta dengan bekerja tidak benar, tapi mendapatkan upah yang besar. Aku benci orang-orang seperti itu"

"Baik, Presdir"

"Lalu bagaimana dengan fasilitas baru yang kita tambahkan di The Jung International School?" tanya Laurine pada Philip, karyawan pria lain dengan ciri berkacamata.

"Tim kami meninjau langsung komentar para siswa-siswi disana dan mereka semua merespon dengan sangat baik"

"Bagus. Aku suka cara kerja kalian"

Kemudian Laurine beralih pada wanita yang duduk tidak jauh dari kursinya. "Tuan Lee" panggilnya.

Sekretaris pria berumur empat puluh tiga tahun itu sontak menoleh seraya menegakkan badan. "Ya, Presdir?"

"Apa jadwalku setelah ini?"

Edmund segera membuka lembaran-lembaran buku catatannya. "Ada pertemuan penting dengan salah satu calon investor sore nanti. Tapi, sebelum itu, ada beberapa berkas yang membutuhkan persetujuan Anda"

Laurine mengangguk dan beranjak dari duduknya diikuti oleh beberapa pegawainya yang lain.

"Baiklah. Rapat selesai sampai di sini. Aku harap kalian bekerja dengan baik dan bisa memberi kontribusi bagus pada TJ Group"

Kemudian Laurine segera pergi dari ruangan besar nan mewah itu. Di belakang, Edmund dengan sigap mengikuti dari belakang.

Pegawai-pegawai yang juga kebetulan berada di sana dan tidak sengaja menatap Laurine, menundukkan kepala hormat dan ada juga yang memberi sapaan ramah.

Namun, membalas sapaan dengan ramah bukanlah hal yang akan Laurine lakukan. Hanya melirik sembari tetap berjalan dengan punggung tegap dan dagu terangkat.

Tidak heran jika orang-orang memiliki impresi sebagai wanita berkelas tinggi bagi siapapun yang melihatnya.

...***...

09:01 AM. Penthouse.

Pemandangan menyegarkan di pagi hari adalah salah satu hal yang Xavier sukai. Tapi, tetap saja itu tidak bisa menggantikan suasana gelap yang benar-benar menjadi favoritnya. Hampir semua pekerjaannya di lakukan saat malam hari. Jadi di hari yang cerah seperti ini, Xavier memilih untuk memanfaatkannya dengan bersantai.

Salah satu tangannya terulur mengambil kopi di atas meja dan menyesapnya seraya arah mata masih terarah fokus ke sebuah koran.

Sedangkan Marcus duduk di kursi lain seraya memainkan ponsel tanpa membuka suara sebelum Xavier yang terlebih dulu mengajaknya berbicara.

Hanya bunyi suara membalikkan halaman koran yang menggema memenuhi ruangan sunyi itu.

"Media bodoh!" sinis Xavier.

"Kau sudah membaca beritanya?" Marcus bertanya dan Xavier mengangguk sebagai jawaban.

"Mereka bodoh sekali! Berusaha mencari identitasku bahkan menduga-duga orang yang tak tahu apa-apa, heh?!"

Xavier berdecak sinis. "Aku tidak bisa habis pikir bagaimana orang seperti mereka menjadi wartawan dengan kemampuan seperti itu"

Pandangan Xavier menyusuri tiap kata yang terdapat dalam koran tersebut. Berita yang di maksud adalah perihal sindikat klan mafia Black Clan yang kini di pimpin olehnya.

Kelompok yang kini di pimpin Xavier itu memang sangat tertutup dan misterius. Wajar saja masyarakat umum penasaran.

"Itu bukan salah mereka. Kau sendiri yang terlalu pintar bersembunyi" sahut Marcus terkekeh.

Kedua sudut Xavier terangkat tipis mendengar pujian Marcus lalu melipat koran dan menyimpannya di atas meja.

"Melihat berita sialan itu membuatku tiba-tiba teringat keselamatan Ayahku di tempat persembunyiannya sekarang ini. Apa dia di sana baik-baik saja?"

"Keadaan Paman Hans baik-baik saja. Rumah itu terletak di tengah-tengah hutan dengan keamanan yang ketat. Aku bisa pastikan jika tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi di sana. Bahkan Dominic pun tidak akan mengetahui keberadaannya"

Lantas Xavier menghela nafas lega. Merasa tenang mendengarnya. Sampai kemudian dirinya teringat keadaan seseorang lainnya yang begitu berarti baginya.

"Lalu wanita itu? Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier dengan sedikit ragu sebenarnya.

Marcus tersenyum samar. "Laurine juga dalam keadaan baik. Seperti yang sudah aku laporkan, semalam sempat ada sebuah mobil yang hampir saja akan menabrak mobilnya. Tapi, anggota kita yang kau tugaskan menjaganya dengan cepat menghalau mobil itu"

"Apa suruhan Anthony lagi?"

"Iya. Sesaat setelah kejadian itu, aku segera memberi suruhan Anthony itu dengan pelajaran berupa beberapa peluru yang menghiasi hampir sekujur tubuhnya. Sesuai perintahmu, Bos besar"

Senyum miring perlahan tercetak di wajah Xavier. "Bagus. Memang tidak ada yang boleh menyakiti wanitaku. Kalaupun ada, hanya aku yang boleh melakukannya"

"Omong kosong! Menyakiti apanya? Selama ini kau justru melindunginya. Dasar budak cinta!" sindir Marcus.

"Kali ini aku bersungguh-sungguh. Dan selama ini aku melindunginya untuk memastikan dia masih hidup saat datang waktunya aku menyiksanya nanti. Dendamku padanya sudah terlalu besar dan tujuh tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk membiarkannya hidup tenang setelah apa yang dia lakukan padaku dulu"

Marcus menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berdecak pelan. "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu"

Ini adalah perasaan aneh dan membingungkan. Xavier yang begitu cinta sekaligus benci secara bersamaan.

Itu karena kejadian menyakitkan yang pernah terjadi pada keduanya di masa lalu. Sesuatu yang terasa sakit dan akan sulit untuk di sembuhkan.

Adalah sebuah kesialan ketika Xavier menjatuhkan hati pada Laurine. Perasaan membingungkan yang akan membuat dirinya dan si wanita idaman tertarik ke arah takdir romansa menyedihkan.

...***...

04:23 PM. TJ Group Office.

Elevator membawa Laurine dan Edmund ke lantai tujuh belas. Beberapa menit yang lalu Laurine baru saja menemui seorang investor di ruangan khusus untuk menemui para investor dan kini hendak melanjutkan pekerjaannya yaitu menandatangani beberapa berkas penting di ruangan kerja pribadinya.

Berbeda dengan suasana lantai lainnya yang ramai karena banyaknya pegawai, suasana lantai paling atas itu begitu sepi dan hanya ada satu meja orang kepercayaan Laurine dan ruangan milik sang pimpinan perusahaan.

"Tadi Anda hebat sekali, Presdir. Pengetahuan dan kecapakan bicara Anda berhasil meyakinkan investor yang di kenal pelit dalam menanamkan modal. Mengagumkan!" ungkap Edmund kagum sebelum Laurine memasuki ruangannya.

Sesaat Laurine menghentikkan langkahnya seraya kembali menatap Edmund dan tersenyum tipis.

"Terima kasih atas pujiannya, Tuan Lee. Kau juga ikut mengambil peranan dalam kesuksesanku sekarang ini"

Edmund membungkukan badannya sopan. "Adalah sebuah kehormatan bisa melayani Anda"

Lantas Laurine beralih membuka kenop pintu. Baru saja memasuki ruangan kerja pribadi itu, Laurine sedikit terkejut ketika mendapati sosok pria tengah duduk di kursi kebesaran miliknya. Mungkin jika yang melakukannya orang lain akan Laurine marahi habis-habisan karena berani menduduki kursi pimpinan perusahaan. Namun, sayangnya dia adalah Paman Laurine.

Tentu saja Laurine masih mengerti kesopanan sekalipun sikapnya terkesan dingin. Jadi, Laurine hanya diam membiarkan salah satu keturunan Jung itu melakukan hal yang sebenarnya membuatnya kesal.

Laurine mengubah arah jalannya menuju jendela besar lalu menatap datar keramaian kota seraya bersidekap dada.

"Apa kabarmu?" tanya Anthony membuka pembicaraan dengan sedikit memutar kursi yang di dudukinya dan menatap Laurine yang sama sekali tidak menatapnya.

"Baik"

"Tidak ingin menanyakan kabarku juga sebagai bentuk balasan kesopanan aku yang mengkhawatirkan keadaanmu?"

"Apa itu penting? Jika menanyakan kabar Paman akan membuat perusahaan mengalami peningkatan signifikan, maka aku akan menanyakannya setiap detik. Tapi sayangnya tidak, bukan?" sinis Laurine tajam tanpa menoleh dan hanya berfokus menatap ke arah luar sana.

Anthony mengumpat dalam hati seraya mengepalkan tangan pertanda kesal. Tapi, tidak lama setelah itu kembali tersenyum.

"Tubuhmu terlihat lebih kurus dari yang terakhir aku lihat seminggu lalu. Kenapa? Apa urusan perusahaan adalah alasannya?"

Pertanyaan Anthony kembali terlontar. Pria yang berjarak usia sebelas tahun dengan Laurine itu seolah memberi perhatian lewat perkataan manisnya.

Padahal kenyataannya tidak. Dalam setiap kata-kata yang di ucapkannya sebenarnya sarat akan kebencian dan Laurine tidak bodoh untuk dapat mengetahuinya.

"Jika memang iya, maka--"

"Maka mundur saja dari posisi pimpinan perusahaan" sela Laurine dengan gaya bicara mengikuti Anthony yang membuat Pamannya itu seketika terdiam membeku.

"Laurine, kau terlalu muda untuk memegang tanggung jawab sebesar ini. Habiskan saja masa mudamu dengan bersenang-senang seperti orang lain. Biarkan Paman yang melakukannya untukmu" lanjutnya kentara sedang mengejek.

Perlahan Laurine membalikkan badan dan melemparkan tatapan tajam nan menghunus pada Anthony.

"Kau selalu mengatakan itu padaku selama lima tahun terakhir. Apa kau sendiri tidak lelah, Paman?"

"Apa maksudmu? Aku--" ucapan Anthony kembali terpotong ketika Laurine menyela.

"Aku bersungguh-sungguh. Jadi percayakan saja semuanya padaku"

Lagi-lagi Laurine mengikuti gaya bicara Anthony. Ejekan yang cukup membuat lawan bicaranya tidak berkutik.

"Apa tidak ada serangkaian kata-kata yang lebih bagus lagi untuk kau tunjukkan padaku? Aku bosan mendengarnya. Seperti..."

Laurine menggantungkan ucapannya dan terlihat berdehem-dehem mempersiapkan suaranya sebelum kembali membuka mulut dengan masih meniru gaya bicara Anthony.

"'Anak sialan!', 'Berani-beraninya dia menempati posisi yang selama ini aku inginkan!', 'Aku berjuang keras selama hampir seumur hidupku, tapi dia dengan mudahnya mendapatkan semua itu!', 'Lihat saja, suatu hari akan aku hancurkan dia!'"

Anthony menghela nafasnya gusar dengan kepala menunduk tidak berani menatap Laurine karena merasa dipermalukan.

"Kemana serangkaian kata-kata menakjubkan yang biasa kau katakan di belakangku itu, Paman? Jujur saja aku lebih suka mendengar umpatan kejujuran daripada rayuan kemunafikan"

Masih di tempatnya, Anthony hanya terdiam. Lidahnya kelu tidak mampu membalas sindiran tajam Laurine.

"Jadi, tolong lebih pintarlah lagi jika memang ingin menjadi seorang Pimpinan Perusahaan. Karena dibutuhkan orang-orang terpilih yang cerdas untuk menempati posisi ini. Entahlah. Daripada kesal, aku lebih kasihan padamu. Sepertinya kebanyakan waktumu kau habiskan untuk berandai-andai dibanding membuat otakmu pandai"

Terlihat Laurine lebih mendekatkan diri dan menepuk-nepuk bahu Anthony. "Sadarlah! Kau tidak sebanding denganku!" desis Laurine.

Kemudian Laurine melangkah pergi dari sana seraya tersenyum miris merasa puas karena berhasil membuat Anthony kesal.

"Dah, Paman"

Lambaian tangan Laurine terlihat sebelum menutup pintu secara kasar hingga menimbulkan suara cukup keras.

Meninggalkan Anthony yang sedang berteriak murka tidak terima akan penghinaan Laurine. Laurine dan segala ucapan pedas yang keluar dari mulut ranumnya itu memang luar biasa.

...TO BE CONTINUED...

...laurine's style👇🏻...

...fyi, laurine ini suka paku baju hitam atau dominan hitam...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!