Darto tiba-tiba merasakan sakit, di bagian bawah punggung dan sisi tulang belakang. Darto pingsan mendadak, dengan tubuh gemetar. Raniwe menjadi terkejut, karena awalnya Darto baik-baik saja.
"Pa, Papa kenapa?" Raniwe menjadi panik sendiri.
Darto sudah jatuh terjerembab ke lantai, dan Raniwe membantunya. Masih juga tidak dapat berdiri, karena tubuh Darto lebih besar darinya. Raniwe memanggil penjaga rumah, untuk membantunya.
Beberapa menit dalam perjalanan, akhirnya mereka sampai ke rumah sakit. Meski pun di jalan, harus dilanda dengan kemacetan. Raniwe menghubungi Anchil melalui telepon genggam, dan berbicara mengenai keadaan papanya.
Keke melihat wajah Anchil yang pucat. "Ada apa Anchil? Mengapa aku melihat wajahmu sangat pucat."
"Papa sakit ginjalnya kambuh lagi." jawab Anchil.
"Sekarang Papa kamu bagaimana?" tanya Keke.
"Dia ada di rumah sakit, untuk mendapatkan pengobatan yang lebih insentif lagi." jawab Anchil.
Pulang dari sekolah, Anchil dan Keke bergegas ke rumah sakit. Anchil membawa makanan, untuk makan siang papanya.
"Papa kamu membutuhkan donor ginjal, untuk membuat tubuhnya normal kembali." ujar Raniwe.
"Kalau aku bisa, aku juga rela." jawab Anchil.
"Jangan Nak, kamu harus belajar dengan baik. Masa depan kamu masih panjang, jika bisa biar Mama saja yang melakukannya." ucap Raniwe.
"Oh gitu ya Ma, tapi sayangnya ginjal Mama tidak bisa didonorkan." Anchil melihat ke arah Raniwe, sambil tersenyum lebar.
Anchil tentu tidak setuju, jika mamanya yang sehat harus sakit-sakitan. Anchil menyuapi Darto dengan makanan, yang ada di dalam rantangnya.
"Anchil, kalau Papa tidak hadir lagi dalam hidup kalian. Tolong jaga Mama, jangan sampai dia tidak mau makan." ujar Darto.
"Mudah-mudahan, aku bisa menjaga Mama dengan baik." jawab Anchil.
Sagi sampai ke rumah, lalu melihat Weni yang duduk santai. Namun keringat tidak berhenti bercucuran, tampak bila perempuan tersebut kelelahan.
"Bu, apa sudah makan?" tanya Sagi.
"Belum, Ibu baru saja menyuruh kurir kita mengantar pesanan." jawab Weni.
Keesokan harinya, Bonar menjambak rambut Sagi. Tangan kanan dan tangan kirinya melakukan perlawanan, dengan menarik baju Bonar hingga robek.
"Aku akan mengadukan hal ini ke guru." ujar Bonar.
"Aku tidak peduli, dan bukan aku yang mengganggu kamu." jawab Sagi.
"Kamu tidak punya saksi, dan aku punya bukti. Baju ini yang akan menguatkan aku, untuk mendapatkan pembelaan." Bonar tersenyum mengejek ke arah Sagi.
"Kamu siswa pindahan, tapi sudah berani berulah. Adukan saja, kalau kamu merasa paling benar." jawab Sagi, dengan santai.
Bonar dengan tidak tahu malunya, mewujudkan ucapan ancaman tersebut. Bonar benar-benar masuk ke kantor, memulai drama wajah teraniaya.
"Bu, bajuku dirobek oleh Sagi. Mentang-mentang aku siswa pindahan, dia memperlakukan aku dengan seenaknya." ucap Bonar.
"Benarkah? Selama ini Sagi siswa teladan di sekolah ini." jawab Heffa.
Bonar mengepalkan telapak tangannya diam-diam, merasa kesal mendengar Sagi dibanggakan. Bonar marah di dalam hati, lalu menatap lekat bola mata gurunya.
"Ibu guru, keadilan adalah nomor satu yang paling penting." ujar Bonar.
"Baiklah, suruh Sagi menemui Ibu sekarang juga." jawab Heffa.
Tanpa perlu repot-repot dipanggil, Sagi sudah datang dengan sendirinya. Tubuhnya langsung menghampiri meja guru, dengan gerak langkah kaki yang seirama.
"Bu, saya merobek bajunya karena dia menjambak rambut saya." ujar Sagi.
"Bawa saksi ke sini." jawab Heffa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments