Ketiduran di Depan TV

"Dengan Bapak Bagas?"

"Iya, saya.

Eh, suaranya beda. Bukan Helen yang datang ya?

Ngoeeeek... Gue pun nongolin kepala gue dari balik tembok ruangan dalam. Itu siapa sih bapak-bapak yang lagi ngomong sama Bagas?

"Maaf Pak. Kami mendapat keluhan dari warga kalau di rumah Bapak katanya ada kericuhan. Kami ke ke sini untuk memastikan apakah Bapak sekeluarga baik-baik saja atau tidak."

Kami, kami. Orang sendirian gitu kok ngomong kami. Aneh.

"I-iya Pak, saya dan istri baik-baik saja kok. Maafkan kami kalau suara kami sampai mengganggu tetangga," kata Bagas.

Gue datang aja ke samping Bagas. Gue peluk Bagas dari samping. Ngoeeeek... Astaga, tahan-tahan geli gue meluk-meluk ni anak begini. Demi keselamatan bersama!

"Iya nih loh. Kami baik-baik aja. Iya kan Sayang?" kata gue sambil senyum-senyum ga jelas. Maksa banget, bangkee.

Bapak-bapak yang nyelempangin sarung sambil bawa senter segede gaban itu pun ngelihatin gue sama Bagas. Model-model muka keheranan gitu.

"Oh, baik-baik saja. Syukurlah. Lain kali suara kalian harap volumenya dikecilkan ya? Ga enak kan kalau ada keluhan warga begini," ucap bapak-bapak itu.

"Iya Pak... Hehe," kata gue dan Bagas bersama-sama.

"Kalau begitu saya pamit dulu. Selamat beristirahat buat kalian," lanjutnya.

"Iya Pak. Bapak yang semangat ya ngerondanya," kata gue.

Bapak-bapak itu pun pergi. Gue sama Bagas pelototin dulu, tu pagar ditutup balik ga sama dia. Oh, ternyata ditutup balik.

"Anj~!" Gue dan Bagas kaget sendiri dengan posisi kami berangkulan dari samping.

"Apaan lu ngelendotin gue! Geli banget," protes Bagas.

"Biar kondisi aman terkendali, Kambing! Bukannya terimakasih sama gue. Udah sana lu kunci pagar! Ngaget-ngagetin aja, tahu-tahu orang masuk gitu. Lu ngapa ga pernah ngunciin pagar sih?" giliran gue yang protes.

"Memang pagar sebelumnya ga pernah pakai gembok kan?" balas Bagas.

"Makanya pake, Pe'ak! Buru gih!" kata gue.

"Heeeh! Gue gibas juga lu!" Bagas seolah mau nabok gue tapi cuma ngancem. Doi pun pergi ke belakang.

"Heh, malah melipir ke belakang!" tegur gue.

"NYARI GEMBOK!" jawab Bagas.

Ga lama kemudian Bagas balik ke depan terus keluar buat ngegembok pagar. Bagas pun balik masuk dan ngunci pintu.

"Gimana urusan gue sama Helen? Lu ada ide ga?" Lagi-lagi gue ngebahas apa yang masih nyangkut di kepala gue.

"Lu jauhin aja tu anak. Ga usah berkawan sama dia lagi," kata Bagas.

"Heh!" Gue toel jidat Bagas pake ujung jari gue. "Enak bener ngomongnya? Dia itu sohib gue satu-satunya. Temen sebangku gue, mutualan gue, masa tiba-tiba gue ngejauh? Apa ga lebih curiga doi sama gue?" protes gue.

"Apa kek gitu, cari masalah biar kalian musuhan," jawab Bagas.

"Gak! Jangan pake cara itu! Gue ga setuju," tegas gue sambil melipat tangan.

"Ya terus gimana? Gue juga bingung. Gantian lu yang mikir dong! Nanya mulu perasaan," kata Bagas.

"Lu kira gue ga mikirin? Gue lagi mikirin juga, cuma belum nemu aja ide yang pas," kata gue.

"Eh, tu anak kalau ga salah anaknya pengusaha supermarket di kota ini kan? Orang tajir tuh," kata Bagas.

"Nah itu lu tahu," balas gue.

"Kalau tu anak nyuruh orang mata-matain kita karena rasa penasarannya ga kebayar, bahaya juga," kata Bagas sambil megang dagu.

Ini daritadi kami berdua bolak-balik jalan ngitarin ni ruangan, ga jelas banget.

"Eh, lu jalan lihat-lihat dong! Nabrak gue kan? Tapi yang lu bilang barusan bener. Bokap tu anak orang tajir. Tu anak pasti selalu dapetin apa yang dia mau," jawab gue.

"Apa gue pindah sekolah aja ya? Sekalian kan biar ga usah ketemu elu tiap hari gitu. Kan dua benefit tuh yang gue dapat," kata gue.

"Lu mau pindah kemana? Emangnya kira-kira bokap nyokap ngizinin?" kata Bagas.

"Oh iya lupa. Kan sekarang yang jadi penanggung jawab lu adalah gue. Bisa-bisa gue yang disuruh buat ngurusin kepindahan sekolah lu! Ah, ogah gue! Ribet. Enggak, enggak! Gue ga setuju lu pindah sekolah!" lanjutnya.

"Gara-gara satu orang urusan gue jadi ribet gini. Belum lagi kalau orang lain yang tahu..." kata gue.

Mampus kalau musuh-musuh gue tahu soal berita pernikahan gue. Mana yang jadi musuh gue adalah semua cewek satu sekolahan, lagi. Gara-gara gue jadian sama Brian kan makanya gue jadi musuh semua cewek.

Aib gue ga mereka tahu aja siksaan gue udah berat, gimana kalau berita pernikahan ini tersebar? Bisa jadi neraka tu sekolahan bagi gue.

Mana ide gue pindah sekolah ditentang, lagi. Duh, gue bingung nih. Pasti besok di sekolah Helen bakal merongrong gue buat buka mulut. Aaaa... gimana ini? Gue gigit jari.

"Heh, mau kemana lu?" kata gue.

"Panas di situ," kata Bagas. Iya juga sih. Ruangan ini bikin panas. Apa gara-gara mikir keras ya jadi terasa panas? Pasti jiwa gue yang satu lagi yang lagi di isekai ni kepala gue lagi berasap deh. Duh, bisa ga sih gue pindah ke dunia isekai aja?

Gue pun pindah ruangan ngikutin Bagas. Bagas buka jendela. Kali ini aman kok, tetangga ga bakal bisa kepo ke dalam karena jendelanya menghadap ke samping, ke arah lain dan di hadapannya ada tembok pagar rumah.

Angin pun semilir masuk.

Bagas pun menyalakan TV. "Ya elah ni anak malah nonton TV. Masalah kita belum kelar, Kambing!"

"Gue juga lagi bingung. Lu ga tahu kepala gue pusingnya minta ampun! Mending gue cari ilham dulu lah," kata Bagas.

Iya juga sih. Cari ilham. "Masa cari ilham lewat nonton TV!" protes gue.

"Lu protes-protes juga tetep aja ikut nonton. Jangan deket-deket lu! Sana, sana! Ga konsen gue kalau ada lu di deket gue. Gimana ilham bisa masuk," kata Bagas.

"Apaan sih, ribet! Lagian siapa juga yang mau deket-deket sama lu!" Gue yang tadinya duduk di sandaran tangan sofa depan TV pun jadi pindah. Gue duduk di karpet dan bersandar di dinding.

Bagas milihin film yang bagus. Film petualangan naik gunung. Gue kebawa jadi ikutan nonton juga.

Waktu terus berlalu. Mata gue semakin berat. Ni tempat ga pewe banget. Sementara Bagas sih enak nonton di sofa. Pokoknya gue ga mau kalah! Masih ada tempat buat gue di sana.

Gue pun duduk di sebelah Bagas dan gue pake bantal sofa buat menyekat batas antara gue dan Bagas. Bagas bodo amat pas gue pindah ke sana. Matanya kaya ga berkedip melototin adegan di TV.

Mata gue makin lama pun makin... merem.

Gue lagi tidur nih. Gue lagi mimpi apa gimana ga sadar banget deh pokoknya. Makin lama udara semakin dingin gue rasa. Dingin banget.

Gue sampe menggigil.

"Maaa... Mamaaa... Mama dimana?" Gue panggil-panggil nyokap gue mana sih kok ga nyahut-nyahut.

Sambil merem gue nyari nyokap. Gue bergeser, bergeser, bergeser. Nah, di sebelah gue ini kayanya nyokap gue deh. Biasa doi kan suka nonton sinetron Turki.

"Maaa... dingin..." Gue pun ngelendot di lengan nyokap gue. Sekarang lengan nyokap gue berotot ya? Gara-gara rajin masak nih kayanya. Soalnya terakhir gue bantuin nyokap masak gue motong-motongin sayur rasanya pegel banget. Mungkin motong-motongin sayur yang rutin bisa bikin lengan berotot. Mantap.

Aaa... Nyokap gue hangat banget. Gue dipeluk. Kan nyaman gue jadinya. Selanjutnya gue pun bisa tenang nyeberang ke alam mimpi.

"AAAAAAAA...."

Terpopuler

Comments

ᥫᩣ 🕳️ Chusna

ᥫᩣ 🕳️ Chusna

hahahhaah

2023-06-20

0

ᥫᩣ 🕳️ Chusna

ᥫᩣ 🕳️ Chusna

pelukan GG tu🤭

2023-06-20

0

ᥫᩣ 🕳️ Chusna

ᥫᩣ 🕳️ Chusna

di ksik es aja biar tambah bersapp 🤣🤣🤣

2023-06-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!